Chapter 19 : Mitos Penyesalan Datangnya Belakangan

795 122 123
                                    

Kau tidak bisa tidur. Meskipun tubuhmu sudah terbaring nyaman di ranjang dengan bantal empuk yang menopang kepalamu. Kau menutup mata, di dalam imajinasimu kau menghitung domba yang silih berganti melompati bulan purnama. Kau telah menghitung sampai domba keseribu hingga lelah pikiranmu melihat domba-domba itu bermunculan. Kau tetap tidak bisa tidur.

Kau mencoba untuk tertidur. Kau mengambil remote di bawah selimut tebal yang seperti malam-malam sebelumnya selalu setia menghangatkan tubuhmu. Kau menyalakan televisi, mencari-cari program yang cocok untuk menemanimu malam ini. Hingga semua gambar di layar berubah menjadi biru, matamu masih enggan untuk terpejam.

Kali ini kau mengambil sebuah novel di laci meja yang berada di samping tempat tidurmu. Kau menyalakan lampu, lalu memakai kacamata untuk membaca. Halaman demi halaman kau lahap, berlanjut ke bab selanjutnya. Kau membaca buku yang berjudul Mitos. Kau membeli novel itu karena tertarik dengan sampul depannya yang terlihat sangat unyu. Namun, kau kecewa. Isi cerita dari buku tersebut tidak unyu sama sekali. Lantas saja, kau melemparkan buku itu sampai membentur ke dinding dengan penuh emosi.

Kau kembali mematikan lampu, mencoba berusaha lebih keras lagi. Kau membayangkan hujan turun dari langit yang telah gelap gulita, rintik-rintiknya berjatuhan ke atap bergenteng merah, membuat bunyi-bunyi ritmis yang mengalun statis ke dalam telingamu. Kau harap bunyi rintik hujan itu bisa mengantarkanmu ke alam mimpi yang di dalamnya kau dapat beristirahat dengan tenang, melupakan sejenak masalah-masalah yang membelit dan mengganggu pikiran serta jiwamu; kesalahanmu, kegagalanmu, kekalahanmu, ketidakberdayaanmu, kehilanganmu, keputusasaanmu, sakit hatimu, dan penyesalan yang terus merongrongmu untuk seumur hidup.

Begitu pula denganku. Di awal-awal masuk penjara, aku kesulitan untuk dapat tidur dengan nyenyak. Bila ranjang nyaman dengan selimut hangat dan bantal empuk saja tidak bisa membantumu untuk tidur terlelap karena banyak pikiran, apalagi jika kau berada di sel penjara yang berdinding dingin, berbau busuk, dan harus tidur di ranjang reyot dengan kasur yang sudah tipis. Setiap malamnya pasti kau akan menangis.

Itulah yang sudah kualami. Ibu pasti akan kecewa di sana melihat anaknya di dalam bui karena melakukan tindak korupsi. Padahal dulu Ibu telah mendidikku untuk tidak mencuri hak orang lain meski keadaan serba kekurangan.

"Ingat Nak, semiskin-miskinnya manusia adalah orang yang tidak memiliki iman di hatinya," katanya kepadaku.

Tidak bisa tidak, sepanjang malam air mataku terus mengalir kalau teringat perkataan Ibu waktu itu. Ditambah lagi, masa depanku sudah terlihat suram. Aku tidak tahu lagi akan berbuat apa kalau sudah keluar dari penjara. Sulit untuk mendapat pekerjaan bila kau punya catatan kriminal. Hidup segan, mati pun tak mau. Istilah itu sangat cocok untuk menggambarkan keadaanku.

Namun, setelah sekian lama di dalam penjara, aku teringat dengan Nanang Kosim dan Pak Sabar. Dua orang yang selalu melihat sisi baik kehidupan walaupun kemalangan sangat betah dengan nasib mereka.

Pak Sabar yang selalu sabar setiap kali menghadapi cobaan. Entah ketika ditinggal mati istri-istrinya, harus merawat, dan membesarkan anak-anaknya sendirian. Pak Sabar selalu terlihat tegar dan tidak pernah sekalipun mengeluh.

Nanang Kosim yang selalu menjalani hari-harinya dengan ceria. Senyuman selalu mengembang di wajahnya yang pas-pasan itu. Dia juga tidak pernah sekalipun menaruh dendam kepada orang-orang yang pernah menyakiti perasaannya. Nanang Kosim malah mendoakan yang terbaik untuk mereka. Dia tetap setia dan teguh di jalan lurus kehidupan meskipun nasibnya kurang beruntung.

Aku harus meniru sikap mereka berdua. Kuremas jeruji besi sel penjara sambil menanamkan baik-baik di dalam pikiranku bahwa dunia belum berakhir. Tidak ada gunanya berlama-lama terkurung dalam penyesalan. Selama masih bernapas, hidupku akan terus berlanjut. Lebih baik aku isi dengan pikiran positif dan kegiatan yang bermanfaat.

Di sepertiga malam itu, aku langsung melaksanakan shalat taubat. Bersimpuh, bercucuran air mata, meraung-raung minta ampun agar segala dosaku dimaafkan. Memang orang-orang sepertiku harus diberi cobaan terlebih dahulu untuk diingatkan.

Aku mendapat jawaban. Hanya ada satu pekerjaan yang terpikirkan olehku dapat dilakukan semua orang meski punya catatan kriminal. Kuli bangunan. Ya, aku bertekad menjadi kuli bangunan profesional. Untuk itu setiap hari aku melakukan push up 100 kali, sit up 100 kali, dan squat jump 100 kali. Dua tahun melakukan hal itu di dalam penjara, hasilnya badanku lebih berotot, dadaku terlihat lebar dan bidang, walaupun begitu, kepalaku menjadi botak karena rambut yang sudah rontok.

Tiba hari aku bebas dari penjara. Menghirup udara kebebasan ternyata tidak semenyenangkan yang aku kira. Benar, aku masih ragu dan takut akan masa depanku sendiri. Aku sebatang kara, tidak punya kerabat ataupun sanak saudara. Tidak ada rumah untukku bernaung. Tidak ada tempat untukku kembali. Aku frustrasi, karena tidak mau tidur di kolong jembatan atau emperan toko seperti gelandangan. Saking frustrasinya, aku sempat berpikir akan mengajukan tambahan masa tahanan untuk dua tahun lagi.

Namun, aku sangat terkejut saat melihat Nanang Kosim, Pak RT, dan Juragan Kos datang untuk menjemput. Mereka bertiga sudah berdiri di luar gerbang hanya untuk menunggu seorang kriminal sepertiku. Mataku berair karena terharu.

Nanang Kosim langsung menghampiri ketika melihatku masih berdiri di depan gerbang. Dengan senyuman konyolnya (yang tidak kusangka akan sangat kurindukan) dia memberiku kotak nasi bungkus.

Nanang Kosim mendengar suara perutku yang keroncongan. Lalu dia berkata, "Makanlah, kau pasti sedang lapar, bukan?"

Aku mengangguk. Kubuka kotak itu yang ternyata isinya adalah nasi goreng ala Sabarudin yang resepnya sudah dimodifikasi oleh Nanang Kosim. Nasi goreng itu bercahaya, sempat menyilaukan mataku.

"Ayo kita pulang, Bray!" ajak Nanang Kosim kepadaku. "Mari kita pulang, dan bersama lagi."

Aku melihat Nanang Kosim yang masih tersenyum kepadaku. Tidak dapat kubendung perasaan terharu ini. Aku tidak dapat menahan air mataku lagi. kumakan nasi goreng itu dengan lahap, sambil bercucuran air mata.

MitosWhere stories live. Discover now