TAK - 14

46 10 1
                                    

Selamat Membaca

Semoga suka

♥️

***

"Ini rumahmu?" Mika mengernyit melihat rumah kecil yang ada di depannya. Saat Steve berkata kalau mereka akan ke Secret House, Mika pikir ia akan menuju rumah mewah yang sesuai dengan ego Steve yang terlalu tinggi. Tapi yang berdiri di depannya justru rumah sederhana dua lantai dengan cat putih yang pudar di beberapa sisi.

"Benar sekali." Matanya mengerling jahil.

"Sangat tidak cocok dengan sosok playboy yang gemar menghamburkan uang."

Steve tertawa. "Kita masuk dulu, baru kau bisa berkomentar."

Mereka akhirnya turun dari mobil dan berjalan menuju rumah tersebut dengan bergandengan tangan. Disana sudah berdiri dua orang wanita. Wanita di sebelah kanan berpakaian rapi layaknya seseorang yang bekerja kantoran, memakai terusan berwarna hitam selutut yang mengerucut ke bawah dan berlengan panjang menutupi seluruh tangan. Wanita itu tampak seperti wanita akhir 30-an atau awal 40-an. Satu deskripsi yang tepat untuk wanita tersebut, classy. Dia membungkuk hormat dengan senyum mengembang. "Selamat datang kembali, Master."

Steve mengangguk.

Sedangkan wanita disampingnya adalah kembalikannya. Dia tampak tomboy dengan pakaian serba hitam yang sangat pas di tubuh, lengkap dengan dua senjata terlihat di pinggul. Saat ini wanita itu berkacak pinggang dengan tatapan kesal. Penampilannya mirip Black Widow yang siap tempur dalam film Marvel. Bahkan rambutnya juga mirip dengan panjang sebahu, ikal dan pirang. Wanita itu melotot ke arah Mika, menelanjanginya dari atas ke bawah lalu kembali ke atas lagi. Bibirnya berkedut lalu beralih menatap Steve.

"Siapa yang kau bawa, Stephen?"

Stephen. Hati Mika tiba-tiba mencelos menyadari kalau wanita ini pasti dekat dengan Steve karena memanggil pria itu dengan nama kecil, sama seperti Charles. Seharusnya Mika tak peduli. Tapi ia tak bisa mengendalikan detak jantungnya yang mendadak sakit.

Sejak kapan ia peduli pada Steve? Seharusnya tidak pernah.

Steve melepaskan tangan Mika. Apa sekarang Steve ingin menjaga jarak?

Dugaannya salah. Steve memindahkan tangannya ke sisi tubuh Mika, memeluk tubuh Mika dari samping sehingga kini sisi tubuh mereka menempel. "Perkenalkan, dia Mikhaela Angela Davis. Istriku. Kini Mika bagian dari keluargaku."

"Istri!" Wanita tomboy tersebut bersungut marah. Kalau Mika tak salah mengartikan, ia melihat sorot kecemburuan di mata wanita itu.

"Benar, Zahira. Maka kau harus menghormatinya lebih dari kau menghormatiku. Mengerti?"

Sorot wanita yang ternyata bernama Zahira kini sedikit meredup, lalu menurunkan tangannya dari pinggang dan membungkuk hormat. Sangat jelas Zahira membukuk dengan terpaksa. "Senang bertemu denganmu, Mikhaela." Ucapnya sambil tersenyum tipis. Bahkan senyuman itu juga penuh paksaan.

"Mika saja cukup." Jawab Mika.

"Lalu ini Natalie, kepala pelayan di Secret House. Dia yang mengatur seluruh urusan disini, jadi kau bisa meminta bantuan apapun padanya."

Natalie tersenyum. Berbeda dengan Zahira, wanita tua itu tersenyum dengan tulus dan hangat. "Senang bertemu dengan Anda, Mistress."

"Mistress?" Mika tak bisa mencegah mulutnya mengatakan kata asing itu. Ia menatap Steve menuntut jawaban.

Steve menggaruk kepala. "Kau bisa memanggil istriku dengan namanya, Natalie."

Apa dia baru saja salah tingkah? Mika menggelengkan kepala tak habis pikir. Master lalu Mistress? Panggilan yang aneh.

"Benar, Natalie. Cukup panggil aku Mika. Aneh sekali panggilan Mistress itu. Aku takkan bisa terbiasa."

"Baik, Mika."

"Kalau begitu mari kita masuk." Steve mendorong tubuh Mika, menuntun dari belakang. "Apa mereka semua sudah berkumpul?"

"Tentu saja." Zahira menjawab dengan ketus. "Kau terlambat satu jam." Sinisnya. Lalu melirik ke belakang melihat rambut dan pakaian Mika yang kusut juga penampilan Steve yang tak jauh berbeda. Tapi wanita tak berkomentar lebih lanjut. Hanya menatap sebal.

Sedangkan pipi Mika terasa panas karena Zahira pasti sudah menduga penyebab keterlambatan mereka.

Steve memeluk sisi tubuh Mika semakin erat. "Mulai saat ini kalian harus lebih terbiasa menunggu." Lalu mengecup puncak kepala Mika.

Sungguh akting yang bagus, Stevie! Batin Mika.

Zahira melotot tak percaya. Lalu lanjut berjalan dengan kesal.

Siapa sebenarnya Zahira? Mika semakin penasaran.

Seperti saat berada di Vulcan Empire, bangunan luar rumah ini sejenis tipuan. Karena begitu pintu terbuka, tak ada lagi yang namanya cat pudar atau penampilan buluk. Semuanya rapi dengan nuansa putih. Sebenarnya tak banyak yang bisa diamati. Karena tak banyak perabotan di ruang tamu tersebut.

Setelah melewati ruang tamu, mereka langsung menuju lift. Mika mengernyit. Rumah dua lantai mana yang memerlukan lift? Tidak masuk akal!

Begitu mereka di dalam, Steve berbisik. "Kejutan untukmu."

"Maksudnya?" Tanyanya pada Steve sementara matanya mengamati Natalie yang menekan beberapa tombol, lalu meletakkan telapak tangannya ke dinding lift dan memajukan kepalanya sedikit.

Bangun sekecil ini, apa perlu keamanan sebanyak itu?

"Kau akan tahu sebentar lagi." Jawab Steve. Bukannya naik, lift berangsur turun. Hal tersebut menjadikan Mika was-was kalau saja Steve akan membawanya ke dungeon seperti di Vulcan Empire. Tapi Steve langsung menghilangkan pemikiran tersebut saat berkata, "Letak rumahku yang sebenarnya." Kemudian pintu lift terbuka. "Selamat datang, Mikhaela." Bisik Steve di telinganya dengan suara serak.

Mika tak begitu mendengarkan ucapan Steve karena otaknya sibuk mengagumi pemandangan di depannya. Indah dan megah. Dua kata tersebut adalah kata pertama yang muncul di otaknya. Kini Mika sadar kalau rumah di atas tadi hanya fasad. Ruangan di bawah tanah inilah yang sebenarnya. Sangat luas. Bahkan mungkin mengalahkan Vulcan Empire tadi.

"Bagaimana mungkin..." Mika langsung mengunci mulutnya begitu sadar ia hampir memuji Steve.

"Kau kagum?"

"No!" Ketusnya. Steve selalu berubah jadi menyebalkan disaat seperti ini.

"Kau kagum, cherrylips." Steve mencubit pipi Mika. "Tak perlu sungkan mengaku kagum padaku."

Mika mendelik menatap Steve. "Diam." Dengusnya. "Kuharap tempat ini seperti yang terlihat. Memiliki fasilitas sekelas spa mahal."

Kekesalannya semakin berkali-lipat saat melihat Zahira menatapnya dengan senyum miring. Tapi sayangnya hanya dia yang melihat ekspresi Zahira itu. Steve hanya fokus padanya.

Pria itu tersenyum lebar. "Tentu saja." Tiba-tiba Steve berhenti berjalan, menyebabkan mereka semua ikut berhenti. "Natalie, kau bisa mengantarkan Mika ke fasilitas yang dia inginkan, berikan semua yang dia mau. Pastikan dia merasa dimanjakan. Lalu antarkan istriku ke kamar utama."

Istri. Entah sudah berapa kali Steve menegaskan kata itu hari ini. Sialnya, jantungnya mulai berulah.

Jangan terpengaruh, Mikhaela!

"Baik, Master." Kemudian Natalie berbelok ke sebelah kanan. "Mari, Mika."

Saat Steve melangkah ke arah berlawanan, Mika langsung menahan tangan Steve. "Tunggu sebentar. Kau mau kemana?"

"Aku harus menemui beberapa orang."

Kau tak ingin mengajakku?

Hampir saja kalimat itu lolos dari bibirnya. Untung saja mulutnya kali ini bisa direm.

"Kapan selesai?"

"Mungkin beberapa menit."

***

Tongues & KnotsWhere stories live. Discover now