Numpang Istirahat

7 1 0
                                    

Hari ini aku berjalan kaki di tengah hamparan sawah nan menghijau tanpa alas kaki. Sepatu kumasukkan ke dalam tas karena tadi aku jatuh terpeleset di jalanan yang licin. Beberapa kain usang di pasang dengan memakai tali yang di tarik untuk mengusir burung pemakan padi. Burung pemakan padi yang hinggap akan kembali terbang bila talinya ditarik. Sesampainya di pondok kecil di tengah persawahan ini aku mencuci kedua kakiku dengan air yang menggenang di pematang sawah. Sinar mentari yang terasa menyengat  kulitku membuat wajahku memerah dan berpeluh, sesekali kuhapus dengan kedua tanganku. Ini sawah siapa ya?  Bagaimana bisa aku nyasar sampai ke persawahan, aku hanya mengikuti langkah kakiku yang membawaku hingga ke sebuah persawahan yang luas.  Aku merasa lelah kemudian duduk di pondok kecil yang tidak berdinding sehingga sejauh mata memandang hanya hamparan sawah dengan bulir padi yang mulai menguning. Begitu sunyi di sini, tak seorang pun ku jumpai di sini. Kakiku terasa penat karena jauhnya melangkah, begitu juga hatiku yang telah lelah menggenggam sebuah harapan bersamanya namun penantianku kian tak pasti. Awalnya aku hanya ingin melepaskan lelah, berbaring dan memejamkan mata untuk melupakan sejenak sesuatu yang selalu mengusik dengan berbagai tanya yang tak pernah ada jawabnya. Tanpa kusadari aku tertidur, entah sudah berapa lama aku tertidur, Aku tidak tau ...

"Nak, ayo bangun! Kenapa tidur di sini sendirian? Kamu siapa dan dari mana kampungnya?" tiba-tiba seorang ibu paruh baya membangunkan diriku. Kulihat senja sudah memerah di ufuk barat, aku sungguh terkejut menyadari bahwa aku tertidur di sini! Kupandangi wajah penuh keibuan di depanku.

"Maaf Bu, saya Dita numpang istirahat di sini dan rupanya saya ketiduran karena letih berjalan jauh." Aku berkata sambil bersalaman dengan ibu itu.

"Tidak apa nak, ... tapi sebaiknya kamu pulang karena sebentar lagi hari mulai gelap." sambung ibu itu lagi.

"Bu, saya mungkin pulang sekarang karena tidak ada angkutan umum lagi. Saya juga takut di jalan sendirian. Apa boleh saya ikut ke rumah ibu saja?" tanyaku sedikit bingung kalau terpaksa pulang sore itu. Kulihat Ibu itu sedikit ragu dengan keinginanku.

"Boleh saja nak, tapi rumah ibu kecil dan mungkin kamu tidak mau singgah dan menginap di rumah ibu." Ibu itu rupanya ragu dengan keinginanku.

"Tidak apa Bu, saya tidak mempermasalah kondisi tempat tinggal ibu karena saya juga berasal dari keluarga yang sederhana Bu." jawabku mencoba meyakinkan ibu itu.

Kami pun beranjak turun dari pondok kecil tempat kami duduk dan berjalan kaki menuju rumah ibu itu. Aku membantunya membawakan sayuran yang telah dipetik olehnya.  Ada daun ubi, kacang panjang dan daun kangkung. Lumayan jauh juga rumahnya, beberapa kali aku minta berhenti untuk istirahat duduk di pinggiran pematang sawah. Seharusnya aku malu sama ibu yang duduk di sebelahku ini yang tidak tampak rasa lelah di wajahnya, ia malah tersenyum melihatku. Entahlah! Aku tak tahu arti senyumnya tapi kurasakan ketulusan di sana.

"Ayo! Kita jalan lagi Bu." kataku pada ibu itu sambil berdiri dan membawa sayuran yang tadi dipetik olehnya. Ia mengangguk tanda setuju.

kira-kira dua puluh menit kemudian sampailah kami di depan sebuah rumah yang sangat sederhana sekali,  berdinding bambu dan atap daun Rumbia. Ternyata ibu itu mempunyai seorang suami yang sedang terbaring sakit. 

"Maaf Bu, Bapak sakit apa? Oh ya! saya belum mengenal nama ibu dan berapa orang anak ibu?" Aku tak kuasa menahan tanyaku yang mengusik keingintahuanku.

"Nama ibu Iis nak, suami ibu sudah satu tahun ini terbaring sakit. Anak ibu dua orang dan sudah menikah semua. Semenjak menikah mereka jarang pulang melihat keadaan Ibu dan Bapak." jawab ibu Iis dengan raut wajah yang sedih menahan kerinduan pada anak dan cucunya. Aku jadi teringat mamaku yang berada jauh dariku dimana kalau melalui perjalanan darat aku harus melewati jalan yang berkelok tapi kalau jalur udara cukup dua jam perjalanan dengan pesawat terbang. Ada sih! Perjalanan murah, cepat dan tanpa ribet kalau mau jumpa mama, cukup dengan pesawat telepon tinggal tekan nomor saja aku sudah bisa mendengar suara dan melihat wajah mama langsung dengan video call 

"Sabar ya Bu, mungkin anak ibu belum ada kemudahan mengunjungi Ibu dan Bapak kita doakan saja hari Raya tahun ini mereka bisa pulang kemari." Aku mencoba menghibur ibu Iis agar ia tidak terus bersedih.

Malam itu kami makan malam, Aku membantu menyiapkan makan malam  namun hanya ada nasi dingin, beberapa potong ikan asin, sambal dan sayur yang dibawa dari sawah tadi sore. Kami makan di lantai tanah berlapis 

tikar yang telah usang. 

"Silahkan makan nak Dita tapi hanya ini yang bisa ibu sediakan untuk makan malam kita karena .... ibu tak punya apa-apa yang bisa ibu hidangkan selain ini semua." Ibu Iis berkata dengan suara terbata dan menyeka air matanya. Hatiku trenyuh dan sedih! 

"Tidak apa Bu, ini sudah lebih dari cukup. Alhamdulillah kita masih bisa makan malam ini sehingga kita tidak kelaparan." Aku menyendok nasi untuk ibu Iis kemudian baru nasi untukku, Kulihat ibu Iis memberi makan suaminya dengan setia. Aku jadi berpikir apakah aku sanggup menjadi seorang istri seperti ibu Iis yang setia menjalani suka duka kehidupan berdua sampai tua bahkan untuk selamanya?  Mungkin rasa cinta di antara mereka yang membuat semua kesulitan dan kesedihan terasa ringan untuk dilalui bersama.

" Bu, saya izin mau tidur dulu karena sudah mengantuk."  Ibu Iis mengantarku ke kamar tidur. Aku melihat sebuah tempat tidur dari kayu dan hanya beralaskan tikar tanpa kasur. Aku segera berbaring dan memandang ke langit kamar yang banyak sarang laba-labanya. Aku mencoba tidur tapi belum bisa tidur ... ehm! Mungkin karena aku belum memandang wajah si dia yang selalu mengikuti kemana saja kakiku melangkah, sampai ke rumah ibu Iis pun bayangannya tetap ikut! Kupandangi seraut wajah di galeri HP ku, ia tersenyum padaku seolah berkata "Met bobo ya, I Miss U." Ku tutup layar HP ku dan ku pejamkan mataku mencoba sadar diri  karena semua itu hanyalah sepenggal kenangan bersamanya.

Pagi yang indah ...

Dengan kicau burung di pepohonan, aku segera berkemas untuk pulang ke tempat kos pagi ini karena si Indri selalu meneleponku. Sebelum pamit dengan ibu Iis aku memeriksa isi dompetku ada beberapa lembar uang yang jumlahnya tidak banyak terselip di sana. Cukuplah untuk ongkos di jalan, selebihnya aku berharap bisa berbagi bahagia  dengan buk Iis.




INDAH Where stories live. Discover now