8. A Command

242 15 7
                                    

Aku kasih warning dari sekarang, ya. Cerita Allen itu mengandung konten sensitif. Sekiranya kalian memiliki trauma, mending gak usah baca, soalnya takut ke-trigger.

 Sekiranya kalian memiliki trauma, mending gak usah baca, soalnya takut ke-trigger

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

𖥔 Happy reading 𖥔

••──── ⋆✦⋆ ────••

8. A Command

Dengan langkah kaki yang lebar, seorang lelaki memasuki sebuah mansion dan segera menuju suatu ruangan setelah salah satu pelayan menyebutkan keberadaan ayahnya.

"Selamat siang, Tuan Allen," sapa dua pelayan perempuan remaja dengan mata yang berbinar. Setelah mencium aroma parfum Allen yang khas dan terbawa udara sampai di indra penciuman mereka, keduanya segera merapikan penampilan dan menyapa Allen. Namun sayangnya, bukan hanya menjawab sapaan, Allen bahkan tidak melirik mereka sama sekali.

"Tuan Allen, sudah lama kita tidak bertemu." Kali ini yang menyapa adalah seorang lelaki paruh baya yang usianya mungkin tidak terpaut jauh dengan usia ayahnya. Dan Allen sudah tidak aneh lagi melihat mansion dipenuhi oleh orang-orang asing—maksudnya bukan kerabat atau keluarga dekat.

"Minggir." Bukannya menjawab sapaan, Allen malah mengusir lelaki paruh baya yang tersenyum palsu.

"Sepertinya suasana hati Anda sedang buruk."

Allen tidak mengindahkan semua ucapan yang keluar dari lelaki paruh baya tadi. Tidak pernah penting, menurutnya.

Setelah itu, ia meneruskan langkahnya dan sampai di sebuah pintu besar yang dijaga oleh dua pengawal di kedua sisinya. Tidak perlu bicara, kedua pengawal tersebut langsung membantu membukakan pintu dan mempersilakannya untuk masuk ke dalam ruangan.

Tak.

Suara sebuah benda tajam yang menusuk benda keras langsung menjadi sambutan bagi Allen ketika masuk ruangan. Untungnya, ia bisa menghindari pisau yang sekarang sedang tertancap di kosen pintu.

"Hampir dua tahun kau tidak pulang juga mengabaikan semua pesan teks dan panggilanku dari satu bulan yang lalu," ucap lelaki paruh baya berambut panjang sebahu yang terlihat berwibawa walau sedang kesal padanya. Ya, siapa lagi kalau bukan Aslan—ayah kandung Allen.

Melihat ayahnya sampai melempar pisau ke arahnya, itu tandanya kesabaran lelaki paruh baya tersebut sudah mencapai batas membuat Allen mendesis kesal pada dirinya sendiri.

"Benarkah?" Dengan santainya, Allen duduk di salah satu sofa seolah tidak takut melihat kemarahan ayahnya.

"Kau tidak pernah tidak membuatku pusing."

Allen menatap ayahnya dengan serius. "Aku tidak tahu bahwa kau berusaha menghubungiku dari sebulan yang lalu, Ayahanda." Karena walau tidak pulang, Allen tidak pernah mengabaikan perintah atau panggilan dari ayahnya.

Prison [On going]Where stories live. Discover now