૮₍'˶🩰 ׅ ׅ⸼ּ ݂݁Hαlαmαn 021⚶ִׁ

1K 49 14
                                    

𖥻21. MELEPASKAN TANPA KERAGUAN
_____________________________________

"Lihatlah pemuda jas hitam dengan sepatu pantofel mengkilat, potongan rambut pendek. Bukankah dia terlihat gagah dan menawan, sayang?" tanya Mama Juwi berhasil menyeret Irish di undukan anak tangga bawah terakhir. Berada di tengah-tengah kerumunan, beberapa pasang mata menatap Irish terang-terangan, kebanyakan memuji takjub kecantikan putri satu-satunya Keluarga Dirgantara.

Irish mengikuti arah pandang Mama Juwi, kontak matanya dengan seorang pemuda spontan bertabrakan. Irish cepat mengalihkan tatapannya membuang ke arah lain.

"Mari mama kenalkan dia kepadamu," ajak Mama Juwi senang. Irish menggeleng menarik tangannya dan mundur selangkah. Ia belum siap menghadapi tantangan malam ini, bertemu seorang anak rekan bisnis Papa dan Liam.

Nurul udah gak di luar, inimah.

Irish menatap hiperbola ruangan besar rumah keluarganya. Karangan bunga, ucapan selamat, lampu menghiasi di mana-mana, berkumpulnya orang-orang penting. Ingin Irish menghilang sekarang juga kalau tahu begini akhir cerita hidupnya, malang sekali.

"Irish belum siap," bisik gadis itu pelan.

Mama Juwi mengernyit. "Kamu udah cantik, jangan banyak alasan," katanya asal keluar tak memahami maksud belum siap Irish.

"Mama, Irish butuh waktu. Jangan sekarang, please," jelasnya dengan tatapan memohon.

Mama Juwi malah tertawa, lucu pikirnya. "Mama gak memaksa kamu menerima tawaran lamaran pemuda itu, Irish. Mama mau kamu dan dia berkenalan, ngobrol."

Bahu Irish merosot, hati kecilnya berteriak sekuat mungkin berharap seseorang datang bak pahlawan kesiangan menyelamatkan hidupnya malam ini, detik ini.

"Ayo sayang." Mama Juwi menggenggam lembut tangan Irish, tanpa penolakan lagi. Irish kehilangan energi sekedar mengeluarkan suara. Minatnya bergabung mendadak hilang sekejap mata, Irish berhadapan langsung dengan seorang pemuda jas hitam yang ditunjuk Mama Juwi beberapa menit lalu.

Detak jantung Irish bekerja lebih cepat untuk kedua kalinya setelah bersama Sergio. Apakah pertanda Irish normal?

"Hai, perkenalkan saya Alaska, Alaska Oliver." Mengulurkan tangannya seraya memasang senyum tipis. Irish mematung beberapa menit, bukannya menyahut uluran tangan. Gadis itu malah bersembunyi dibalik punggung mamanya.

"Panggil Irish aja."

"Calon menantu Bunda malu-malu kucing, ya," celetuk wanita sanggul konde tersenyum melempar kekehan kecil. Wanita memanggil dirinya bunda itu merangkul mesra lengan kokoh putranya menatap kagum Irish.

Mama Juwi mengusap tengkuknya. "Mohon dimaafkan Irish, sebelumnya anak saya tidak pernah dekat dengan cowok manapun selain ketiga abangnya dan papanya." Tak menyangka mendapat reaksi Irish seperti itu menimbulkan rasa bersalah Mama Juwi kepada Alaska dan bundanya.

"Bukan masalah besar, Jeng." Ada jeda sejenak. Wanita sanggul konde menyembulkan dirinya. "Kalau gitu. Bunda Zoya, panggil saya bunda sama seperti Alaska."

Irish menggeser tubuhnya satu langkah, enggan mengeluarkan suara berakhir anggukan singkat. Sudah ia bilang tadi, Irish belum siap, mama memaksa bergabung bersama orang asing dan menjodohkan tanpa berunding terlebih dahulu.

"Kamu gak perlu takut, sayang. Alaska dan bunda gak makan orang, kok," ujar Bunda Zoya mencoba membangun interaksi. Irish tersenyum canggung.

"Mama, Irish anak kandung mama dan papa bukan, sih?" Pertanyaan tersebut spontan keluar dari mulut Irish, kepala mendongak menatap serius Mama Juwi. Menurutnya keputusan sepihak keterlaluan sekali, perjodohan di atasnamakan bisnis penting.

Obsession Brother [ ON GOING ] Where stories live. Discover now