Sakitnya Patah Hati

2 1 0
                                    

 “Apakah ini saja kerjaku? Hanya memikirkan patah hatiku, kekecewaan ku karena dia meninggalkanku mentah-mentah tanpa sepatah kata sebagai ucapan perpisahan."

“Dan apakah hanya ini kerjaku? Hari-hari kulalui dengan kesedihan, luka dan rindu yang tak tau diri ini, yang selalu datang, datang dan datang lagi tanpa ku undang seakan tak pernah jenuh untuk bertandang.

“Apakah hanya ini saja kerjaku? Meratapi kepergiannya dari cinta dan hidupku, membuat semangatku hilang dalam menjalani hari-hari karena terbelenggu dalam kerinduan berharap bayangannya akan menjadi nyata dan bukan hanya ilusi semata.”

Mengapa aku begitu bodoh! membiarkan diriku semakin tenggelam dalam luka yang ku buat sendiri karena mencintainya. Seharusnya sejak awal pertama kali jumpa aku menepis pesonanya agar pandanganku tak terkena silau asmara yang dia tebarkan. 

Seandainya hari itu aku tidak berjumpa dan berkenalan dengannya serta bertukar nomor handphone aku pasti tidak akan merasakan rasa yang kemudian tumbuh dengan sendirinya. Rasa yang tak pernah kumengerti apa maunya, rasa yang sulit diungkapkan karena rasa ini adalah hal yang tak biasa. Mungkinkah ini cinta yang tulus dari hati karena rindu tak pernah pudar? atau hanya rasa suka sesaat yang suatu saat pasti akan memudar dengan sendirinya?

Seandainya hari berikutnya tak ada komunikasi dengan canda dan tawa diantara kami tentu aku tidak akan merasa dekat dengannya karena saling berbalas pesan singkat yang membuat kami tersenyum karena hal-hal lucu yang kami bahas.

Kini, aku merasakan akibatnya . Aku merasakan jatuh saat dia putuskan pergi jauh dan tak terlihat lagi oleh pandangan mataku. Angkuhnya sikapnya membuat aku tak sanggup menahan derai air mata dipipiku. Aku menangis! Menangis kenapa dia harus hadir dalam kehidupanku. Ingin rasanya aku juga pergi jauh kearah yang berlawanan dari arah yang dia tempuh, agar tak kutemui lagi jejak dirinya. Ingin rasanya aku menghapus semua ingatan tentang dia seperti aku menghapus memori yang penuh di handphoneku, hanya dengan satu klik jemariku, tapi semua itu tidak semudah yang kubayangkan! Dia … dan bayangannya masih disini, mengikuti setiap langkahku bersama senyumnya yang terkadang bermain dimataku. 

Sudah berkali ku usir bayangannya dan berkata bahwa dia bukan untukku dan aku bukan untuknya. Sudah berkali juga kukatakan padanya bahwa aku akan tinggalkan dia dan semua mimpi tentang dia tapi nyatanya aku masih kembali menoleh pada alunan lagu sendu yang bernama rindu.

Seharusnya aku sudah bisa berdiri tegak dari jatuh ku kalau saja aku bisa berpura pura tak mengenalnya, menganggapnya tak pernah ada dan hanya sebagai angin lalu. Aku belum bisa menghapus bayangannya sepenuhnya dari hatiku tapi aku yakin bisa menghilangkannya pelan-pelan.

“Ayo dong Dita udahan dong menulis puisi dan curhatnya. Sisakan buat besok! Ha … ha … ha …!” goda Rina yang tiba-tiba masuk ke kamarku tanpa permisi dan ketuk pintu terlebih dulu.

“Ada apa Rin? Ganggu aja deh! Aku lagi mood nih buat puisi dan cerpennya tapi karena Kamu ganggu masuk tanpa permisi dan tertawa cekikikan seperti tadi membuat inspirasiku jadi hilang!” Kataku pura pura bete. Padahal memang hari ini aku lagi bad mood dari tadi pagi.

“Ayo! Jalan-jalan temenin aku.” Ajak Rina padaku.

“Kemana? Kemarin kamu bilang mau ajak aku makan diluar sampai hari ini ku tungguin janjinya!” Kataku menagih janji Rina ajak aku makan diluar hari ini.

Rina mengajakku ke tempat makan nasi goreng yang berada di pinggir jalan, tempatnya cukup sederhana namun bersih. Setelah mengambil tempat duduk yang nyaman Rina memesan dua porsi nasi goreng kesukaan kami.

“Kenapa kemari? Katanya kita mau makan di restoran seperti yang kamu janjikan, kok malah makan kemari …” bisikku pelan pada Rina.

“Dengerin ya Dita saat pandemi covid-19 seperti ini seharusnya kita hidup lebih prihatin lagi. Kita syukuri apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Aku cuma mampu traktir kamu makan disini karena belum gajian.” Kata Rina sambil tersenyum.

INDAH Where stories live. Discover now