Chapter 8 : Mitos Hidup Memang Tidak Adil

1K 181 130
                                    

Seminggu. Nanang Kosim seminggu lagi akan menikah! Melepaskan masa lajangnya di detik-detik yang tidak terduga memang sungguh mendebarkan.   Apalagi sebelum kejadian ini Nanang Kosim sempat pasrah kalau dia akan menjadi bujang abadi. Dia akhirnya terlepas dari pertanyaan kutukan yang berbunyi, "Kapan kawin?". Dan kini Nanang Kosim bisa menjawab dengan cengengesan. "Bentar lagi kok. Seminggu lagi. Hehehe ...."

Mari pertama-pertama kita ucapkan selamat kepada teman kita tercinta ini karena dia akhirnya mendapatkan jodoh. "Selamat Nanang Kosim! Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah."

Oke, cukup. Seperti yang sudah kau ketahui pernikahan Nanang Kosim bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan. Karena pernikahan idealnya diniatkan sebagai ibadah, yang berlandaskan cinta di antara dua sejoli dengan visi membangun keluarga bahagia di dunia dan semoga di akhirat. Jadi tidak perlu terlalu heboh. Pernikahan ini tidak lebih dari usaha kamuflase untuk menutupi aib. Namun tidak bisa dipungkiri, dalam hal ini Nanang Kosim telah melakukan tindakan yang heroik.

"Kita jangan terlalu lama menunda pernikahan ini. Lebih cepat lebih baik. Kita harus segera melangsungkan pernikahannya sebelum perut Nak Ratna terlihat membuncit," usul Pak RT kepada orangtua Ratna saat itu yang disampaikan kepadaku oleh Juragan Kos.

Hasilnya, seminggu adalah waktu yang ditetapkan dan disepakati bersama, dalam sidang paripurna antara Nanang Kosim dan rombongan dengan orangtua Ratna beserta sesepuh keluarganya.

Pak RT sangat puas dengan keputusan ini. Nanang Kosim akhirnya dapat menikah juga. Bentuk dan rupa Nanang Kosim sempat membuat Pak RT pesimis. Dia sangat khawatir, kalau nasib Nanang Kosim bakal perjaka sampai masuk liang kubur.

Meskipun bukan anak kandungnya, Pak RT sudah menganggap Nanang Kosim sebagai darah dagingnya sendiri. Dia sangat menyayangi Nanang Kosim sampai mewariskan gerobak nasi goreng yang selama ini menemaninya berdagang setiap malam. Nanang Kosim dijadikannya sebagai CEO generasi kedua PT. Nasi Goreng Cap Sabarudin.

Nampaknya Nanang Kosim tidak menyiakan kasih sayang yang diberikan oleh Sabarudin. Mungkin dia tahu sejak awal Sabarudin bukanlah ayah kandungnya. Jelas, karena wajahnya tidak mirip sama sekali. Oleh karena itu, Nanang Kosim berusaha semampu mungkin untuk tidak merepotkan Sabarudin; orang yang sangat dihormatinya.

Sejak kecil Nanang Kosim sudah mulai membantu Sabarudin berjualan bubur dan nasi goreng. Dari membantu mengasuh anak-anaknya, cuci piring, sampai mencari lapak dagangan baru, Nanang Kosim selalu siap sedia untuk Sabarudin bila memerlukan bantuannya. Meskipun mereka tidak terikat hubungan darah dan tidak mirip satu sama lain dalam bentuk wajah, di mataku mereka berdua seperti ayah dan anak yang sebenarnya.

Saat aku masih berumur tujuh tahun, di suatu hari ketika hujan lebat mengguyur bumi. Aku pernah melihat Sabarudin dan Nanang Kosim kecil menari-nari dengan riang gembira di jalanan.

Aku bertanya kepada ibuku yang sedang memegang payung. "Bu, apa mereka berdua sudah gila?"

Ibuku tersenyum lembut memandang mereka. "Tidak, Nak. Justru menurut Ibu, mereka berdualah orang yang saat ini paling bahagia di dunia."

Tengah malam ini pun hujan turun dengan lebat. Nampaknya Nanang Kosim belum pulang dari berjualan nasi goreng. Gerobak yang biasanya sudah terparkir di depan kosan pukul sebelas malam masih belum terlihat. Aku berpikir mungkin dia  melipir sejenak di warung kopi sambil menunggu hujan reda.

Terdengar suara pintu dengan ketukan yang terburu-buru. Aku langsung membuka pintunya dengan segera. Juragan Kos berdiri di hadapanku dengan tubuh yang basah kuyup.

"Ada apa, Gan?" Tanyaku. "Udah tua masih main hujan-hujanan. Malu sama umur, Gan."

"Ini bukan saatnya buat bercanda, Bray," jawabnya datar. "Aku pinjam motormu. Motorku sedang di bengkel."

Aku masih bingung, tapi kupinjamkan juga kunci motorku kepada Juragan Kos karena sepertinya ada urusan penting.

Juragan Kos lalu menghidupkan mesin motor. Dia melihat ke arahku yang berdiri di mulut pintu. "Tunggu apa lagi, Bray? Ayo ikut denganku."

Aku makin bingung. Tapi kuturuti juga perintah Juragan Kos untuk ikut bersamanya.

Aku hampir terpental ke belakang ketika Juragan Kos mengendarai motorku. "Hati-hati, Gan. Cicilannya belum lunas nih!" teriakku dari belakang kemudi.

Juragan Kos diam saja atau mungkin tidak mendengar karena saat itu hujan lebat. Dia terlalu fokus melihat ke depan, tanpa memperhatikanku yang berteriak padanya.

Kami tiba di rumah sakit dengan basah kuyup. Aku mulai merasakan firasat buruk. Aku mengikuti Juragan Kos yang berjalan terburu-buru dari belakang. Di lorong, di depan pintu salah satu ruangan di rumah sakit itu, aku melihat Pak RT berdiri tertegun sambil mengepalkan tangannya.

"Gimana keadaannya, Te?" Tanya Juragan Kos dengan terengah-engah.

Pak RT menggeleng pelan sebagai jawaban.

Juragan Kos tertunduk seakan mengerti. Kemudian, dia berkata kepadaku dengan suara tercekat dan hampir tidak terdengar. "Nanang Kosim meninggal. Tadi di perjalanan pulang setelah berjualan, dia ditusuk begal."

Mendengar itu aku langsung limpung dan bersandar ke dinding. Tidak sengaja aku melihat Pak RT yang masih berdiri di sana. Kini dia menutup mata. Seketika jatuh berlutut, dan tidak lama kemudian, dia meledakan tangis.



















MitosWhere stories live. Discover now