Chapter 20 : Mitos Epilog Ada di Akhir Cerita

922 139 171
                                    

Andai.

Mari kita berandai-andai.

Seandainya, semua orang di muka bumi ini mempunyai sifat yang sama seperti Pak Sabar dan Nanang Kosim, mungkin dunia akan lebih damai. Tidak ada peperangan, kedengkian, dan dendam di hati mereka. Karena semuanya akan bahu-membahu saling membantu, mengasihi, dan saling mengayomi antar sesama.

Sayangnya, bisa dipastikan itu mustahil terwujud. Bagaimanapun, iblis dan para koleganya akan terus berusaha mengadu domba manusia sampai malaikat Israfil meniup sangkakala. Dengan berbagai wujud dan segala cara, pasukan iblis akan selalu menggoda kita agar masuk neraka bersama mereka. Apa pun akan dilakukan demi menggelincirkan manusia dari jalan kebaikan. Kesombongan, ketamakan, iri hati, kemarahan, hawa nafsu, kerakusan, dan kemalasan adalah tujuh dosa pokok yang kerap manusia lakukan bila sudah terhasut bisikan setan.

Tentu saja, sangat sulit untuk tidak tergoda oleh kenikmatan duniawi. Salah satu jebakan iblis yang paling ampuh untuk menjerumuskan manusia ke lembah dosa. Itu sudah menjadi pekerjaan dan kegiatan sehari-hari bagi iblis dan para pengikutnya. Merupakan salah kita sebagai manusia bila hati dan pikiran terhasut oleh kesesatan mereka. Meskipun begitu, sesulit apa pun, semampu mungkin kita harus berusaha tetap berada di jalan yang benar. Tidak ada yang bilang kalau perjuangan ini akan mudah.

Seperti halnya Pak Sabar. Orang yang paling terpukul atas meninggalnya Nanang Kosim. Dia mencoba untuk tegar meski harus merelakan kepergian anak angkatnya itu.

Setiap malam Pak Sabar bercerita kepadaku dan Ratna akan kenangan-kenangannya bersama Nanang Kosim. Dari bagaimana awalnya dia bertemu dengan anak itu, menjalani hari-hari ceria bersamanya, dan bagaimana lucunya Nanang Kosim ketika waktu kecil dia mengajak semua anak-anak jalanan untuk makan nasi goreng tanpa tahu kalau makanan itu harus dibayar. Meskipun, pada malam itu Pak Sabar harus merelakan dan membagikan nasi gorengnya secara gratis, dia hanya bisa tersenyum melihat tingkah lugu anak angkatnya itu.

Selama dua tahun, Pak Sabar mengisahkan hal yang sama dan terus-menerus kepada kami. Dan selama dua tahun itu pula, Pak Sabar selalu mengawali cerita dengan antusias dan mengakhirinya dengan tangisan. Terlihat sekali, dia sangat merindukan Nanang Kosim. Aku dan Ratna tidak tahu harus berbuat apa selain ikut menangis bersamanya. Hingga tiba waktunya, pada akhir tahun itu, Pak Sabar meninggal dunia.

Andai.

Sekali lagi. Mari kita berandai-andai.

Seandainya, setiap orang diberi kesempatan pergi ke masa lalu, apa yang akan mereka lakukan?

Jawaban : memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat agar tidak ada lagi penyesalan yang menghantui.

Tapi, walaupun begitu, satu hal yang pasti, orang-orang yang ingin kembali ke masa lalu adalah mereka yang tidak bahagia.

Oleh sebab itu, aku ingin bahagia. Mensyukuri apa yang sudah ada, menjalani hidup disertai cinta, menyongsong masa depan dengan doa dan harapan.

Hari demi hari pun berlalu seperti kabut yang berangsur-angsur hilang ditelan waktu. Nanang Kosim sudah tumbuh besar. Wajah tampan ayahnya sudah terlihat. Namun, tidak akan kubiarkan kelakuan Kosasih menurun kepada anak itu. Ya, benar. Aku memberikan nama Nanang Kosim untuk anak Ratna yang telah lahir lima tahun lalu. Aku menjadi suami Ratna menggantikan peran Nanang Kosim yang bermaksud menggantikan peran Kosasih. Semoga kelak ketika dewasa, Nanang Kosim junior tumbuh menjadi pemuda yang tidak hanya tampan, tetapi juga dermawan dan baik hatinya.

Bocah berumur lima tahun itu langsung berlari ke pelukanku saat menyadari kedatangan ayah palsunya yang baru pulang dari berjualan nasi goreng. Dia sengaja menungguku untuk dibacakan dongeng sebelum tidur. Katanya, aku lebih handal dalam bernarasi daripada Ratna. Ibunya itu memang kurang totalitas kalau dalam urusan dongeng-mendongeng.

Aku mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi, lalu kukecup pipinya banyak-banyak. Nanang Kosim junior tertawa geli, ketika kugelitiki perutnya yang montok dan kenyal. Kugendong dia sampai ke kamar dan kujatuhkan ke tempat tidur.

Selimut hangat menutupi tubuh kami berdua ketika aku menceritakan dongeng tentang seekor kancil yang mencuri ketimun. Sebelum bagian si kancil bertobat untuk tidak mencuri lagi, Nanang Kosim junior sudah tidur terlelap. Kukecup keningnya, lalu beranjak pergi keluar dari kamar setelah kumatikan lampunya terlebih dahulu.

Ratna sudah menungguku di ruang tamu. Dia memakai daster berwarna merah muda sedang duduk di sofa setelah membuatkanku secangkir kopi hitam di dapur. Dia tersenyum saat melihatku datang.

Aku tidak dapat menghindar lagi. Nanang Kosim junior meminta seorang adik lelaki. Setelah selama ini aku menahan sekuat tenaga untuk tidak menjamah Ratna, akhirnya pertahananku runtuh oleh permintaan lugu dari seorang bocah berumur lima tahun.

Pembaca, pembaca yang budiman ... maaf sekali, karena aku tidak dapat menarasikan kejadian selanjutnya. Terima kasih yang sebesar-besarnya karena sudah mengikuti kisah ini sampai akhir.

Akhir kata, aku Galih, undur diri dari hadapan Anda.[]

Tamat.

MitosWhere stories live. Discover now