13. Teman

729 126 22
                                    

Mia melihat kalender di depannya. Benar ternyata, ulang tahunnya masih belum terlewat.

Mia meletakan kalender duduk itu ke atas meja. Sengaja tidak Mia keluarkan dari koper sejak lama karena dia memang tidak pernah ingin menghitung hari.

Padahal Mia sangat ingin mati. Tapi melihat hitungan di kalendernya saja dia tidak mau. Aneh ya?

Apa karena Mia terlalu pesimis untuk hidup?

Kali ini Mia sedikit menantikan ulang tahunnya bersama dengan Jeremy dan yang lain.

Mia mengambil ponselnya dan menuliskan tanggal dan bulan Jeremy berulang tahun. Dia ingin mengingatnya, mungkin masih sempat karena cowok itu lahir di awal tahun.

Mengingat hal-hal seperti ini seharusnya sangat mudah untuk Mia. Kenyataanya sudah beberapa tahun belakangan kepalanya sering sakit dan terkadang ingatan yang penting untuknya tergeser begitu saja.

Hal yang tidak ingin Mia lupakan adalah tanggal ulang tahun dan tanggal mamanya meninggal.

Itu akan sangat menyakitkan jika Mia sampai melupakannya.

"Awh," ringis Mia, bolpoin yang dia pegang terjatuh ke lantai.

Kepalanya mendadak pusing. Satu tanganya mencengkeram kuat meja sementara satu tanganya meremas kepalanya sendiri.

Sakit sekali.

Sepertinya saat Mia pergi ke rumah mamanya dan bersih-bersih di sana, dia juga merasakan rasa sakit yang teramat hebat ini.

Setelah berjalan ke sana kemari, dia terjatuh dan tertidur pulas. Karena itu saat bangun dia tidak ingat apa-apa.

Kali ini Mia dengan cepat menarik laci mejanya. Dia mengambil botol obatnya dan meminumnya. Tanpa air, Mia menelannya seperti sedang mengunyah permen.

"Pahit," gumamnya.

Ah, dia masih bisa merasakan rasa ini ternyata.

"Tenang Mia... tenang," ucap Mia kepada dirinya sendiri. Saat merasa tubuhnya sudah kembali berdiri dengan stabil, Mia segera mendudukan tubuhnya di kursi.

Napas Mia tak beraturan. Dia mencoba menarik dan meghembuskan napas dengan pelan.

Dia sudah berteman dengan rasa sakit ini selama beberapa bulan terakhir. Rasa pahit obat apa lagi.

Matanya yang samar-samar kembali cerah. Mia bisa melihat bulatan bolpoin di kalender yang barusan dia buat.

Saat itu Mia menatap ke arah ponselnya yang berkedip. Tanpa mengangkatnya, Mia membiarka ponsel itu berada di meja lalu membuka pesan yang ternyata dari dokter Tomi itu.

Wah, kenapa sih bisa pas begini?

Haruskah Mia meminta resep obat sakit kepala ke dokter Tomi dibanding membeli sendiri di apotik?

Sekarang memang masih manjur tidak tahu ke depannya.

Dokter Tomi
Mia, mana janji kamu yang katanya mau datang ke rumah sakit lagi?

Dokter Tomi
Aku sudah bersabar menunggumu. Haruskah aku katakan saja pada Sagara, dia teman baikmu kan?

Deg!

Jantung Mia berdegup kencang melihat pesan terakhir dokter Tomi. Apa katanya? Membiarkan Sagara tau?

Apa pria itu berpikir Mia akan mempercayainya. Meski merasa sedikit takut, Mia tidak ingin mempercayainya begitu saja.

Itu hanya ancaman saja atau mungkin malah omong kosong belaka.

•••

JEREMIAWhere stories live. Discover now