TAK - 04 - 2

124 12 0
                                    

***

Beberapa saat kemudian, Elle masuk sambil berlari. Pria berbadan gempal mengikuti di belakang. Bukan gempal karena gemuk, tapi penuh otot. Kulitnya yang berwarna gelap menambah kesan menyeramkan dari pria itu. Seperti ketua geng yang menjelma menjadi bodyguard.

"Nyonya, pria ini memaksa masuk. Katanya dia membawa sesuatu yang amat penting." Ucap Elle.

Leonora mengangguk dan mengisyaratkan agar Elle segera menjauh dengan tangan. Elle membungkuk lalu pergi. Kembali berjaga di dekat pintu.

Pria bertubuh kekar itu berjalan mendekati Steve, menunduk dan berbisik dengan suara rendah. Karena tubuh Mika dan Steve tak berjarak, Mika mampu mendengar ucapannya. "Ini dokumen yang Anda inginkan, Master."

Master?

Seriously?

"Thanks, Kenzo. Kau bisa menungguku di luar."

Kenzo membungkuk lalu melaksanakan perintah.

Sedangkan Mika menatap Steve penuh selidik karena panggilan barusan.

Steve dengan tenang melempar dokumen ke atas meja. "Kalian bebas melihatnya. Bukti kalau kami sungguh menikah."

Leonora tidak melirik ke arah meja sama sekali, matanya menatap tajam Mika dan Steve secara bergantian. Sudut bibirnya berkedut. "Baiklah, aku percaya."

Leonora berdiri. "Tapi, Mikhaela, kau lama tidak di rumah. Kau tidak tahu apa yang harus diurus di rumah sebesar ini, berbagai tradisi keluarga yang tidak pernah lagi kau hadiri, juga cara mendisiplinkan para pelayan."

Leonora kembali duduk lalu mengetuk-ngetuk jarinya di punggung sofa. "Lalu mengenai perusahaan, kau juga tidak pernah terjun di dunia bisnis, kau belum pernah mengambil keputusan proyek, apalagi mengatur para karyawan, kau tidak tahu banyak hal."

"Yakin kau ingin mengusir kami dan mengurus semuanya seorang diri? Apa kata orang jika melihatmu mengusir keluarga sendiri? Apa kau sudah memperkirakan semua itu?"

Leonora tersenyum lebar. "Kau hanya gadis kecil yang menerima terlalu banyak kekuasaan yang tidak mampu kau atur. Kau membutuhkan kami. Sekarang kau datang dan menginginkan kami memohon-mohon dan bersujud di kakimu?"

Leonora menyeringai licik. "Kurasa aku perlu memberitahumu aturan pertama mengenai tata krama di rumah ini. Orang tua tidak pernah memohon maaf pada yang lebih muda. Ingat baik-baik."

Mika mendengus. Aturan itu tidak pernah ada saat ia masih tinggal disini. Kini ia sadar, Leonora sudah melewati batas. pantas saja ia melihat beberapa pelayan yang terlihat ketakutan.

"Tapi kau sengaja membuat kakekmu meminta maaf, bahkan pamanmu sudah berlutut di hadapanmu. Apa kau masih mengusir kami? Apa kau ingin aku dan si kecil Sharon untuk minta maaf juga? Itu namanya kurang ajar."

"Dan sekarang kau mau mengusir kami? Bukankah itu namanya cucu tak tahu diuntung?"

Mika tahu Leonora ingin membuat Mika ketakutan. Mengintimidasinya dengan berbagai ocehan sampah. Jika ini terjadi dulu, wanita itu mungkin berhasil. Tapi tidak sekarang. Karena Mika tak takut kehilangan apapun. Yang tersisa untuk keluarga ini hanya dendam.

Mika mendengus dan menyeringai sinis. "Ceramahmu sangat panjang, nenek. Aku sampai lupa apa saja yang kau katakan." Terlalu banyak drama. Ocehan kosong yang sebenarnya tak perlu.

"Pertama, siapa bilang aku ingin mengusir kalian?" Mika bergelayut manja pada Steve. "Aku tidak pernah mengatakannya. Aku hanya ingin kembali ke rumah ini. Itu saja."

"Kedua, aku memang tidak tahu semua urusan perusahaan, tapi kalian harus ingat suamiku adalah Steve Byers." Mika mengedip pada Steve, berharap pria itu tahu cara menangani bisnis, tidak hanya ahli bermain wanita. Steve mengedip balik.

"Ketiga, apa tadi aku sempat menuntut permintaan maaf? Menuntut kalian agar memohon padaku?" Mika menggeleng. "Kakek dan paman sendiri yang menyimpulkan. Lagipula mereka tidak mengatakan maaf padaku, mereka hanya takut pada suamiku."

Mika menoleh pada Nolan. "Paman, bukankah acara pembacaan sudah selesai? Aku sangat lelah."

"Benar, Nona. Surat ini saya serahkan pada Anda." Nolan menyerahkan surat wasiat tersebut pada Mika. "Kalau begitu saya pamit." Nolan membungkuk sekali. "Saya akan menghubungi Anda lagi nanti."

Mika tersenyum dan mengangguk, matanya mengikuti kepergian Nolan hingga pengacara tersebut tak terlihat.

Lalu Mika kembali melihat Leonora yang menatapnya dengan tangan terkepal erat. Saat ini neneknya pasti merasa amat diremehkan. Karena Mika tak menampakkan ketakutan sama sekali. Hasil yang ingin Mika dapatkan hari ini.

Yeah, untuk kali ini. Masih banyak hasil lain yang akan ia dapatkan kedepannya.

"Cucumu ini sama sekali tidak berniat mengusir kalian. Lagipula rumah sebesar ini pasti akan sepi kalau hanya ditinggali aku dan suamiku. Apalagi kami belum memiliki anak." Mika menggenggam tangan Steve, "Hari ini, aku hanya ingin mendengar surat wasiat ayahku." Mika menekankan kata '-ku'. "Lalu aku ingin kembali tinggal di kamarku bersama suamiku."

Steve mengangguk.

"Seperti yang nenek bilang, aku lama tidak di rumah, jadi perlu beradaptasi dengan rumah yang terasa asing ini. Akan sulit beradaptasi kalau kalian tidak ada."

Mika menatap Leonora menantang. "Aku masih membutuhkan bantuan nenek untuk memimpin keluarga ini. Sedangkan untuk bisnis akan menjadi urusan Steve."

Mika tersenyum lebar. "Nenek, jika sudah tidak ada yang ingin kau katakan aku harus istirahat." Mika mengelus lengan Steve. "Kuharap besok kamarku sudah siap."

Mika melirik Elle yang berjaga di pintu. "Aku ingin kau yang menyiapkan kamarku."

Elle langsung membungkuk sangat dalam. "Baik, Nona. Saya akan mengerjakan semuanya dengan baik."

"Bagus."

Mika memeluk leher Steve saat pria itu memindahkan tubuhnya ke kursi roda.

"Kau akan pergi begitu saja?" Cicit Sharon.

Mika melirik Sharon. "Benar. Apa kau keberatan?"

Sharon menggeleng lalu melirik Leonora yang mengalihkan pandangan dari Mika. Nenek sihir itu tahu kalau hari ini ia kalah.

"Ayo, sayang. Pembicaraan ini sangat menguras emosi." Ucap Mika manja.

***

Tongues & KnotsWhere stories live. Discover now