19. Almost

2.4K 200 4
                                    

19 Almost

.

Perpustakaan besar istana itu amat sepi dan jarang di kunjungi. Sayup-sayup terdengar suara decakan halus dari sudut ruangan sunyi tersebut, dua manusia saling mencumbu. Berbagi gairah dan kerinduan melalui tautan bibir yang menghisap satu sama lain secara bergantian. Darah mereka berdesir hebat, tubuh mulai memanas karena sentuhan intim yang mereka perbuat.

Lexin melepas ciumannya, wajahnya turun menuju tulang selangka, memberikan kecupan basah di bagian itu hingga berhasil menciptakan suara selembut sutra dari Amarillys. Sela-sela jari perempuan itu diisi oleh rambut Lexin, ia meremasnya, seakan menyatakan bahwa ia menyukai perbuatan pria yang merupakan saudara berbeda ibu darinya.

Amaryllis duduk dengan kaki terbuka lebar di atas meja yang berada di sudut ruangan, tempat yang ditujukan untuk membaca. Namun, kini tempat itu digunakan untuk hal tak senonoh, mereka telah melanggar norma dan tak peduli sama sekali. 

Tangan Lexin menyingkap gaun panjang yang sebenarnya sudah tersingkap sedikit, ia ingin melihat kulit mulus pada bagian bawah Amarillys. Ia tersenyum senang, semestinya ada celana pendek sebagai dalaman, akan tetapi perempuan dalam dekapannya itu hanya mengenakan celana dalam yang tipis. Benda itu sedikit basah oleh cairan yang keluar secara alami akibat sentuhan yang Lexin perbuat.

"Kau sudah siap rupanya."

Wajah Amarillys tersipu malu. Ia tersenyum tepat di depan wajah Lexin, tanpa malu mulutnya terbuka mengeluarkan erangan tipis ketika merasakan tangan Lexin menyentuh paha bagian dalamnya. Lelaki itu kembali mengecup bibirnya, membuka mulut dan membelit lidahnya intens. Amaryllis memeluk tubuh Lexin, membuat tubuh mereka semakin dekat dan menempel. Ia dapat merasakan otot-otot keras serta benda yang ia sukai di balik celana pria itu.

Mereka terus bersentuhan, hingga larut dalam gairah. Lexin akan menurunkan celana dalam milik Amarillys, tetapi, suara ketukan berhasil membuat mereka kelimpungan. Dengan gerakan cepat kakak beradik itu memperbaiki penampilan. Amaryllis turun dari meja, membenarkan rambut yang sekiranya kurang rapi.

Sial. Kesal Amarillys, miliknya sudah berkedut dan haus akan sentuhan lelaki yang ia cintai. Terpaksa berhenti karena suara ketukan yang mengganggu. 

Derap langkah terdengar mendekat, meja yang mereka pilih berada di sela-sela rak buku yang tinggi hingga keadaan mereka belum terlihat oleh orang yang masuk itu. Lexin maupun Amaryllis mengambil buku sembarangan, lantas duduk di kursi yang berhadapan. Berakting seolah sedang membaca bersama, padahal keduanya sama-sama kesal dalam keadaan nafsu yang membara.

"Amarillys! Lexin!"

Kedua menoleh mendengar suara lembut itu. Ratu Oleander X berdiri di depan mereka dengan senyum lembut keibuan. Ratu senang melihat keakraban tersebut, teringat saat kecil mereka berdua acapkali bertengkar. Amarillys cukup dekat dengan Pangeran Korvin dulunya, bahkan bersikap manja. Anak perempuannya itu tak begitu menyukai keberadaan Lexin saat mengunjungi istana. Namun, entah bagaimana sekarang mereka tampak dekat dan akrab.

"Ada apa, Ibu?" jawab Amarillys. Tangan kanannya mengepal kuat, beruntung ada buku yang menutupi tangan tersebut di atas meja.

"Ibu ingin bicara dengan Putra Mahkota. Bisakah kau keluar dulu, Putri Amarillys?"

Amarillys sempat melirik pada sang Kakak dan mendapati anggukan kecil. "Baik Bu." Ia keluar, meninggalkan sang Ibu bersama Pangeran Lexin. Entah apa yang ingin dibicarakan.

Di luar perpustakaan, Amrillys bernapas lega. Hampir saja mereka ketahuan. Tampaknya mereka harus mencari tempat yang lebih tersembunyi lagi untuk bertemu. Amarillys akan mencari.

.

Eirlys bergerak gelisah, membolak-balikan tubuh ke kiri dan ke kanan. Sesekali mendesah kesal karena sulit tidur, padahal ia sudah sangat kelelahan. Seperti yang sempat Helen singgung, kini diluar tengah hujan lebat. Udara dingin menusuk tulang-tulang Eirlys, selimut itu tak cukup memberi kehangatan. Pada akhirnya, Eirlys melepas ikatan rambutnya, lantas membiarkan rambut yang lebat dan panjang menutupi leher, berharap akan memberikan perlindungan dari udara dingin.

Cahaya kilat sesekali masuk ke dalam kamar melalui lubang kecil di ventilasi udara di atas jendela, gemuruh petir terdengar nyaring. Eirlys menutup telinga, makin sulit tertidur karena suara itu.

Tubuh perempuan itu meringkuk, berharap menemukan posisi ternyaman untuk terlelap. Ia menutup mata, namun terus terjaga. Suara petir masih berlanjut. Saat hujan semestinya membuat mudah tertidur, akan tetapi udara sangat dingin. Eirlys tak sanggup memasuki alam mimpi dalam keadaan begini.

Tiba-tiba Eirlys merasakan pergerakan di balik tubuhnya. Ia yang tengah membelakangi kasur tak dapat mengetahui apa yang terjadi di sana. Lagi pula, Eirlys malas membuka mata untuk sekedar mencari tahu. Mungkin pergerakan itu hanya perasaannya saja.

Eirlys terkejut, ketika seseorang mencengkram bahunya serta masuk ke belakang lututnya. Tubuhnya melayang di udara, seseorang telah mengangkatnya. Apa mungkin Pangeran Korvin yang melakukan hal tersebut? Eirlys bertanya bingung. Hanya mereka berdua di dalam ruangan tersebut. 

Eirlys merasakan tubuhnya diletakkan dengan lembut di atas kasur, hangat dan nyaman. Tanpa malu hatinya malah berdegup kencang, ia berdesir saat tangan itu menjauh darinya. Matanya masih tertutup rapat, pura-pura terlelap, meskipun setiap serat dalam dirinya bergetar dalam ketidakpastian.

Sebuah selimut tersampir di tubuhnya, menambah kehangatan pada dirinya. Eirlys bisa merasakan kehadiran Pangeran Korvin di dekatnya. Suasana ruangan masih ditemani suara  oleh rintik hujan yang lebat beserta petir. 

Perempuan itu terbaring di atas kasur dengan mata yang terpejam rapat, tak mampu melihat apa yang terjadi di sekelilingnya. Namun, di dalam gelap yang menyelimuti, Eirlys bisa merasakan setiap pergerakan halus dari Pangeran Korvin di sampingnya. Terasa seperti udara berputar saat pria itu, dengan lambat namun pasti, kembali membaringkan tubuhnya di atas kasur.

Dalam keadaan seperti ini, Eirlys merasa hangat di dalam dadanya. Malam itu, di dalam kamar yang hening, ia tidur satu ranjang dengan Pangeran Korvin. Meskipun tak bisa melihat, ia tahu dengan pasti bahwa pria itu ada di sampingnya.

Pikirannya melayang dalam pikiran yang berputar. Apakah ini hanya kasihan dari Pangeran Korvin? Ataukah ada yang lebih dalam di balik perlakuan lembut dan kehangatan yang ditunjukkan padanya? Eirlys yakin pertanyaan pertama adalah jawabannya. 

Dengan perasaan hangat yang merayap di dalam dadanya, Eirlys menutup matanya dengan erat, mencoba menenangkan diri dalam ketidaktahuan yang menghantui. Malam itu, di antara mimpi dan kenyataan, Eirlys terlelap dengan Pangeran Korvin di sampingnya, meskipun tak tahu apa yang mungkin terjadi di pagi hari yang akan datang.

 Malam itu, di antara mimpi dan kenyataan, Eirlys terlelap dengan Pangeran Korvin di sampingnya, meskipun tak tahu apa yang mungkin terjadi di pagi hari yang akan datang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Cursed PrinceWhere stories live. Discover now