TAK - 05

136 8 0
                                    

***

"Rewardku, cherrylips." Tuntut Steve begitu mereka berada di dalam mobil.

Berbeda dari saat mereka datang dimana Steve yang menyetir, kini mereka berdua duduk di kursi penumpang dengan Kenzo di kursi kemudi.

Sejak tadi Mika sulit mengalihkan mata dari Kenzo. Pasalnya, Kenzo tampak seperti preman salah kostum. Sosok yang patut diwaspadai. Apalagi ekspresinya yang seperti robot, Mika jadi was-was.

"Mika, aku bisa cemburu kalau kau terus memperhatikan orang kepercayaanku."

"Jadi dia orang kepercayaanmu?" Mika bertanya dengan mata masih terus memperhatikan Kenzo.

Steve yang kesal langsung menangkup pipi Mika agar menatapnya. "Kubilang berhenti menatapnya. Ya, dia orang kepercayaan, pengawal sekaligus supir pribadiku. Cukup berhenti melihat ke arahnya."

Mika mengernyit lalu tertawa terbahak-bahak. "Stevie, kau tidak cemburu, kan?" Mika menganggap ekspresi Steve lucu.

"Tidak. Aku hanya mau rewardku."

Mika mengecup bibir Steve sekali. "Sudah."

"Kau berjanji akan memberikan ciuman sungguhan."

Mika tertawa. "No, disini ada Kenzo."

Steve mendengus kesal. "Kenzo, mulai detik ini kau tidak melihat dan tidak mendengar apapun di kursi belakang."

"Baik, Master." Kenzo menjawab seperti robot lengkap panggilan master itu lagi.

Mika tahu mustahil Kenzo tidak melihat ataupun mendengar. Poor Kenzo hanya pura-pura dan dipaksa melupakan.

Mika tak habis pikir bagaimana bisa Kenzo sepatuh dan sekaku itu. Bahkan pengawalnya sendiri tidak bersikap demikian. Kepatuhan pengawal Steve memiliki level tersendiri.

"Kau sudah dengar, kan? Dia tidak akan melihat dan mendengar." Steve langsung memajukan bibirnya.

Mika segera menutup mulut Steve. "Jawab dulu pertanyaanku, kenapa pengawalmu memanggilmu master? Apa kau punya kecenderungan slave-master syndrom?"

Steve menurunkan tangan Mika lalu tertawa. "Aku hanya mau bibirmu, tapi kenapa banyak sekali rintangan." Keluhnya.

"Jawab dulu, Stevie! Jangan bilang kau ingin aku memanggilmu master juga!?"

"Kau memang bossy." Steve membenahi duduknya menjadi bersandar. Ia masih menatap Mika tapi kini tubuh mereka berjarak. "Aku tidak punya sindrom apapun yang kau maksud tadi. Master hanya sebutan mereka yang bekerja untukku. Bahkan bukan aku yang menuntut mereka memanggil demikian. Panggilan itu sudah ada secara turun-temurun." Steve memainkan beberapa helai rambut Mika. "Dan tidak. Aku tidak ingin kau memanggilku master."

"Bagus. Stevie lebih cocok."

"Apa kau ingin aku memanggilmu master, Mikhaela?"

Mika memilih tidak menjawab. Sebenarnya bibirnya tergoda menjawab 'ya' hanya sekedar untuk bermain-main dengan Steve. Mendengar Steve memanggilnya master pasti lucu. Tapi tidak sekarang.

Karena sekarang waktunya memberi Steve reward. Lebih cepat lebih baik dan lebih cepat selesai.

Tanpa aba-aba, Mika melompat ke pangkuan Steve, menangkup kepala pria itu lalu mempertemukan bibir mereka. Steve yang tidak siaga sempat terkejut. Melihatnya, Mika senang bukan main. Ia menutup mata sambil tersenyum dan mulai melumat bibir Steve.

***

Skip

***

Dari sudut matanya, ia melihat Steve yang membuang benda tipis yang sudah terisi penuh itu ke tempat sampah. Setelahnya, Steve mengangkat tubuh Mika ke tengah ranjang dan menyelimuti Mika dengan selimut.

Lalu Steve ikut masuk ke dalam selimut seraya memberikan pelukan hangat. Memeluknya dari belakang.

Mika membiarkan Steve bertindak seenaknya hanya karena ia tak punya tenaga untuk protes.

Ya. Hanya karena itu. Mika bukan pecinta cuddling setelah hubungan singkat. Apalagi dengan Steve Byers. Mika menganggap tadi layaknya one night stand.

Tidak lebih.

***

Tongues & KnotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang