Chapter 2 : Mitos Wanita Zaman Sekarang Lebih Cantik Daripada Wanita Zaman Dulu

2.9K 355 489
                                    

Setelah tidak percaya lagi mitos jatuh cinta pada pandangan pertama, aku malah jadi sering jatuh cinta. Aku bahkan bisa jatuh cinta lima kali dalam sehari dengan wanita yang berbeda ketika aku berada di mal.

Serius, aku merasa semakin ke sini populasi wanita cantik semakin banyak. Dulu Dian Sastro dan Bunga Citra Lestari menurutku sudah luar biasa edan cantiknya. Tapi kini lain, bukan hanya aktris dan penyanyi saja yang cantik, bahkan Satpol PP pun sekarang ada yang cantik. Ini menjadi sebuah anugerah bagi para lelaki namun ironi bagi wanita karena kecantikan mereka menjadi sesuatu yang medioker.

Sekarang modal cantik saja tidak cukup. Butuh pesona lain bagi wanita untuk dapat mencuri perhatian seorang lelaki yang berkualitas. Kubilang berkualitas karena lelaki yang tidak berkualitas pun masih banyak. Golongan lelaki seperti ini, cukup dikasih rok pendek sama paha mulus saja mereka sudah senangnya minta ampun.

Jangan salah. Meskipun populasi wanita cantik semakin banyak, bukan berarti semua lelaki bisa mendapatkan wanita cantik sebagai pasangannya. Itu karena wanita cantik tetaplah wanita cantik. Mereka lebih baik bersaing dengan wanita cantik lainnya, daripada asal comot lelaki yang belum jelas masa depannya. Dari dulu zaman Cleopatra sampai sekarang zamannya Chelsea Islan, wanita cantik masih tetap tidak berubah. Mereka mempunyai ego yang tinggi.

Pengalaman temanku, Nanang Kosim, telah membuktikan hal itu. Berawal ketika dia membuat janji dengan kenalan dunia mayanya untuk bertemu di mal. Dia mengajakku agar ikut bersamanya.

Aku tahu di sana peranku hanya akan menjadi obat nyamuk. Tapi Nanang Kosim adalah seorang teman yang sangat baik. Terlepas dari tampangnya yang tidak simetris, dia adalah tipe orang yang tidak pernah ragu untuk membantu temannya sendiri. Saking baiknya Nanang Kosim, kebaikannya itu kadang-kadang dimanfaatkan oleh kami teman-temannya. Memang, ada jarak tipis antara kebaikan dan kebodohan. Karena aku orangnya tahu balas budi, jadi kuputuskan untuk menemaninya.

Setelah sampai di mal, aku dan Nanang Kosim menunggu hampir satu jam di tempat yang dijanjikan. Aku jadi ragu kenalannya itu akan datang. Pikiranku mengatakan mungkin dia sudah kabur duluan setelah melihat tampang asli Nanang Kosim.

Nanang Kosim mengatakan padaku bahwa kenalannya masih di jalan dan sebentar lagi akan sampai. Padahal dia sudah mengatakan hal itu dari setengah jam yang lalu.

Lantas aku bertanya, "Nang, emang kenalanmu cantik banget, ya?"

"Cantik edan, Bray!" Nanang Kosim memperlihatkan foto profil kenalannya itu kepadaku.

Aku ingin mengatakan padanya kalau foto bisa menipu. Zaman sekarang banyak aplikasi yang dapat merekayasa wajah. Tapi kuurungkan niatku karena tidak ingin memadamkan semangatnya.

Sebenarnya, karena wanita itu memang cantik. Kenalan Nanang Kosim ternyata benar-benar datang. Dia persis sama dengan yang ada di foto, bahkan lebih cantik. Dia menghampiri kami berdua dengan senyumannya yang sangat menawan. Begitu menawannya sampai rasa kesal dan amarah yang tadi kusimpan tiba-tiba lenyap begitu saja. Aku sempat mengira, senyumannya itu mungkin dapat menyembuhkan kanker.

Nanang Kosim pun berdiri gugup menyambut kedatangan kenalannya itu. "Maya?" tanya Nanang Kosim.

"Nanang Kosim?" tanya Maya.

Dan setelah itu mereka pun saling bersalaman, mengobrol panjang lebar, ketawa bareng dan blablablabla .... Tampaknya semudah itu mendapatkan wanita cantik, bukan?

Ternyata bukan. Keesokan paginya Nanang Kosim terburu-buru pergi dari kosannya. Saat aku menengok keluar jendela, dia sudah melesat dengan vespa bututnya yang berwarna telur asin itu. Nanang Kosim pulang-pulang sudah larut malam. Paginya dia pergi lagi, pulangnya larut malam lagi. Kira-kira selama setahun penuh dia melakukan hal yang sama seperti itu terus-menerus.

Aku jadi prihatin. Nanang Kosim yang dulu gemuk jadi kurus kering. Mukanya kusam, matanya merah, giginya kuning. Penampilannya sudah mirip zombie yang terkena penyakit busung lapar.

Belum cukup dengan itu, kondisi keuangannya pun memburuk. Dia sering ngutang ke sana kemari hanya untuk beli Indomie. Padahal dulunya dialah yang sering meminjamkan uang pada kami. Tidak perlu dipertanyakan lagi uangnya habis kemana.

Nanang Kosim jadi sering ke mal. Aku tahu karena aku juga sering ke mal. Namun tujuanku dan dia di sana berbeda. Tujuanku ke mal hanya untuk cuci mata, jatuh cinta, lalu kembali ke realita dengan sebotol Aqua.

Jauh berbeda dengannya. Nanang Kosim di sana berfoya-foya dengan Maya. Ngopi di Starbuck, makan di Solaria, lalu karaoke di Inul Vista. Padahal dulu gaya hidup paling mahal Nanang Kosim hanya nongkrong di teras Alfamart!

Nanang Kosim pun jadi pesakitan. Tubuhnya kaget, jiwanya terguncang, dompetnya sekarat karena tidak sanggup lagi mengikuti gaya hidup hedonis Maya. Pada akhirnya dia menyerah, lalu bercerita padaku sambil menangis.

Selama ini Nanang Kosim tidak pernah berpacaran dengan Maya. Gadis itu mengatakan sejak awal kalau dia sudah punya pacar. Tentu saja, pacarnya lebih tampan daripada Nanang Kosim. Akan tetapi, Maya mengisyaratkan jika Nanang Kosim selalu siap memenuhi permintaannya, dia akan mempertimbangkan Nanang Kosim sebagai teman dekatnya. Begonya Nanang Kosim saat itu dia malah dengan senang hati menerima perjanjian setannya.

Sebulan berlalu setelah Nanang Kosim menyerah. Dia mendapat undangan pernikahan dari Maya. Luka yang sepenuhnya belum tertutup telah tergores kembali. Nanang Kosim menangis lagi padaku sambil membawa kartu undangannya.

Aku mencoba menghibur Nanang Kosim. Kemudian kusarankan kalau dia harus datang ke pernikahan Maya.

"Biar kutemani kau ke sana, Nang. Buktikan padanya kalau kau lelaki kuat. Kau adalah lelaki sejati yang tidak mati meskipun setahun belakangan ini cuma makan Indomie sehari sekali!"

Tubuh Nanang Kosim bergetar. Dia mengusap air matanya. Dia bangkit berdiri. Tatapan matanya kembali hidup. "Ayo, kita ke sana!" katanya sambil meremas kartu undangan pernikahan Maya.

Melihat Nanang Kosim tiba-tiba bersemangat kembali karena kalimat motivasi yang kuucapkan, membuatku sempat berpikir bahwa aku lebih jago daripada Mario Teguh.

Tiba hari pernikahan Maya. Pernikahannya megah, dilangsungkan di hotel berbintang enam. Para undangannya dari berbagai kalangan pejabat dan pengusaha. Bodo amat! Kami berdua datang dan langsung menyantap semua hidangan yang ada di sana. Satu piring, dua piring, tiga piring, empat piring, lima piring ... Nanang Kosim menghabiskan sepuluh piring. Belum lagi dia membawa kantong keresek hitam untuk bekal makanan dibawa pulang.

Setelah memasukkan amplop kosong ke dalam gentong sumbangan pengantin, aku baru menyadari kalau mempelai lelakinya tidak setampan yang dibicarakan. Malah dia lebih parah daripada Nanang Kosim. Perutnya buncit, kepalanya botak, wajahnya sangar. Jika saja orang itu tidak berpakaian rapi dan mahal, dia lebih mirip seperti preman terminal.

Kukatakan dalam hati, "Kalau wajah seperti itu dibilang tampan, berarti aku malaikat!"

Tapi sesaat akan pergi dari aula hotel, aku melihat seorang lelaki tampan sedang menangis tersedu-sedu di pojokan dekat pintu keluar. Kata Nanang Kosim, dia adalah mantan pacar Maya. Yang sekarang menjadi pengantin Maya adalah pengusaha sekaligus pejabat yang baru sebulan dikenalnya. Aku menatap iba. Ternyata pada akhirnya ketampanan pun akan dikalahkan oleh kemapanan.

Sambil berjalan pulang, aku pun merenung. Berpikir apa ada hikmah yang dapat diambil dari semua kejadian ini.

Jawabannya ada. Paling tidak saat nanti malam, Nanang Kosim tidak perlu makan Indomie.

Mitosحيث تعيش القصص. اكتشف الآن