14͙֒:☁︎TUMBUH TANPA DAMPINGAN ORANG TUA

2.6K 399 43
                                    

Seperti biasa, setelah pulang dari sekolah, Legenda akan menghampiri Kakek ke pangkalan becaknya. Pagi tadi Kakek memaksakan dirinya untuk bekerja supaya hari ini Kakek bisa membeli beras dan memberi Legenda makan nasi. Namun, di pangkalan becak itu, Legenda tidak menemukan keberadaan Kakeknya. Hanya ada satu orang penarik becak yang sedang tidur di atas becaknya karena mungkin ia merasa kelelahan.

Legenda terdiam sejenak, dan berpikir, mungkin Kakek sedang mengantar penumpang makanya Legenda tidak menemukan keberadaannya disini. Pada waktu itu juga, Legenda melihat kerumunan yang tak jauh dari tempatnya berada.

Karena merasa penasaran, Legenda pun lantas mendekat. Legenda melihat seorang anak yang seumuran dengannya di hakimi oleh tiga ibu-ibu, dua bapak-bapak, dan dua remaja laki-laki. Tujuh orang itu meneriaki anak malang tersebut sebagai pencuri.

Sayup-sayup Legenda bisa mendengar suara anak laki-laki itu.

“Ampun... Tolong ampuni saya... Saya hanya minta satu roti ini saja. Saya lapar, Bu. Dari kemarin saya belum makan...”

“Enak aja minta-minta, kamu harus bayar roti itu.”

“Masih kecil sudah belajar mencuri, mau jadi apa gedenya nanti?”

“Kamu nggak pernah di ajarkan tatakrama sama ibu dan bapak kamu?”

“Kamu nggak pernah di ajarkan sopan santun?”

“Kamu nggak pernah di ajarkan untuk berperilaku baik?”

Kemudian terdengar tangisan pilu anak kecil itu. “Betul, Pak, Bu. Saya memang nggak pernah di ajari hal baik sama ibu dan bapak. Sedari kecil saya hidup sebatang kara, tumbuh tanpa dampingan orang tua. Ibu sama bapak nggak pernah peduli sama saya. Saya nggak di sekolahkan, sehingga saya tumbuh menjadi anak yang nggak punya etika.”

Suara-suara ribut itu kemudian berubah menjadi hening. Penuturan anak kecil itu mampu membuat mereka terdiam dengan bungkam.

“Saya lapar, Bu. Tolong ikhlaskan sebelah roti yang sudah masuk kedalam perut saya.” Anak itu menyodorkan sebelah roti yang tersisa kepada ibu pemilik warung. “Ampuni saya, Bu. Maafkan perbuatan saya yang keliru ini.”

Tangan mungilnya yang bergetar itu meraih sebelah tangan ibu, lalu menaruh sebelah roti yang tersisa di telapak tangannya. “Mohon ampuni saya. Saya sudah mengembalikan roti milik ibu...”

Ibu pemilik toko pun hanya mampu terdiam, hatinya seakan tersayat. Ibu itu menatap nanar bagian roti yang tersisa, mengapa hatinya begitu keras, sampai-sampai ia tidak bisa merelakan roti seharga dua ribu ini kepada anak malang yang kelaparan itu?

“Permisi, Pak, Bu.” Legenda membelah kerumunan untuk melihat anak yang tengah di kelilingi itu. Legenda merasa sedikit terkejut karena anak yang Legenda lihat disana adalah Ale.

Ale semakin tambah berantakan. Rambut gondrongnya acak-acakan, bajunya kotor dan basah sebagian, Ale juga tidak memakai alas kaki, dan juga terdapat lebam yang membiru di ujung matanya. Apa yang terjadi kepada Ale? Anak laki-laki itu semakin terlihat memprihatinkan.

“Ale...”

Kepala Ale mendongak ketika mendengar suara Legenda.

“Bang Legenda...” Ale menghamburkan pelukannya kepada Legenda. Anak laki-laki itu memeluk tubuh Legenda dengan hebat eratnya. Ale menangis sesenggukan di pelukan itu, ia menumpahkan semua air matanya.

“Ale capek, bang. Ale nggak kuat... Ale mau nyusul Aal.”

Semua orang yang menyaksikan kejadian itu pun turut merasa iba. Mereka semua hanya diam tanpa mampu berucap, sebelah roti yang ada di genggaman ibu itu pun terjatuh ke atas tanah. Mereka melakukan kesalahan fatal karena telah menghakimi anak jalanan yang malang seperti Ale tanpa tahu kebenaran yang terjadi.

Kehilangan Masa Kecil [TERBIT]✓Where stories live. Discover now