Bag 4: Cold Inside

64.9K 2.4K 77
                                    

Bag 4: "Demi mamanya, adiknya dan kehidupan mereka bersama, selamanya."

Setiap pagi, saat Juan masuk dengan audinya melalui gerbang sekolah. Beberapa cewek dari sekolahnya atau bahkan sekolah lain akan berdiri di dekat tempat parkir menunggunya. Tatapan mereka tak lepas dari mobil silver mewah itu sampai kemudian terpampang di tempat parkir dan sang pemilik keluar dari mobil.

 Juan menangkap tatapan berbinar mereka dan mendengar bisikan mereka satu sama lain. Ia yakin ia sedang menjadi bahan pembicaraan mereka. Juan menunduk untuk mengambil tas yang ia dudukan disamping kursi kemudi sebelum kemudian menutup pintu mobil itu dengan santai, langkah-langkah pertamanya berlangsung bersamaan dengan langkah seorang cewek, bajunya putih biru, dia anak SMP. Juan berhenti karena tau ia akan dihampiri. Cewek itu tersenyum lebar dengan mata yang berseri-seri dan Juan membalas senyumannya dengan ramah.

"Kak Juan," sapa gadis itu pertama kali. "Ini," tiba-tiba gadis itu menyerahkan paperbag berwarna pink yang diikat dengan pita.

"Untukku?" tanya Juan tersenyum manis, gadis itu mengangguk, Juan mengambilnya seraya berkata, "terima kasih, siapa namamu?" tanyanya kemudian.

"Ammy, aku mendatangi konser kakak setiap minggu," aku cewek itu. "Hm aku... menyukai kakak," kata Ammy dengan malu-malu, ia terkadang menundukan kepalanya dan mengangkat wajahnya dengan senyuman lebar.

"Terimah kasih Ammy, kita akan mengobrol lain kali," ucap Juan sebelum kemudian berjalan pergi meninggalkan Ammy yang masih menatapnya penuh harap. Bagi Juan itu sudah cukup; ia bersikap ramah, menerima hadiah, tersenyum manis, itu adalah bukti ia menghargai mereka. Tetapi walau banyak sekali cewek yang mungkin ia akan dapatkan tetap tidak satu pun menarik perhatiannya untuk dianggap lebih dari sekedar fansnya, semuanya terlalu manja dan kekanak-kanakan. Dia tidak pernah mengikat diri dengan yang namanya pacaran, dia hanya mau senang-senang, Itu saja, setidaknya sebelum ia siap menikah dan itu masih sangat lama.

Ia menuju kekelas menenteng paperbag pink dengan tak acuh, walau salah satu temannya, teman dekatnya, Arnold, melihatnya dengan tatapan geli. "Habis ke toko coklat, bu?" godanya dan Juan mengiyakan dengan alis-alisnya.

"Iya nih... Anak di rumah rewel," jawab Juan dengan nada dibuat-buat, Arnold tertawa keras.

"Ngomong-ngomong, aku kok nggak pernah terima hadiah ya? Masa iya aku nggak punya fans, seraya aku ini kan pemain gitar tertampan yang pernah ada sepanjang sejarah!" adu Arnold meratapi nasib. Menurutnya, setiap ia melihat ke cermin; wajah oval, kulit putih dengan sedikit bintik merah disana, bibir sexi, dan alis tebal tidak menyambung, wajah ini adalah wajah eksotis, akunya. Terkadang dia harus bertanya keras-keras "hey! Siapa pemilik wajah tampan itu?" didepan cermin.

Tetapi sudah sampai 1 tahun lebih bandnya, Sorrel Like Food, terbentuk, tidak ada satupun cewek cantik yang mau nempel padanya. Setiap dia mengecap satu cewek yang ia lihat dikonser sebagai sasaran, belum sempat ia bilang hey, cewek itu pasti sudah bermanis-manis dengan Juan. Sampai suatu saat ia bertanya pada Juan "kamu pake jampi-jampi, ya?" Juan tertawa dan berkata "inilah yang disebut pesona sejati." Sedang ia hanya bisa meringis dan menahan diri.

Juan duduk di kursinya sambil tersenyum ke arah Arnold, "mereka pikir kamu sudah punya pacar, Nold, makanya mereka nggak berani dekat-dekat," komentar Juan.

"Begitu ya? bisa juga sih, memang mukaku kayak orang sudah punya pacar gitu?" tanya Arnold penuh pengharapan, ia memandang lekat Juan pada detik-detik terakhir pertanyaannya itu.

"Kaya om-om sih," jawab Juan kemudian tertawa.

"Sialan," umpat Arnold.

Jam-jam berikutnya, tidak ada yang menarik bagi Juan, mendengarkan guru biologinya bercerita tentang kesehariannya, melihat guru matematikanya yang hanya memberi catatan, mendengar nasehat-nasehat dari guru sejarah, setelah kemudian bel berbunyi dan kelas menjadi kosong seketika.

My Lovely MaidWhere stories live. Discover now