TAK - 16.1

55 11 0
                                    

***

Hingga beberapa menit kemudian, Mika masih kesal. Ia duduk di ranjang menatap ke arah pintu dengan sebal.

Seharusnya saat ini ia fokus pada dendamnya, bukan malah mempermasalahkan perkara hubungan Steve dan Zahira. Mika sadar tingkahnya sekarang sudah seperti wanita yang cemburu. Apa bagusnya sih playboy itu hingga membuatnya cemburu? Tanyanya pada diri sendiri.

Mika hampir saja mempercayai kalau Steve bukan playboy seperti yang diberitakan. Tapi kehadiran Zahira membuat otaknya runyam. Mika sungguh kesal. Terutama pada dirinya sendiri yang bisa-bisanya cemburu.

Kenapa kau harus peduli, Mikhaela?

Kemudian terdengar ketukan pintu. Suara yang membuyarkan pergulatan di otaknya. Dengan kesal Mika membuka pintu. "Kubilang aku.." Ucapannya berhenti karena yang berdiri disana ternyata Natalie.

"Makan malam."

Mika menghela napas. "Aku tidak lapar. Besok saja."

Toh, Mika takkan bisa menelan apapun yang dibawakan Natalie.

"Stephen sendiri yang menyiapkan masakan ini untuk Anda. Saya hanya membantu sedikit. Dia juga memastikan tak ada yang salah dengan hasil masakannya." Natalie tersenyum lalu masuk langsung ke dalam kamar tanpa menunggu jawaban Mika.

Oke, Mika harus berubah pikiran. Dalam hati ia juga tersenyum karena Steve mengingat traumanya. Sekalipun marah, Mika masih percaya pada Steve soal makanan. Steve tak mungkin membunuhnya karena pria itu butuh istri.

"Anda membutuhkan energi besok, Mika. Jadi harus makan." Wanita sepuh tersebut membawa segelas susu dan steak dengan nampan, meletakkan nampan tersebut ke meja. "Sambil makan, mungkin saya bisa menjawab beberapa pertanyaan untuk mengurangi kekesalan Anda. Bagaimana?"

Bukankah itu kesempatan yang menarik?

Benar.

"Oke." Mika segera duduk di kursi berseberangan dengan Natalie. "Ingat, kau sudah janji."

Natalie mengangguk seraya tersenyum lembut. Mika akhirnya mulai makan. Cukup satu suap dan ia memulai pertanyaanya. "Siapa Zahira?"

"Saya sudah menduga Anda akan menanyakan tentang Zahira." Natalie memperbaiki posisi duduknya. "Zahira adalah gadis kecil tanpa keluarga ketika masuk ke keluarga ini. Orang tuanya gugur dalam pengkhianatan 11 tahun lalu. Tuan Charles sudah menganggap orang tua Zahira sebagai keluarga. Karena Tuan tidak memiliki seorang putri, Zahira menjadi satu-satunya putri dalam keluarga ini. Sejak saat itu, Zahira dan Stephen dekat karena memang menghabiskan masa kecil bersama. Mereka juga sama-sama kehilangan orang tua mereka saat itu."

Mika langsung berhenti mengunyah. "Orang tua Steve meninggal karena ada pengkhianatan?"

Natalie mengangguk. Rasa bersalah langsung menyerang Mika. Sebelumnya, ia sempat berkata bahwa ia iri pada Steve. Karena pria itu dikelilingi orang-orang yang setia dan bahkan rela mati untuknya. Kini ucapan itu terasa tak benar. Pantas saja waktu itu Steve hanya tersenyum.

Kini Mika sadar kalau penghianat itu ada dimana-mana, seperti di keluarganya dan keluarga Steve. Bahwa tidak ada keluarga yang sempurna. Dengan masa lalu semacam itu, Mika ragu Steve mempercayai semua orang-orangnya. Pantas saja dia memilih bersembunyi dengan meraih gelar playboy yang hanya tahu bermain wanita. Steve sangat berhati-hati mempercayai orang-orangnya hingga hanya menyisakan orang yang sungguh setia dan dapat diandalkan.

"Oke. Lanjutkan ceritamu tentang Zahira dan Steve."

"Anda harus lanjut makan, Mika."

Dengan wajah cemberut Mika kembali memasukkan sepotong daging ke dalam mulut. "Sudah."

"Hubungan mereka bukan seperti yang Anda pikirkan, Mika. Mereka sudah seperti kakak adik. Bukan emosi romantis antara pria dan wanita."

"Jadi kau ingin mengatakan kalau apa yang kupikirkan tidak benar? Padahal jelas sekali Zahira menatap Steve seperti seorang wanita menatap cintanya."

Sialan! Mika terdengar seperti kekasih yang cemburu sekarang. Terus keras kepala kalau kekasihnya berpotensi selingkuh.

Tunggu sebentar. Kalau Steve dan Zahira sudah kenal sejak kecil, bukankah orang ketiga adalah dirinya?

Astaga, Mikhaela!

Natalie terkikik pelan sambil menutupi mulutnya dengan tangan. "Anda sungguh berpikir demikian?"

Mika mengangguk. "Steve pasti memberitahumu kalau aku marah karena cemburu, kan? Oleh karena itu kau yang kemari, bukan pelayan lain? Kau juga sudah menduga pembicaraan ini akan terjadi?"

"Benar, Mika. Saya tidak akan berbohong. Tapi disini saya tidak sepenuhnya mendukung Stephen. Saya menyukaimu, Mika, maka saya akan membantumu." Natalie mendekatkan kepalanya. "Buat dia semakin cemburu dan kau akan menyaksikan sendiri hasilnya." Ucapnya dengan suara pelan seakan waspada kalau sampai ada yang mendengar. Padahal mereka di ruangan hanya berdua. Terlalu berhati-hati.

Mika mengernyit. "Buat dia semakin cemburu?"

Natalie mengangguk seraya tersenyum lebar. Saran wanita itu tidak buruk juga. Mika jadi kepikiran ide bagus. "Kalau begitu katakan pada Steve kalau aku masih sangat marah dan besok aku ingin berlatih berkelahi untuk melampiaskan emosi. Tapi bukan dengannya. Aku ingin berlatih bersama pria lain. Ingat, seorang PRIA."

Rencana yang akan sangat menguntungkan untuk Mika. Selain membakar kecemburuan Steve, Mika bisa melatih otot-ototnya. Pasti akan seru.

"Baik, artinya Anda harus menghabiskan makan Anda dan pergi tidur. Besok Anda butuh banyak energi untuk berlatih." Natalie mengedipkan satu mata.

Mika mengangguk. Bersiaplah Stevie, rasakan kemarahanku!

***

Di KK postnya belakangan ya, tunggu partnya banyak. Scarlet baru nulis setengah bagian ini.

♥️

Tongues & KnotsWhere stories live. Discover now