TAK - 15.1

58 11 2
                                    

***

Beberapa menit katanya?!

Mika mendengus kesal. Sekarang sudah lebih dari satu jam tapi pria itu belum kembali. Mika sampai kesal sendiri.

Tadi Mika berendam 20 menit. Hanya itu. Karena Mika tak sungguh menginginkan fasilitas spa atau semacamnya. Sebelumnya ia hanya kesal melihat interaksi Steve dan Zahira.

Saat ini, ia sudah selesai membersihkan diri, memakai gaun merah selutut dan menata rambutnya ke satu sisi. Ia memilih tak mengenakan riasan karena ini sudah malam.

Ia sengaja memilih gaun merah dengan belahan dada rendah karena kesal terhadap Steve. Karena Mika ingat bagaimana Steve tak suka melihatnya berpenampilan seksi semacam ini. Pria itu terlihat posesif.

"Sebenarnya kemana Steve?" Tanyanya kesal pada pelayan yang mengantarkan makan malam ke kamar.

Saat ini ia duduk di sofa dalam kamar berukuran sangat besar untuk ukuran kamar biasa. Mungkin itulah alasan kamar ini disebut kamar utama. Terlalu besar.

Kamar ini memiliki aksen putih, abu-abu dan emas. Perpaduan maskulin juga elegan. Mika menduga ini adalah kamar Steve. Sangat sesuai dengan ego besar pria itu. Kamar kecil takkan menampung ego Steve.

Di sisi kanannya terdapat gorden besar. Mengingat posisinya di bawah tanah, mustahil dibaliknya ada jendela. Sayangnya, Mika belum sempat melihat lebih jauh saat pelayan tersebut datang.

"Master masih di ruang diskusi, Nona."

"Kalau begitu antarkan aku kesana. Aku tidak lapar." Mika tak mau ditinggalkan terlalu lama seperti ini.

"Tapi, Nona, Master bilang Anda harus makan malam terlebih dahulu."

"Aku hanya akan makan setelah bertemu dengan Steve. Kalau kau tak mau mengantarku, lebih baik kau pergi."

"Nona.."

"Aku yang akan mengantarkan Mika, Naura." Natalie sudah berada di ambang pintu. "Bawa makanan tersebut kembali ke dapur."

"Baik, Nyonya." Kemudian Naura pergi.

Natalie menghampiri Mika. "Mari saya antarkan menemui Master."

Mika tersenyum lebar. "Itu yang aku mau." Ia segera berdiri dan mengikuti Natalie.

Mereka kembali melewati ruang utama sebelumnya, ruangan luas bernuansa mewah dan hangat, berlanjut menuju ke arah kepergian Steve.

Tak lama kemudian, mereka memasuki area bernuansa putih. Melihatnya, Mika menduga tiap ruangan di bawah tanah ini memiliki desain unik yang berbeda. Atau mungkin hanya permainan cahaya.

Mika harus mengakui kalau Steve memiliki selera yang unik. Tapi Mika takkan mengatakan pujian itu secara langsung.

Namun pujian tadi langsung lenyap begitu ia melihat punggung Steve yang duduk membelakanginya. Pria itu duduk di dalam ruangan yang terpisah dengan dinding kaca. Meja dan kursi berwarna putih yang tersusun seperti meeting room.

Pusat kekesalan Mika tertuju pada tato lengan Steve yang terlihat karena pria itu melipat lengan bajunya ke atas hingga siku, lalu telapak tangan Steve yang berada di atas meja. Pasalnya, disana Zahira menggenggam tangan itu dengan senyum lebar. Sedangkan Steve terlihat tidak terganggu sama sekali.

Sialnya, Zahra yang pertama kali menyadari keberadaan Mika. Wanita itu tersenyum simpul seolah mengatakan, he's MINE.

Mika mengepalkan tangannya erat seraya berjalan cepat menuju ruang dengan pembatas kaca tersebut.

Batinnya berdialog. Seharusnya hanya dia yang boleh melihat tato seksi itu, Steve tak boleh menunjukkan tubuhnya pada siapapun. Hanya Mika yang boleh.

Astaga Mikhaela, apa yang kau pikirkan!

Steve baru menyadari keberadaan Mika saat Mika melewati pintu yang terbuka otomatis, terlihat dari punggung Steve yang menegang. Begitu melangkah masuk, Mika bersedekap menatap Steve dengan memasang wajah kesal.

Sebenarnya Steve tidak hanya berdua bersama Zahira, tapi ada Kenzo, Keith, Hyde, Conrad dan satu pria lagi yang Mika belum tahu namanya. Masing-masing dari mereka duduk sejajar di sisi kanan dan kiri Steve, tapi Zahira duduk terlalu dekat.

Tubuh Steve terlihat kaku, saat mengamati Mika dari atas ke bawah. Mika tersenyum karena menyadari usahanya berhasil. Steve terganggu dengan pilihan pakaiannya.

I'm really good in red. Kau harus tahu, Stevie. Batinnya.

Mika melirik posisi duduk Keith, lalu melangkah seolah sedang mendekati Steve. Tapi begitu melewati Keith, Mika menumpukan tangan ke punggung pria itu. "Bagaimana keadaanmu?"

Keith patut diacungi jempol mengingat luka yang ia dapatkan sebelumnya. Dia sudah mampu duduk tegap seperti tak kesakitan sedikitpun. Kalau bukan karena perban di kepalanya, juga beberapa goresan di pipi dan leher, orang awam akan berpikir kalau pria itu hanya mengalami luka lecet biasa, bukan tusukan dan perkelahian brutal.

"Saya baik, Nona. Anda tak perlu khawatir." Jawabnya tegas. Sungguh tak terlihat seperti orang sakit.

Mika menoleh pada Steve, memasang raut kesal. Dengan sengaja, Mika menunduk ke samping wajah Keith tanpa memalingkan mata dari Steve saat berbicara, "Stephen, kau tidak boleh memaksa orang sakit bekerja."

Mika sengaja menggunakan panggilan itu, ingin menjajal menyebut nama kecil Steve untuk pertama kali. Ternyata lumayan cocok di lidahnya. Ia melihat tangan Steve mengepal, sedangkan bibirnya menipis membentuk garis lurus. Tapi Mika tetap tak puas karena Steve belum mengusir tangan Zahira.

"Nona, Master tidak memaksa saya, dan saya baik-baik saja."

"Kau sakit." Mika menunduk semakin dalam. Mika menekan pelan perut Keith yang ia tahu tertusuk pisau. Pria itu mengaduh terkejut. "Lihat! Kau sakit."

Pipi Keith bersemu merah. "Nona, Anda menempatkan saya pada situasi sulit." Gumamnya pelan.

"Sorry." Bisik Mika menunduk lebih dalam. "But you'll be alright."

"Mikhaela." Steve mengucapkan tiap suku kata penuh penekanan. Sorot matanya gelap. Mika membalas dengan senyum tipis. Lalu tanpa mengalihkan mata, Steve melanjutkan nada bicaranya. "Berdiri dan segera pergi dari sini, Keith. Cepat!" Steve memukul meja. "Kalian semua juga pergi! Meeting selesai!"

***

Tongues & KnotsWhere stories live. Discover now