Chapter 13 : Mitos Tidak Ada Batas Untuk Kebodohan

804 155 125
                                    

Sekelebat bayangan melesat dari arah belakangku. Nanang Kosim berlari seperti orang diare yang berusaha mencari WC. Secepat kilat dia sudah kembali lagi ke arahku yang berada di mulut pintu dengan membawa tas milik Mawar. Nanang Kosim mengeluarkan semua isi tasnya di luar kelas.

Buku-buku berhamburan, seragam sekolah Mawar juga terjatuh ke lantai. Terakhir, bangkai tikus yang mulutnya menganga ikut muncul belakangan. Tidak ada sedikit pun rasa jijik, Nanang Kosim menyabet bangkai itu dengan tangan kosong, lalu melemparkannya ke atas genteng. Kucing yang sedang nongkrong di sana langsung menyambut umpan matang dari Nanang Kosim dengan mulutnya.

Sekadar pemberitahuan, kucing di tahun 90-an masih tidak pilih-pilih makanan. Tidak seperti kucing zaman sekarang, dikasih ikan malah minta daging ayam.

Nanang Kosim berlari dengan membawa tas dan seragam milik Mawar. Aku mengikutinya dari belakang karena penasaran apa yang mau dilakukannya dengan barang-barang itu. Rupanya dia pergi ke kantin.

"Bu, ada sabun colek, nggak?" tanya Nanang Kosim pada Ibu Kantin yang sedang sibuk menggoreng bakwan.

"Tuh, ada di belakang," jawab Ibu Kantin tanpa menoleh, masih sibuk dengan penggorengannya.

Nanang Kosim lantas pergi ke belakang tempat Ibu Kantin biasa cuci piring. Kemudian dia melemparkan tas dan seragam milik Mawar ke ember yang berada di sana. Ember hitam yang bertuliskan "anti pecah" itu diisinya air sampai penuh.

Setelah tas dan seragam itu sudah terendam oleh air sepenuhnya, Nanang Kosim mengambil napas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan. Dengan cepat membuka sepatu dan kaos kaki miliknya, kini Nanang Kosim bertelanjang kaki. Tiba-tiba saja dia melompat, dan mendarat ke ember yang ada di depannya itu. Kedua kaki Nanang Kosim bergerak cepat secara bergantian, menginjak-injak tas dan seragam yang sudah pasrah menerima nasibnya. Ada kemungkinan, sebenarnya mereka memilih bau bangkai tikus daripada harga dirinya diinjak-injak oleh Nanang Kosim.

Air mengalir, jatuh dengan deras ke bawah, ketika Nanang Kosim mengangkat tas dan seragam di ember dengan kedua tangannya secara bersamaan. Seperti kerasukan roh Dewa Mesin Cuci, Nanang Kosim mengoles sabun colek dengan cekatan, dan kembali dengan kedua tangannya, mengucek seragam dan tas itu secara bersamaan dengan cepat, juga sepenuh tenaga.

Aku tercengang melihat apa yang sedang dilakukannya. Tidak habis pikir terbuat dari apa otak Nanang Kosim ini. Kebodohan yang dimilikinya itu telah melampaui batas akal sehat. Sampai kapan pun, aku tidak akan mengerti cara kerja otak dari manusia yang sekarang sedang tersenyum dengan bodohnya, memandangi jemuran yang tergantung di depannya itu. Lihat, bukan? Aku pun tidak mengerti kenapa dia tersenyum sambil memandangi jemuran!

Nanang Kosim mengusap keringat di kening dengan tangan yang masih tersisa busa. "Oke, Bray. Kita kembali ke kelas. Tinggal nunggu kering aja nih," katanya setelah menepuk pundakku.

Dia berjalan dengan riangnya meninggalkanku di belakang yang masih berdiri kebingungan. Langkah Nanang Kosim terlihat ringan saat dia menaiki tangga menuju kelas. Sekilas kulihat sepasang sayap di belakang punggungnya.

Aku menyusul Nanang Kosim sebelum dia masuk ke dalam kelas. Kini dia sedang membereskan buku-buku Mawar yang masih tergeletak di sana.

"Barusan tadi kau ngapain, Nang?" tanyaku emosi.

"Nyuci," jawabnya polos.

Aku menggeleng frustrasi. "Lalu sekarang kau sedang ngapain?"

"Beresin buku," jawabnya lagi.

"Dengar, Nang," bisikku pelan di telinganya. "Ngapain kau bantu gadis yang udah mempermalukanmu kemarin di depan kelas? Mending sekarang kita bakar aja ini buku, gimana?"

"Ngomong apaan sih, Bray? Jangan gitulah. Nggak baik tahu!"

Nanang Kosim melengos pergi dengan tumpukan buku di tangannya. Dia menghampiri Mawar yang masih menangis sesenggukan. Setelah menyerahkan tumpukan buku itu ke tangan pemiliknya, Nanang Kosim berkata, "Tas sama seragamnya lagi dijemur. Tunggu aja, ya. Entar pulang sekolah juga udah kering."

Mawar mengangguk pelan. Matanya terarah pada punggung Nanang Kosim yang sedang berjalan kembali ke bangkunya. Nanang Kosim mengambil seragam yang ada di tasnya, lalu pergi ke toilet untuk ganti pakaian. Lagi, mata Mawar tertuju pada Nanang Kosim sebelum keluar dari kelas.

Aku sengaja menabrak tubuh Mawar sesaat ketika dia akan berbalik. Buku-buku yang ada di tangannya kembali berjatuhan ke lantai.

"Oh, maaf," kataku sambil tersenyum kepadanya.

Mawar tidak mengindahkan perkataanku. Dia hanya langsung memunguti satu per satu buku-buku yang ada di lantai. Aku membungkuk mengikuti pergerakan yang dilakukan Mawar.

Sambil berpura-berpura membantunya membereskan buku-buku, aku berbisik, "Berulah lagi, lain kali akan kukirim sepuluh ekor tikus ke dalam tasmu."

Tubuh Mawar nampak menegang. Dia menatapku dengan tajam.

Sebagai balasan, aku memberikan senyuman untuknya. "Kalau kau tidak bisa menutup mulut," kataku melanjutkan, "akan kukirim seratus ekor lagi ke rumahmu beserta darah-darahnya yang masih segar."

Mawar berdiri dengan gemetar sambil memegang buku-bukunya. Keringat mengalir dari dahi gadis itu ketika aku menyerahkan sebagian buku-bukunya yang sudah kubereskan tadi.

"Bila kau tidak percaya akan peringatanku ini ...." Aku berjalan dan berhenti sejenak di samping Mawar yang sedang berdiri gugup. "Besok, akan kukirim bangkai tikus lagi untuk kedua temanmu itu. Sebagai bukti kalau aku tidak main-main," bisikku sambil berlalu, berjalan melewatinya.

MitosWhere stories live. Discover now