16

4.5K 549 44
                                    

Tadinya, jeno meminta untuk ikut kerumahnya untuk meminta izin agar renjun tinggal bersamanya, yang aslinya jeno berniat mengancam perempuan itu. Karna jeno tak ingin berbasa basi dan berlaku baik dengan mama renjun yang lebih cocok disebut iblis. Tetapi renjun melarangnya, ia mengatakan akan membicarakan hal itu selapis dulu, baru jeno boleh datang. Jika bisa, dominan itu tak usah berkunjung, karna renjun tak ingin jeno tau bagaimana kehidupan menyedihkannya dirumah. Bisa saja lena memakinya di depan jeno, dan renjun tak yakin bisa menahan itu.

Sebenarnya renjun ketakutan, entah apa yang akan lena lakukan kepadanya. Namun disinilah ia, setelah mendapatkan tamparan bertubi-tubi, beserta jambakan karena tak pulang-pulang, renjun mengumpulkan kembali keberaniannya untuk menemui lena. Walau kepalanya terasa ingin pecah karena sakit, walau tubuhnya bergetar hebat, renjun berusaha menenangkan diri. Ia mengatakan pada dirinya sendiri, bahwa ini akan segera berakhir, bahwa ia akan segera hidup dengan lebih aman, hal yang begitu ia nantikan.

“Mama. . .” renjun memanggil, setelah lena mengijinkannya masuk. Terlihat perempuan itu sedang bergelut dengan berkas-berkas di tangannya.

Lena menatapnya dengan tajam, tatapan yang kerap kali membuat renjun sesak. “Apalagi? Kau masih berani menemuiku? Apa tak cukup semua tamparan yang kuberikan?”

Renjun menarik nafas, berusaha sekuat mungkin agar tak takut. “Ada yang ingin renjun katakan, renjun ingin meminta izin untuk tinggal sendiri—“

“Apa? Coba ulangi?” lena bangun, melipat kedua tangannya di dada.

Entah apa yang akan terjadi, renjun menebak bisa saja lena akan marah besar. Namun ia tetap harus menyampaikan ini. “Renjun ingin keluar dari rumah ini, renjun tidak ingin mama muak dengan renjun disini. Oleh karena itu, renjun ingin meminta ijin kepada mama”

Lena mendekat secara terburu-buru, menjambak rambut si manis hingga ia mengaduh. Ia mendecih sinis, “kurang ajar, setelah kubesarkan kau ingin bebas dariku? Kau ingin mati?”

Kuku lena itu panjang, jadi cukup sakit saat perempuan itu mulai mencekik lehernya. “ma—sakit” renjun mulai kesulitan bernafas. Lena mencekiknya dengan kuat, sampai kukit lehernya tergores oleh tajamnya kuku lena.

Renjun tidak tahan, ini sungguh menyakitkan. Tuhan, maafkan renjun, ia ingin melawan sekali saja, ia masih ingin hidup.

Tubuh lena dengan kuat renjun dorong, hingga perempuan itu terjatuh dan kepalanya terbentur pinggiran meja. Lena meraba bagian dahinya yang tarasa sakit, kemudian tertawa keras. “Kau sudah bisa melawan ternyata, kemari akan kutunjukan dimana tempatmu berada” tangannya kembali meraih surai sang anak. 

Tubuh renjun bergetar, ia tidak bisa berpikir jernih ketika lena menyeretnya ke kamar mandi. Tempat itu cukup membuahkan trauma untuknya, karna selama ia tumbuh, tempat itulah yang paling sering lena pilih untuk menyiksanya.

“Tidak— ma, renjun minta maaf. Renjun mohon. . .” kepalanya sungguh sakit ketika lena kembali membenturkannya ke-wastafel didepan. Tidak hanya itu, ia mulai kesulitan bernafas karena semua bayang-bayang lena yang menyiksanya mulai terputar bagai kaset rusak. Bahkan renjun tak sadar ketika air di wastafel penuh. Ia sudah tidak bisa melawan ketika hal disekelilingnya pun terasa buram dan pendengarannya yang seolah tak berfungsi.

Bagaimana lena dengan kuat mencengkram surainya, kemudian menekan wajahnya kedalam air yang penuh didalam wastafel itu, sungguh membuat renjun sesak. Lena melakukannya berulang-ulang, mengangkat kepala renjun, kemudian kembali membenan kedalam air itu. “Bagaimana? Masih ingin pergi dari rumah ini?”  lena menatap wajah renjun yang kacau dengan benci, sama sekali tak iba kepada anak yang sudah menjadi alasan ia hancur.

Triste' || Noren [ ON GOING ]Where stories live. Discover now