TAK - 11

70 12 3
                                    


***

Sudah 5 orang yang pingsan. Mika harus mengakui kalau Keith hebat. Secara berturut-turut pengawalnya bisa mengalahkan pengawal Leonora satu per satu.

Tapi sampai kapan?

Pada pertarungan ke enam, serangan Keith tak selincah sebelumnya. Mika jelas khawatir. Apalagi perkelahian ini tidak adil. Para pengawal Leonora menggunakan pisau, sedangkan Keith tidak. Mika meringis tiap kali kulit pria itu robek. Itu terlalu kejam.

Mika harus memikirkan cara agar pertarungan tersebut segera berhenti. "Leonora, ternyata pengawal-pengawalmu sangat lemah. Mereka harus menggunakan pisau sedangkan pengawalku bertarung dengan tangan kosong."

"Itu namanya keuntungan."

"Licik dan tak tahu malu."

Leonora tertawa. "Kau harus licik dan tak tahu malu untuk menang dalam hidup." Tawa itu semakin kencang saat Keith akhirnya tumbang karena luka tusukan di perut pada pertarungan ke delapan. "Lihat! Dia sudah runtuh."

"Saya masih sanggup." Keith berusaha berdiri tapi ambruk lagi.

Leonora menatap pengawal terakhir yang menyerang Keith. "Kau bisa mencium hadiahmu sekarang juga."

Pengawal tersebut tersenyum lebar lalu mendekati Mika. Senyum kemenangan yang amat ia benci.

Tenang Mika. Pikirkan celah. Apapun itu.

Sementara pria itu berjalan mendekat, Mika akhirnya mendapatkan celah yang ia inginkan. Begitu pria itu menunduk di samping lehernya, Mika menyambar pistol di pinggang pria itu dan menembak tepat di jantung.

Mika tak punya banyak waktu karena keterkejutan orang-orang di sekelilingnya hanya berlaku sejenak. Dengan cepat, ia menggulingkan pria yang baru saja ia tembak lalu mengarahkan senjatanya menuju Leonora.

"Jangan berani mendekatiku ataupun Keith, atau kupecahkan kepala wanita tua ini." Ancamnya.

Leonora masih berani tertawa. "Tembakanmu pasti meleset. Kau tidak pernah belajar menembak, Mikhaela."

"Salah. Aku sudah belajar menembakkan peluru sejak beberapa bulan terakhir. Ini bukan pertama kalinya aku mengenai target, Leonora." Mika senang saat melihat percikan keraguan di mata Leonora. Wanita itu mulai gentar. "Tahu tidak? Wajahmulah yang selalu kubayangkan di arena. Membayangkan kalau aku berhasil meledakkan kepalamu, menghancurkan jantungmu, lalu menghujani tubuhmu dengan banyak peluru, ternyata merupakan motivasi terbaik hingga aku bisa belajar dengan cepat." Ketakutan itu semakin terlihat. "Huh, aku senang karena kau mengakui telah membunuh orang tuaku, artinya sekalipun aku mati hari ini kau juga ikut mati."

Sudut bibir Leonora terangkat. "Kau hanya menggertak." Ia melirik salah satu pengawalnya. "Tangkap pria itu."

Baru saja pengawal itu maju selangkah, Mika langsung menembak tepat di lengan Leonora.

"Aku bukan cuma menggertak. Kalau kalian berani maju, selanjutnya targetku adalah kepalanya."

Pengawal tersebut langsung berhenti bergerak.

"Cucu durhaka!"

"Sejak kapan aku menganggapmu nenekku? Tidak pernah, Leonora. Bagiku, kau hanyalah pembunuh orang tuaku."

"Sialan!" Umpatnya saat Mika kembali menembak lengannya. Tapi kemudian Leonora melihat sesuatu di wajah Mika, wanita itu tertawa. "Kau tidak akan sempat membunuhku, Mikhaela. Lihatlah laser di wajahmu, sebelum kau menarik pelatuk, tembakan anak buahku lebih dulu bersarang di kepalamu."

Tongues & KnotsWhere stories live. Discover now