chapter 04.

5.9K 296 11
                                    

halo semuanya, selamat membaca cerita abal-abal ini ya semoga kalian suka. Jangan lupa vote dan komen

happy reading

###

Rizal tidak tau mengetahui jika telah membuat kehebohan kecil yang di akibatkan oleh kehadirannya. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya mengabaikan tatapan yang terus mengikuti setiap pergerakannya.

Sejak keluar mobil hingga masuk ke gedung fakultas mata setiap orang terus tertuju padanya tapi Rizal memilih mengabaikan, mengaggap jika mereka mungkin asing dengannya makanya terus menatapnya apalagi tampilannya yang mirip seperti dosen.

Sebelum ke rumah sakit Rizal terlebih dahulu membeli buah pisang untuk Gilang, karena perutnya masih harus mengkonsumsi makanan yang lembut dia memilih pisang sebagai camilan.

"Beli makanan untuk Tunggal gak ya?" Rizal berpikir sebentar, membelikan Tunggal atau tidak karena dia tidak yakin jika pria itu masih di rumah sakit.

Ini hari senin jadi jelas jika dia akan masuk kerja, tapi mungkin saja dia izin untuk tidak masuk memilih menemani Gilang sampai mamanya datang.

Karena tidak ingin canggung jika tidak membawa makanan untuk Tunggal, Rizal memilih membelikan saja lagipula jika nanti tidak dinamakan itu bisa untuk nya saja.

Di rumah sakit Rizal langsung menuju ruang inap Gilang, di sepanjang jalan dia banyak mendapat sapaan dari pasien, perawat dan dokter yang bertugas.

"Dokter Rizal disini? bukanya shift dokter nanti malam"

"Iya, saya hanya datang karena teman saya di rawat" Rizal berhenti untuk berbincang dengan dokter Vani, dokter spesialis kandungan.

"Begitu rupanya, saya kira dokter salah jadwal" Doker Vani tertawa malu-malu.

"Saya tidak salah jadwal, dokter sebaiknya kembali ke ruang dokter tadi saya melihat sudah banyak pasien yang datang" Rizal langsung kembali berjalan.

Tidak ingin berlama-lama membicarakan hal tidak penting, selain karena tidak tenang jika Gilang sendirian. Dokter Vani seharusnya tidak membuang banyak waktu saat jadwal kerjanya.

Rizal benar-benar tidak menyukai dokter yang terkesan meremehkan pekerjaannya, dengan membuang-buang waktu meski hanya sepersekian detik karena bagi pasien tiap detik adalah hal yang penting.

Rizal mengetuk pintu rawat inap Gilang sebelum masuk, ternyata Tunggal masih disini menjaga Gilang di pangkuannya ada laptop.

"Masih disini?" Bukan mengusir tapi sebelumnya Tunggal akan menitipkan Gilang ke perawat sampai ibunya datang.

"Gak tega ninggalin dia" Tunggal menjawabnya singkat, keadaan Gilang lebih parah dari sebelumnya makanya dia tidak berani meninggalkan Gilang sendirian sampai mamanya datang.

Mamanya pagi tadi sudah menelfon jika tidak bisa datang hari ini karena sedang di rumah kakeknya dan baru berangkat semalam, mau tidak mau Tunggal harus izin untuk menjaga Gilang dan bekerja secara online.

"Kalo sibuk biar saya aja yang jaga Gilang" Rizal menawarkan karena melihat Tunggal yang fokus pada laptop nya.

"Memangnya pak dokter gak jaga?" bukan Tunggal yang bertanya tapi Gilang.

"Saya jaga malam jadi gak masalah kalo harus jaga kamu" Rizal duduk di samping ranjang tangannya mengupas buah pisang dan memberikannya ke Gilang. "kamu sudah makan dan minum obat?" Rizal melanjutkan perkataannya ini sudah lewat jam sarapan.

"Udah kok, pak dokter yang belum sarapan cuma abang dari tadi sibuk lihat laptop sama telfon terus" Sejak dia bangun sampai sekarang sudah hampir siang abangnya itu masih sibuk.

"Saya bawa sarapan buat Tunggal nanti minta dia makan" Rizal masih canggung untuk menawarkan makanan ke Tunggal.

Tidak seperti dia dan Gilang yang memang sering berbicara, interaksinya dengan Tunggal hanya saat menjelaskan keadaan Gilang dan mungkin hanya bertanya tentang obat untuk Gilang selebihnya tidak pernah.

Berbeda dengan Gilang yang sering membicarakan hal random yang membuatnya pusing, tapi cukup menghiburnya yang sering merasa kesepian di rumah sakit.

Rizal jadi ingat pertemuan pertama keduanya yang bisa di bilang cukup aneh. Gilang yang waktu itu masih mahasiswa baru datang ke IGD dengan wajah pucat lalu pingsan di pintu masuk hingga membuat semua orang panik.

Rizal yang saat itu dinas jaga IGD dibuat kaget karena melihat orang jatuh pingsan tepat di hadapannya,  ditambah lagi sebelum pingsan Gilang sempat meminta tolong padanya dengan suara lirih.

Jika di ingat cukup lucu Gilang pingsan karena gula darahnya rendah di tambah dengan asam lambung yang kambuh, Gilang sudah seperti orang sekarat saat pertama kali datang tapi setelah sehari mendapatkan perawatan dia sudah bisa berkeliling menyapa pasien lainnya.

Rizal cukup terkejut, melihat Gilang tengah berbicara dengan pasien yang ada di bangsal sebelahnya, sebenarnya jika Gilang hanya berbicara dari ranjang masing-masing cukup terlihat normal tapi Gilang tidak seperti itu dia duduk di bangku samping ranjang seperti seorang penjenguk.

"Dokter, pak dokter" Rizal di buat terkejut dengan wajah Gilang yang cukup dekat dengannya.

"Apa?"

Gilang menjauhkan wajahnya bibirnya cemberut, "Pak dokter dari tadi di panggil, tapi diem aja gue kira pak dokter kerasukan penunggu rumah sakit" Sudah berkali-kali Gilang memanggil Rizal setelah abangnya pamit untuk pergi ke kantor tapi Rizal malah diam saja tidak menyahuti.

"Saya cuma lagi mikir aja" Rizal menyentil dahi Gilang, kenapa otaknya selalu ada saja pemikiran aneh.

"Sakit pak dokter jangan di sentil" Gilang mengelus dahinya "Mikir cicilan ya, pak dokter dari tadi di panggil gak nyaut pas abang pamit juga tetep diem" Gilang melanjutkan perkataannya.

"Nggak ya, saya gak punya cicilan, kamu jangan mikir aneh-aneh" Enak saja Gilang menuduhnya memikirkan cicilan.

"Jangan malu dokter, gue tau kok kalo semua orang punya cicilan buat penyemangat kerja" Gilang memasang senyum seperti seorang motivator yang sedang memberikan dukungan.

Rizal hanya menggelengkan kepalanya, mana ada orang yang menjadikan cicilan sebagai penyemangat agar terus bekerja keras, bukanya tetap waras yang ada gila karena memikirkan hutang.

Dia bukan tipe orang yang gaya hidupnya melebihi kemampuan ekonomi yang dimiliki, sejak bekerja sebagai dokter Rizal belum pernah mengambil cicilan atau hutang dia lebih suka menabung terlebih dahulu baru membeli apa yang diinginkan.

"Orang kok aneh, ada hutang malah semangat bukanya mumet"

"Pak dokter kan orang kaya mana ngerti rasanya nyicil barang" Gilang tau jika dokter di depannya ini dari kalangan pure blood ayahnya direktur rumah sakit dan ibunya dokter spesialis bedah.

"Yang kaya orang tua saya, buktinya saya hanya ada satu apartemen dan satu mobil"

"Itu karena dokter pelit, milih duitnya di buat beli saham atau di simpan di bank" Gilang tidak paham kenapa dokter tampan ini memilih untuk membeli banyak lembar saham rumah sakit dibanding membeli aset seperti tanah atau real estate,

"Lagian ya dokter gak semua banyak uang, mereka yang nyicil itu pasti pengen tetap punya aset meski dana mereka pas-pasan dan gak mampu kalo bayar langsung" Gilang memberikan ceramah untuk orang kaya yang tidak pernah merasakan ingin memiliki aset dengan gaji minimum.

"Kenapa tidak di tabung saja dan nanti langsung di belikan secata cash" Rizal masih tidak memahami konsep yang di jelaskan Gilang.

"Gini loh pak dokter, kalo kita nabung pasti uangnya bakal ke pake dan gak kumpul-kumpul beda kalo kita nyicil yang harus di sediakan uangnya tiap bulan dan buat kita mikir-mikir lagi buat pake uangnya di keperluan lain, selain itu juga barangnya udah ada di depan mata jadi kita makin semangat buat bayar cicilan"

"Terserah kamu, saya masih gak paham sama konsep pemikiran kamu"

Mungkin karena berbeda pemikiran Rizal masih kesulitan memahami kenapa banyak orang memilih mencicil sesuatu dibanding menabung dulu, rasanya cukup menyiksa karena harus menahan beberapa keinginan hanya untuk membayar tagihan tiap bulannya.

###

TBC

Love DiagonosisWhere stories live. Discover now