17. One Night

5.2K 347 7
                                    

17 One Night

.

Eirlys merasa seperti dalam mimpi buruk saat mengikuti Helen ke arah tangga yang menuju ke lantai atas, masih merasakan tangan Pangeran Korvin yang besar dan hangat di tangannya.

"Ini kamar kalian," ujar Helen dengan senyum ramah. Ia berdiri di samping Eirlys.

Saat mereka tiba di depan pintu kamar terakhir yang tersisa, Eirlys hampir tidak bisa mengendalikan detak jantungnya yang semakin kencang. Ia membuka pintu dengan gemetar, membiarkan Pangeran Korvin masuk lebih dulu. Dan ia menutup pintu.

"Terima kasih sudah mengantarkan kami Helen," ujar Eirlys. Ia mencoba bersikap lebih santai.

"Sama-sama. Jika butuh sesuatu, kau bisa temui aku di meja."

Eirlys mengangguk kecil. Selanjutnya, Helen meninggalkan dirinya. Menghela nafas, Eirlys berbalik dan membuka kamar dengan perasaan gugup. Eirlys mencoba berpikir logis, mereka sedang bersandiwara sebagai kakak beradik yang tengah menempuh perjalanan jauh. Pangeran Korvin pun pasti merasa tak nyaman jika berada satu kamar dengan seorang pelayan. Jadi, tak ada yang perlu ia risaukan. Cukup tidur di lantai dengan satu bantal dan selimut bila ada.

Kamar itu sederhana namun bersih, dengan satu ranjang berukuran sedang di sudut kanan ruangan. Eirlys menelan ludah, menatap Pangeran dengan cemas. Pria itu kini telah melepas kain yang menutupi kedua matanya, ia duduk di ujung kasur. Eirlys merutuki dirinya yang tak bisa berpikir tenang. 

"Ma-maafkan saya, Yang Mulia, ini adalah satu-satunya kamar yang tersedia..." ucap Eirlys dengan suara lirih, matanya tidak berani menatap langsung ke arah Pangeran Korvin.

Pangeran Korvin hanya tersenyum lembut, "Tidak apa-apa, Eirlys. Kita akan baik-baik saja."

Eirlys berjalan masuk dengan hati yang berdegup kencang, berusaha menenangkan diri dalam situasi yang begitu menegangkan. Suasana hening terasa terlalu berat di antara mereka. Eirlys merasakan pandangan Pangeran yang menelisiknya, membuatnya semakin gugup.

"M-mungkin saya akan berusaha mencari selimut tambahan," ujar Eirlys, mencoba menemukan alasan untuk keluar dari situasi yang semakin membingungkannya. Eirlys menelan ludah, merasa terjepit dalam situasi yang sulit ini. Ia merasa gugup, meremang, namun juga terdorong oleh kebutuhan untuk menjaga sikap profesional di hadapan pangeran.

Pangeran Korvin mengangguk, "Silakan."

Tubuh itu menghilang di balik pintu yang ditutup. Aldric menghela nafas, lantas berbaring. Rasanya amat nyaman kala punggungnya menyentuh kasur yang empuk. Sudah dua hari tidur dengan tidak benar, bahkan kemarin tidak tidur sama sekali. Punggung Aldric terasa pegal, ia harus cepat tidur karena esok harus pergi sebelum mentari terbit.

Eirlys merasa lega, bebas karena dapat keluar dari kamar tersebut, ia tak bisa berlama-lama satu ruangan dengan Pangeran Korvin. Ia berjalan menuju meja penerima tamu, di sana Helen duduk di kursi sambil mencatat sesuatu di buku.

Mendengar langkah dari arah depan, Helen mendongak. Tersenyum saat melihat Eirlys berdiri di hadapannya.

"Ada apa, Eirlys?"

"Apa kalian memiliki selimut lebih?"

"Tentu. Sebentar ya, aku ambilkan."

Eirlys mengangguk. Menunggu di tempat yang sama ketika Helen pergi mengambil selimut. Perempuan itu beberapa kali menghela nafas berat, kegundahan bergelayut di benaknya. Rasanya lebih baik ia tak mencari keberadaan orang sudah membuangnya jika perjalanan yang harus dilewati begini. Perkara genting sedang melanda sang Pangeran, seharusnya tak perlu melanjutkan pencarian. Eirlys merasa terbebani.

Cursed PrinceWhere stories live. Discover now