Bagian 11

16.7K 1.5K 63
                                    

Kali ini, gue beneran mengikuti kata hati gue. Tidak ada remaja labil lagi atau perubahan rencana. Sudah cukup pengorbanan dan perjuangan gue untuk dirinya. Tidak ada terpikir sedetik saja untuk kembali memperjuangkannya.

Masa memperjuankannya sudah berakhir. Masa itu sudah berganti. Berganti dengan masa yang baru. Gue sangat tahu, sebenarnya dia mengetahui segalanya, termasuk perasaan gue. Tapi dia memilih tidak peduli dan mengabaikannya. Maka dari itu gue menyerah, gue melupakan semua yang dulu gue inginkan.

Awalnya, perasaan tulus mencintainya itu sangat besar. Perasaan yang tidak ingin menyerah begitu saja, masih sangat besar. Adakah yang lebih tulus dari seseorang yang sabar menunggu, meski dia tahu tidak akan mampu meraihnya? Entah kenapa, ketulusan itu terasa menghilang.

Gue sama sekali tidak peduli dengan dirinya. Dengan apa yang dia lakukan atau apapun. Bahkan gue saja tidak mengetahui kabar tentang dirinya. Untuk apa gue peduli dengan seseorang yang tidak peduli dengan diri gue?

Gue membuka pintu ruangan yang sudah lama tidak kami kunjungi. Ruangan ini memiliki banyak kenangan. Kenangan tentang Emily dan persahabatan kami berlima. Ruangan yang tidak akan kami kunjungi lagi dalam waktu yang lama atau mungkin, tidak akan pernah lagi.

Ruangan yang gue maksud, adalah ruangan di sekolah kami. Ruangan yang bisa memperlihatkan semua sisi di sekolah, karna Thomas menyuruh rekaman cctv di putar di ruangan ini juga. Ruangan tempat kami berkumpul atau bolos.

Jarang sekali orang lain menginjakkan kaki mereka disini. Bahkan untuk berdiri di depan pintu saja, mungkin mereka tidak berani. Mereka semue mengetahui ini ruangan milik siapa.

Gue ingat tentang kejadian Ashley dan Thomas, Emily. Mengingat Ashley, gue jadi sedih. Entah kenapa, Ashley sudah gue anggap menjadi adik sendiri. Sekarang, Ashley sedang berbaring di tempat tidur yang tidak satupun mau menempatinya.

Bunyi pintu terbuka, membuat gue menoleh ke arah pintu. Disana, dia berdiri dengan kepala menunduk. Dia berdiri beberapa saat, tanpa melakukan apapun. Setelah itu, dia mengangkat kepalanya dan melihat gue.

"Bisa kita bicara?"tanya Lucy seformal mungkin.

Gue melihatnya aneh, "Kenapa lo nanya gitu?"

"Please Ricky, gue mau ngomong sama lo,,"mohon Lucy.

Gue memainkan kubus rubiks dan duduk di sofa di ruangan ini, "Kalau lo mau ngomong ya tinggal ngomomg,"

"Gue enggak mau disini, Ricky,,"ucap Lucy.

Lagi-lagi gue melihatnya aneh, sebentar saja, "Lo mau ngomong aja, ribet banget,"

Lucy menghela napasnya, dia mendekat ke arah gue. "Untuk yang ini enggak apa-apa di sini, tapi ada hal yang perlu gue omongin tapi enggak bisa di sini,"

Gue melatakkan kubus rubiks dengan kesal, "Ya udah, ngomong aja yang bisa ngomong di sini. Gue lagi mager pergi,"

"Ashley kemana? Kenapa gue enggak lihat dia di kelasnya?"tanya Lucy.

Lucy benar-benar aneh, "Kenapa lo nyariin dia? Lo mau bully dia lagi?"

"Ricky,,"kesal Lucy.

"Dia lagi tidur,,"jawab gue asal.

Lucy mengerutkan keningnya bingung, "Tidur? Maksud lo apaan sih?"

"Koma. Tidur dalam koma,,"jelas gue singkat.

Lucy melihat gue kesal, "Lo kalau ngomong jangan sembarangan,"

Memang dasarnya susah percaya dengan siapapun, walaupun sudah kenal lama tetap aja dia tidak akan mudah percaya. Hal seperti ini di bilang bercanda. "Gue tahu kalau belakangan ini, gue suka bercanda. Tapi, untuk kali ini gue enggak bercanda,"

AftertasteKde žijí příběhy. Začni objevovat