Bab 22

13.3K 1.4K 151
                                    

Sebelum baca, boleh minta ombaknya yang banyak gaakk 🌊🌊🌊🌊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum baca, boleh minta ombaknya yang banyak gaakk 🌊🌊🌊🌊

Hppy Reading and happy holiday, semoga bisa nemenin long weekend kalian yaaa

***

Ray sekarang sangat khawatir dengan bosnya, mengingat pertengkaran dengan orang tuanya itu adalah hal yang pertama kali Ray lihat. Sejujurnya Ray hanya pernah melihat pertikaian antara anak dan orang tuanya di film-film. Tapi melihat dengan mata kepalanya sendiri, Ray jadi canggung sekarang.

Ia yang sempat memikirkan rencana untuk resign jadi menundanya lagi karena tak tega dengan keadaan bosnya. 'Nanti Pra sama siapa kalau gue resign?'

"Lo gak apa-apa Pra?" tanya Ray dengan khawatir. "Atau butuh istirahat lagi? Gue bisa jadwalin ulang agenda lo hari ini." Jujur saja, reschedule jadwal adalah hal yang paling dibenci Raymond. Padahal ia sudah susah-susah mencari jadwal, namun di tengah jalan harus diubah. Seolah bekerja dua kali! Tapi entah kenapa sekarang ia tak tega dengan bosnya itu.

Pra telentang lemas di atas sofa ruangannya, dengan lengan yang menutupi separuh wajahnya. "Ambilin air dong Ray."

Ray dengan sigap memberikan sesuatu yang Pra butuhkan.

"Obat gue dong Ray," pintanya lagi.

"Air gue abis Ray, ambilin lagi dong."

"Buset deh! Lo emang butuh apa ngerjain gue sih Pra?" kata Ray tak terima namun masih tetap mengulurkan tangan berisi gelas yang kembali penuh dengan air.

Pra tersenyum. "Seneng gue liat lo kesel."

"Semua aja lo bikin kesel Pra. Arum juga demen banget lo bikin kesel."

Pra terkekeh membayangkan raut wajah Arum yang kesal karenanya. Bibir cemberutnya, alis mengkerutnya, dan mata yang seolah ingin membunuhnya. Meski kadang menyeramkan, tapi ia sangat menikmatinya. Menggemaskan dan cantik.

"Senyam senyum lo! Ngaku abis ngapain aja pas gue tinggal lo berdua!" todong Ray tepat di muka Pra.

Pra berusaha mengelak, mendorong jauh telunjuk Pra yang sempat mengagetkannya. "Apaan sih. Mau tau aja lo." Ia kemudian berdiri kembali ke kursinya.

"Dih... dih... sok-sokan mengelak. Gak mungkin gak ada apa-apa kalau lo tadi dengan tegas bilang ke papa lo kalau lo cinta sama dia," kata Ray mengekori Pra. "Gue kaget asli! Gue menanti kapan bos gue sadar ya tuhan, akhirnya sadar juga sama perasaan lo sendiri."

Pra bergeming tak membantah ucapan Ray. Benar, selama ini ia terlalu lama menyangkal perasaannya sendiri. Ia tau, kesadarannya bukan hanya karena perasaan membuncah lelaki itu menjadi ciuman pertama Arum, tapi hari-harinya tanpa Arum dan pernyataan wanita itu kemarin.

Bah! Wanita itu menganggap apa yang mereka lakukan adalah hal yang biasa? Setelah ia juga mengatakan bahwa ciuman pertamanya tak penting? Harus bagaimana lagi ia menjelaskan ke wanita itu? Padahal mereka sudah berciuman sangat lama dan bukan hanya sekali.

(un) Match CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang