Chapter 14.3

225 43 10
                                    

Tiba waktunya Edi keluar dari penjara. Tidak seperti tahanan lainnya, dia sama sekali tidak senang bebas dari tempat hukuman tersebut. Di penjara Edi dapat tidur tanpa kehujanan dan makan gratis meskipun masakan di sana kerap kali sudah basi dan membuatnya sering diare. Baginya itu tak seberapa karena dari dulu dia sudah terbiasa kelaparan. Maka ketika Edi masuk penjara, dia merasa telah berada di surga.

Edi memiliki siasat agar dapat kembali ke penjara. Hari itu juga setelah dia baru saja menghirup udara kebebasan, lelaki yang sistem sarafnya sudah tercemar oleh bahan kimia lem Aibon itu langsung melaksanakan niatnya. Kios kecil berwarna biru di seberang jalan menjadi target operasi Edi dalam rencananya untuk pulang lagi ke penjaranya yang tercinta.

Setelah sampai di seberang jalan, Edi tidak ragu-ragu menjarah barang dagangan yang ada di kios tersebut. Mengambil satu toples permen, mencabut serenteng plastik kerupuk, dan membawa dua botol minuman dingin. Sang pemilik kios terlalu ketakutan untuk bertindak. Dia hanya bisa melepaskan Edi dengan hati mencelus yang membawa barang dagangannya pergi ke seberang jalan.

Edi langsung menyerahkan diri ke petugas penjara. Dia melemparkan barang-barang yang baru dicurinya itu ke meja. Petugas yang berjaga sempat heran, namun sesaat kemudian langsung mengerti apa yang terjadi. Sang sipir penjara telah mengenal Edi dengan baik. Dia sangat tahu tidak ada orang yang lebih mencintai penjara selain Edi. Selama puluhan tahun bertugas, sang sipir baru menemukan tahanan yang selalu terlihat ceria dan bahagia ketika dihukum di penjara. Baru Edi seorang.

Sang sipir yang tahu akan siasat Edi langsung tersenyum. "Kau tidak akan ditahan. Kembalikan saja barang-barangnya ke tempat semula dan kuanggap urusannya sudah selesai."

Edi tergelak. Langsung dia protes, "Tidak bisa begitu dong, Pak! Aku telah melakukan kejahatan dengan mencuri barang dagangan di kios seberang. Masukkan aku kembali ke penjara. Bapak sebagai penegak keadilan harus menghukumku sesuai dengan undang-undang atau lebih berat lagi juga tidak apa-apa. Aku tidak pantas berada di tengah-tengah masyarakat."

"Tidak bisa. Pengeluaran penjara akan lebih besar bila kau masuk lagi ke sini. Aku tahu siasatmu, Edi. Kau ingin kembali ke penjara agar dapat merobotgedekkan tahanan-tahanan lain yang lebih muda."

"Sejak mengetahui kalau lelaki tidak dapat melahirkan aku sudah tidak melakukan percobaan itu. Jangan fitnah, Pak! Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan!"

"Terserah kau saja," kata sang sipir tidak peduli, "yang jelas kau tidak dapat kembali lagi ke sini. Penjara sudah penuh. Tidak ada tempat untukmu lagi di sini."

"Tapi penjara untuk tahanan koruptor masih luas. Ada kasur, televisi dan AC. Mubadzir kalau tidak digunakan."

"Siapa bilang?" tanya sang sipir. "Itu masih digunakan. Sesekali mereka berada di sana. Hanya saja tahanan yang menempati tempat tersebut sedang berada di apartemennya masing-masing sampai waktu tidak ditentukan selama tidak ketahuan. Mereka bisa marah kalau mendapati ruangannya ditempati orang lain."

Edi merasa frustrasi. Siasatnya untuk kembali ke penjara tidak berhasil.

"Pergilah," perintah sang sipir. "Perbaiki jalan hidupmu. Kau belum terlambat. Kau masih dapat kesempatan untuk menghirup udara bebas dan berguna bagi masyarakat sekitar."

Edi kesal terhadap sang sipir. Dia menyepelekan situasi yang sedang dihadapinya. Bicara, memberikan nasihat, dan menyampaikan motivasi itu memang mudah selama bukan dia yang mendapatkan masalahnya. Tapi bagi Edi, yang sudah dianggap sampah masyarakat sejak kecil, dia sudah tahu tidak ada tempat untuknya di tengah-tengah masyarakat.

Sejenak Edi berpikir. Ternyata situasi ini lebih menguntungkan. Sekarang dia bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya. Memalak, mencuri, bahkan merampok sekalipun, dia dapat melakukan semua itu dengan hati yang ringan. Bila toh ada masyarakat yang melaporkannya ke penjara, Edi akan sangat berterima kasih kepada mereka karena itu yang dia inginkan. Edi tersenyum sumringah memikirkan masa depannya yang cerah.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Edi untuk menjalankan rencananya. Dia menjadi bos preman dalam waktu singkat. Keberaniannya memalak para pedagang pasar ditambah dengan kesungguhan hati untuk kembali ke penjara telah menjadi suri teladan bagi preman-preman lainnya.

Nama Edi sang bos preman pasar menjadi tersohor. Pengikutnya semakin banyak sehingga dia berencana melebarkan sayap dan mengambil alih terminal. Namun rencana itu segera diurungkan setelah Edi sadar bahwa preman terminal lebih ganas dan lebih siap mati daripada dirinya.

Alasan lainnya, Edi direkrut oleh seorang pengacara, juga pemilik toko bahan kimia, sekaligus rentenir, untuk menjadi kacungnya menggantikan bos preman terminal yang pensiun karena diabetes. Dia membawa dua anak buah yang bertubuh tinggi besar untuk ikut bekerja bersama dirinya. Sampai segitu sulitnya mencari pekerjaan, bahkan dunia preman pun tidak lepas dari praktik nepotisme.

Edi senang dengan pekerjaan barunya. Penghasilannya lebih besar daripada menjadi bos preman pasar. Tanggungjawabnya pun lebih sedikit dan tidak perlu lagi mencemaskan perlawanan dari pedagang pasar. Karena menjadi debt collector lain cerita. Dia menagih hutang bukan memalak, jadi tidak ada beban moral untuk ditanggung, meskipun perlu diragukan kalau Edi masih punya moral di dalam dirinya.

Bersama kedua anak buahnya setiap malam Edi mabuk-mabukan. Bukan mabuk lem seperti dahulu. Dengan penghasilannya yang melebihi UMR dia dapat membeli minuman keras cap topi miring beserta sebungkus kacang goreng. Di gang sepi yang berada di ujung jalan menjadi tempat ketiga preman itu berpesta minuman keras sampai pagi.

Tiba akhirnya ketika Edi melakukan eksperimen kembali. Saat malam tahun baru dia bersama kedua anak buahnya seperti biasa berkumpul di gang ujung jalan.

"Kita harus mencoba ini," kata Edi sambil memamerkan satu strip aspirin dan sebungkus minuman berenergi. "Minuman keras saja sudah tidak dapat memuaskan kita. Kita harus mencampurnya dengan kedua bahan ini agar menemukan kepuasan yang lebih hakiki."

Kedua anak buahnya yang sedang berjongkok saling memandang. Mereka kelihatan ragu dengan percobaan Edi kali ini.

"Kalian tidak perlu ragu. Aku sudah banyak bereksperimen dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Kalian tahu sendiri hasil temuanku dengan bahan lem Aibon menghasilkan kesenangan yang tak terkira bagi kalian semua. Tidak cukupkah kompetensiku selama ini dalam melakukan percobaan?"

Kedua anak buahnya mengangguk khidmat. Itu memang masa-masa yang indah. Ketika lem Aibon dapat mendatangkan Dian Sastro!

"Nah, mungkin sekarang kita bisa mendatangkan aktris Bollywood atau supermodel dengan percobaanku kali ini."

Kemudian, mereka bertiga dengan bersemangat mencampurkan minuman keras dengan dua tablet aspirin beserta satu sachet minuman berenergi ke dalam botol masing-masing. Namun, ketika mereka telah menghabiskan campuran minuman tersebut yang datang bukanlah aktris Bollywood apalagi supermodel, yang menghampiri para preman itu tidak lain dan tidak bukan adalah malaikat kematian.

MitosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang