25

20.1K 1.2K 3
                                    

Ada saat dimana orang sangat berjuang untuk melakukan sesuatu. Namun ada pula saat dimana orang merasa lelah dan ingin pergi. Bagi Lee, saat ini adalah saat terendahnya. Ia bahkan tidak minat keluar dari rumah untuk bekerja. Padahal bekerja adalah aktivitas yang paling ia minati. Menggerakkan banyak hal, menciptakan sesuatu yang baru, bekerja sama dengan orang lain. Sayangnya, saat ini Lee sama sekali tidak berminat mengurusi pekerjaannya. Betapa dahsyatnya dampak kehadiran dan ketiadaan Amy di hidupnya.

Lee bangun pagi sehari setelah hari ulang tahunnya. Matanya terbuka tapi perasaannya sangat tidak enak, terasa sesak. Badannya terasa lemas, ya mungkin memang karena semalam sebelumnya ia tidak makan. Tapi entahlah.

"Yuri," ujar Lee masih dengan suara serak.

"Ya Pak," sekretaris Lee di ujung sana sangat kaget ditelepon atasannya sepagi ini. Masih jam 6 pagi dan Yuri baru mau berjibaku di Commuter Line.

"Saya akan cuti beberapa hari. Kalau ada urusan pekerjaan hubungi saya melalui email. Hanya kamu yang tahu email itu dan cuma kamu yang harus kirim pekerjaan ke saya. Saya gak mau diganggu. HP akan saya matikan,"

"Bapak mau kemana?" tanya Yuri bingung.

"Meditasi,"

***

Lee berjalan memasuki halaman rumahnya di Singapura. Menemui orang tua dan keluarganya sepertinya bisa jadi obat kesedihan yang ampuh. Setelah menelepon Yuri, Lee membawa beberapa barang yang dirasa penting, mengunci rumah dan menitipkan kuncinya ke satpam kompleks agar dapat dibersihkan secara berkala, naik taksi ke bandara, memilih penerbangan terdekat waktunya, dan sekarang di sinilah ia berada. Menghela nafas di depan pintu rumah keluarganya.

"Bro?" sapa sebuah suara.

Lee mendongak ke atas dan melihat Edrik, adiknya sedang memicingkan mata menghadap dirinya.

"Hei," balas Lee, tersenyum tipis.

Edrik menghilang lalu muncul beberapa detik kemudian, membukakan pintu untuk kakaknya.

"Gak kerja?" Lee bertanya duluan.

"I'm a photographer, Lee. I dont have any fix schedule," Edrik mengangkat bahu, merangkul segera kakaknya. "Malah gue yang harus tanya, apa yang tiba-tiba bikin lo ke sini? Gak bilang apa-apa juga."

"Cari suasana baru," jawab Lee cuek. Ia melepaskan rangkulan Edrik dan masuk ke dalam rumah. "Mana Mama dan Papa?"

"Mama ada arisan. Papa kerja. Ini jam 11 Lee, waktu orang-orang di kantor," terbalik, ganti Edrik yang mengingatkan.

"Oke, gue mau tidur dulu," kata Lee cuek lalu masuk ke kamar. Kamar yang sudah bertahun-tahun tidak dia tiduri namun tetap bersih dan rapi.

***

"Mama gak nyangka lho ada yang patah hati terus pulang ke rumah kayak bayi gede gini," seruan ibunya membuat Lee membuka mata setelah tidur sesiangan.

"Hei, Ma," gumam Lee sambil tetap membenamkan wajahnya di bantal.

"Ada angin apa tiba-tiba pulang, hmm?" Lee bisa merasakan ibunya duduk di tepi tempat tidur.

"You guess it right,"

"Jadi mau cari cewek baru di sini?"

"Gak juga," kata Lee cepat. Berbalik, turun dari tempat tidur. Sambil menggaruk kepalanya, ia keluar kamar meninggalkan ibunya di kamar.

Mrs. Maria menggeleng, melihat kelakuan anak sulungnya yang dikiranya sudah dewasa namun ternyata masih seperti ketika ia usia 15 tahun.

***

Fated to Separate - END (GOOGLE PLAY)Where stories live. Discover now