Dilema

9 1 0
                                    

"Siapa laki-laki tadi?" Tanya Didi. Aku diam dan hanya memandang wajahnya dengan pandangan tak mengerti. Baru saja kami tertawa dan bercanda, sekarang dia malah bahas hal yang tidak penting bagiku.

"Aku tidak kenal dia, namanya juga makan di warung siapa saja bisa duduk dimana saja asalkan ada tempat yang kosong." kataku mencoba sekali lagi menjelaskan semuanya. Didi seperti tak bisa terima jawabanku. Apa aku harus bersumpah untuk meyakinkan dirinya bahwa aku tidak ada hubungan apa-apa dengan laki-laki tadi!

Didi berjalan meninggalkan diriku menuju tempat parkir setelah lebih dulu membayar tagihannya dan aku berusaha mengejarnya!

"Kamu menuduh aku selingkuh?" ujarku dengan nada kesal dan berusaha intonasi suaraku agar tidak memancing perhatian orang yang sesekali lewat di jalan itu.

"Aku tidak percaya! Aku lihat sendiri kamu makan berdua sejak tadi." Didi tetap dengan tuduhannya, itu membuat hatiku sangat sakit!

Sepeda motor Didi berhenti di sampingku, dia hanya diam tanpa mempersilahkan aku naik. Dengan muka cemberut aku menurut ketika sepeda motornya melaju dengan kencang seolah tak peduli padaku yang mulai ketakutan hingga aku meletakkan tanganku di bahunya.

"Kita mau kemana?" teriakku pada Didi walau kutahu itu hanya sia-sia karena suaraku pasti tak terdengar karena kencangnya angin yang menerpa di tengah laju sepeda motornya. Walaupun Dia dengar dia tak akan peduli! Aku tahu betul sifatnya yang sedikit keras kepala apalagi kalau sedang marah seperti ini.

"Sekarang jelaskan siapa laki-laki yang makan bersamamu?' tanya Didi dingin, sedingin suasana malam ini ketika sepeda motor berhenti di pinggir pantai.

"Aku tidak tau." Aku menepuk keningku tak percaya semua bisa jadi serumit ini.

"Katakan sesuatu yang bisa meyakinkan aku bahwa kamu tidak berbohong ...." bisik Didi pelan dan menatap mataku jauh menembus ke relung hatiku yang terdalam. Menatapku bagaikan seorang pengkhianat!

Aku berjalan menuju pinggir dermaga pelabuhan ini dan berhenti saat pandangan mataku jauh ke tengah laut kelam yang hanya berhiaskan lampu dari perahu nelayan yang sedang mencari ikan. 

"Dulu, sebelum kamu putuskan untuk pergi tanpa sepatah kata pun, aku terluka! sedih! Dan  tersiksa rindu karena kehilanganmu ... Apa kau peduli? Tidak! Kamu tidak peduli! Teriakku mulai tersulut emosi sambil menunjuk ke dadanya.

"Itu karena kau menolakku." Ujar Didi membela diri. Sejenak kami saling berpandangan mencari kebenaran masing-masing.

"Apa kau tau, aku menolakmu karena apa? Aku terpaksa … kita berbeda latar belakang dan adat, cinta kita tak direstui." bisikku pelan dan dingin sedingin angin laut yang menerpa wajahku. Ingin rasanya aku menangis ketika itu ...

"Bisakah kita saling melupakan kalau memang kita tak bisa bersama?" Didi berkata lirih. Aku tidak menjawab  pertanyaannya karena perhatianku terjeda oleh ramainya kendaraan dan penumpang kapal yang akan menyeberang malam ini. 

"Tanya saja hatimu dan jawabanmu adalah jawabanku. Kalau kau merasa bahagia dan baik-baik saja tanpa aku berarti aku juga akan baik-baik saja." Aku berkata dengan wajah serius meyakinkannya bahwa aku tak apa bila dia tinggalkan.

Mungkin dia akan baik-baik saja bila satu hari nanti kami harus berpisah dan aku harus melalui hari tanpa canda tawa bersamanya! Entahlah tak tahu pasti bagaimana jadinya nanti." Kuhapus titik air mata di sudut mataku ditengah cahaya temaram tanpa sepengetahuan Didi. Suara terompet kapal yang memberitahukan bahwa kapal akan segera berangkat menyadarkan kami bahwa malam sudah semakin larut.

"Ayo! Kita pulang!" ucap Didi menggandeng tanganku menuju ke tempat parkir. Aku berjalan berdampingan dengannya sesekali ku lirik wajahnya sebelum kami benar-benar berpisah. Sepanjang perjalanan aku dan Didi lebih banyak terdiam bermain dengan pikiran sendiri ditemani oleh indahnya cahaya bintang di langit sepanjang perjalanan. Didi mengantarku hingga di depan rumah tanpa turun dari sepeda motornya kemudian meraih jemari tanganku sambil berkata "Aku mencintaimu ...." Aku merasakan debaran hatiku menyiratkan rasa bahagia karena merasakan cinta yang sama. Didi melepas jemariku meninggalkanku yang masih berdiri terpaku di tengah gerimis hujan yang mulai turun.

Aku tak langsung masuk ke dalam rumah tapi justru duduk melamun di teras depan masih teringat ucapan Didi tadi. Sungguh indah namun juga dilema! Aku tersenyum sendiri terasa bagai di taman bunga yang begitu indah tapi tunggu dulu kenapa pohon bambu kuning di ujung halaman nampak begitu menyeramkan? kalau dipandang saat malam seperti ini ya. Hih! Aku bergidik ngeri kalau membayangkan sesuatu hal yang serem!" Aku segera membuka pintu dan menguncinya kembali.

Malam ini ...

Di pembaringan sendiri hanya bertemankan sunyi mengapa mata ini masih enggan terpejam dan terlelap? Detik berganti menit dan menit pun berganti jam aku belum juga terlelap! Aku bisa sembunyikan kesedihan dibalik canda tawa dan bisa samarkan luka dibalik senyuman.

Kubuka buku diary berwarna biru muda, kutuliskan semua apa yang kurasakan malam ini kedalam sebuah puisi.

"Setitik kerinduan yang tak pernah sirna, 

Hanya bersembunyi sejenak

Esok rasa akan kembali 

Tersiksa rindu yang tak jua sampai 

Lewat angin malam pesan rinduku sudah ku titipkan Kasih! 

Adakah rindumu padaku?

Kau titipkan pada rembulan yang indah …

Kupandang kala hati dilanda kerinduan …

Aku menutup diaryku lalu pejamkan mata ini berharap hadirnya mimpi indah dimalam ini.






INDAH On viuen les histories. Descobreix ara