TAK - 09

69 9 1
                                    

***

Semalam, Steve yang memasak makanan untuknya, membawa makanan tersebut ke kamar dan makan disana. Mika tak ikut makan bersama di ruang makan karena alasan lelah.

Tentu tak ada yang mempertanyakan keberadaan Mika. Toh, mereka lebih suka Mika tak keluar kamar.

Tapi Mika sadar pada akhirnya ia harus menguatkan diri untuk makan bersama. Ia tak bisa terus bersembunyi apalagi menunjukkan kelemahannya.

Jadi pagi ini ia turun saat sarapan dengan bantuan Keith, seorang bodyguard pilihan Steve. Pagi sekali, Steve bilang ada urusan darurat dan dia benar-benar harus pergi. Tapi sebelum itu, Steve memperkenalkan Keith padanya. "Aku pasti segera kembali begitu urusanku selesai." Katanya tadi.

"Tentu kau harus kembali. Kau harus ke perusahaan, ingat!"

Saat itu, Steve mengecup bibirnya singkat, lalu beranjak pergi.

Kini Mika sampai di lantai bawah, ternyata tidak ada orang. "Ini sudah pukul 8, kemana semua orang?"

"Tuan Norman dan Tuan Sebastian jarang sarapan di rumah, Nona. Sedangkan Nyonya Milena ada acara kemanusiaan pagi-pagi sekali, jadi sudah berangkat. Kalau Nyonya Leonora juga sudah pergi, saya tidak tahu kemana. Sedangkan Nona Sharon sepertinya belum bangun karena semalam pulang larut." Jelas Nila, salah satu pelayan di bagian dapur.

Oh, apa sekarang giliran mereka yang mengabaikannya?

Mika mendengus. Bagaimana bisa mereka semua tak ada saat sarapan.

"Apa Anda ingin makan sesuatu? Saya bisa memasak untuk Anda."

Sebenarnya, Mika lebih memilih makan masakan Steve dibandingkan masakan Nila yang tidak ia kenal. Tapi karena Steve tidak ada, Mika tak punya pilihan lain. Karena ia tidak mungkin keluar kamar dan berkeliaran tanpa kursi roda seperti yang ia inginkan, jadi perutnya harus bisa diajak kerja sama.

"Aku hanya mau sandwich. Siapkan isian sederhana saja."

Nila membungkuk lalu pergi ke arah kulkas. Sedangkan Mika memutar kursi rodanya mendekati meja pantry tak jauh dari Nila. Karena ia harus mengamati setiap detail tindakan Nila. Tak boleh ada satupun yang terlewatkan. Kalau tidak begitu, Mika takkan bisa menelan sandwich tersebut.

Setelah beberapa menit, Nila meletakkan dua potong sandwich lengkap dengan sayur ke atas piring, lalu membawa piring tersebut ke atas meja pantry di depan Mika.

Nila meletakkan piring dengan sangat hati-hati. Saat wanita itu di dekatnya, Mika baru menyadari kalau tangan Nila gemetar. "Silahkan dinikmati, Nona." Ucapnya dengan senyum dipaksakan. "Bagaimana dengan minuman?"

"Air putih saja."

Nila mengangguk lalu mengambil gelas. Wanita itu terlihat masih sangat muda. Bahkan mungkin jauh lebih muda darinya. Mika heran kenapa wanita yang terlihat masih pantas mengenakan seragam sekolah bekerja di rumah ini?

Setelah Nila selesai mengisi air dan menghampiri Mika, tiba-tiba wanita itu tersandung kakinya sendiri dan jatuh. "Ah!"

Gelas berisi air itu pecah dan telapak tangan Nila tanpa sengaja mengenai pecahan gelas tersebut.

Mika yang terkejut hampir saja berdiri untuk membantu Nila, untung saja ia masih bisa menahan diri. Mika memutar kursi roda mendekati Nila.

"Nona, jangan." Keith dengan sigap menghentikan kursi Mika. "Anda bisa terluka."

Nila menangis dan mendekatinya dengan berlutut.

"Hei, berhenti." Teriak Mika.

Kalau Nila terus maju, lututnya akan terkena pecahan kaca. Untung saja, wanita yang masih terlihat seperti seorang gadis remaja itu menurut. Dengan air mata bercucuran, Nila menyatukan telapak tangannya ke depan wajahnya seraya menunduk, seakan telapak tangannya yang berdarah tidak sakit sama sekali. "Maafkan saya, Nona. Saya mohon tolong jangan usir saya. Tolong maafkan saya. Tolong maafkan." Nila merapalkan mantra permohonan maaf itu berkali-kali.

Mika heran dengan reaksi Nila. Wanita itu tampak sangat ketakutan. "Aku memaafkanmu asal kau berdiri dan mengobati lukamu."

Nila langsung berdiri, "Terima kasih, Nona."

"Setelah itu segera kembali kemari."

Nila mengangguk, lalu pergi mencari kotak obat.

"Ikuti dia, bantu balut lukanya dan panggil pelayan lain kesini." Perintah Mika pada Keith.

Tak berselang lama, seorang pelayan muda datang. Lagi-lagi terlihat sangat muda. Mika jelas tak melihat mereka kemarin.

"Siapa namamu?"

Pelayan tersebut langsung terlihat gugup. "Linda, Nona." Jawabnya dengan terbata.

"Bersihkan pecahan kaca tersebut."

Linda membungkuk lalu melaksanakan tugas.

Mika mulai bertanya-tanya sejak kapan keluarga Davis mempekerjakan gadis-gadis di bawah umur?

Itu ilegal.

Beberapa saat kemudian, Nila kembali dengan Keith berada di belakangnya. "Mendekatlah." Mika melirik ke arah meja pantry di depannya. Pada saat bersamaan Linda selesai melakukan tugas. "Kau juga."

Mereka berdua berdiri di depan Mika dengan gugup.

"Berapa usia kalian?"

"16, Nona." Jawab Nila. Lalu, "17." Jawab Linda.

"Kenapa kalian tidak sekolah dan malah bekerja disini? Siapa yang mengizinkan kalian bekerja?"

Mereka berdua langsung berlutut. "Nona, jangan pecat kami. Kami mohon." Mereka memohon secara bergantian.

"Keith, panggil Elle."

Keith langsung melaksanakan perintah. Beberapa saat kemudian, Elle datang dengan kepala membungkuk dalam. Wanita itu kini ketakutan. Kalimat Mika kemarin pasti sudah sangat membekas di otak kepala pelayan tersebut.

"Jawab aku, siapa yang mempekerjakan mereka disini? Mereka masih di bawah umur?"

"Saya hanya mengikuti perintah Nyonya Leonora, Nona. Mereka juga bekerja dengan sukarela."

"Nona, jangan pecat saya. Kalau saya tidak bekerja, jangankan sekolah, tempat tinggal saja saya tidak punya, Nona." Ucap Linda yang kini berlutut.

Nila menyahut, "Saya juga, Nona."

Mika meringis mendengarnya. Apa yang Leonora lakukan selama ini hingga membuat gadis-gadis itu sangat ketakutan. "Berdirilah yang tegak maka kalian akan tetap bekerja." Tegas Mika.

Mereka langsung berdiri.

"Elle, kumpulkan semua pelayan di ruang tamu. Semuanya tanpa terkecuali. Juga para penjaga."

***

Tongues & KnotsWhere stories live. Discover now