Chapter 7 : Mitos Kemiskinan Menjadi Alasan Berbuat Kejahatan

1K 190 119
                                    

Gadis yang sudah bukan gadis itu bernama Ratna. Selisih enam belas tahun lebih muda dari umur Nanang Kosim. Bisa dikatakan gadis itu baru lahir ketika Nanang Kosim sudah masuk SMA, telah mengalami mimpi basah, sudah tumbuh rambut di ketiak dan di daerah bagian tubuh lainnya yang tidak perlu aku sebutkan. Meskipun tidak mengangkat tema yang benar-benar baru, sebagai narator yang berintegritas tinggi aku bertanggung jawab menjaga kesucian cerita ini dari kata-kata yang tidak senonoh dan kurang pantas untuk dibaca. Jadi, mohon untuk dimengerti.

Kami sepakat untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orangtua Ratna. Pak RT berusaha menenangkan Ratna bahwa semua akan baik-baik saja. Dia akan membantu menjelaskan duduk perkaranya dan menjamin orangtua Ratna akan mengerti.

"Kalau marah sih itu pasti. Tapi daripada mencari alasan ini dan itu untuk menutupi borok yang sudah terlanjur busuk, lebih baik kita jujur dari awal dan memulai kembali dengan niat yang baik. Dengan itu semoga Tuhan menerimanya dan menghapus dosa yang telah kau perbuat, Nak," kata Pak RT kepada Ratna.

"Aaamiiin," seru Juragan Kos bersemangat.

Datang seorang lelaki masuk tanpa mengetuk pintu. "Ada apa, Gan? Perasaan uang sewa kontrakan kemarin udah dibayar."

Rupanya Amin tukang cilok yang hendak berangkat berdagang merasa terpanggil oleh seruan Juragan Kos.

Juragan Kos hanya mengibaskan tangannya kepada Amin. Setelah itu Amin pun pergi dengan berteriak, "Cilok tahu, Cilok setan!" sebagai tanda kekesalannya.

Pertaruhan dimulai. Jaminan Pak RT dalam masalah ini sebetulnya tidak begitu kuat. Tidak konkret seperti sertifikat rumah atau BPKB kendaraan yang menjamin kau akan mendapatkan uang dari bank sebagai pinjaman. Jaminan Pak RT hanyalah sebatas dorongan moral dan harapan.

Kita tidak tahu sekeras apa reaksi orangtua Ratna setelah mengetahui kalau anaknya sudah tidak perawan sebelum waktunya. Bisa-bisa aku juga terkena sembur dari pelampiasan kemarahan mereka. Melihat dari situasinya, mendapat semburan kemarahan lebih baik daripada terkena lemparan golok yang melayang ke lehermu.

Aku tidak menyukai ini. Perkembangannya tidak bagus sama sekali. Jadi aku memutuskan untuk tidak ikut bersama mereka dalam usaha rekonsiliasi damai menyelematkan benih yang dikandung Ratna. Sejak awal aku berada di pihak oposisi menentang keputusan Nanang Kosim. Wanita itu tidak pantas mendapatkan kemurahan hatinya. Selama ini kehidupan Nanang Kosim sudah cukup menderita, tidak usah ditambah lagi dengan beban mengurus anak yang ditinggalkan oleh Kosasih. Nanang Kosim pantas mendapatkan jodoh yang lebih baik. Meskipun aku juga lumayan ragu kalau ada wanita yang mau menjadi jodohnya.

Nanang Kosim, Pak RT, dan Juragan Kos pergi mengantarkan Ratna ke rumah orangtuanya dengan mengemban misi "penyelamatan nama baik keluarga Ratna". Aku sampai saat ini masih tidak mengerti mengapa mereka melakukan tindakan sejauh itu. Tapi yah, kudoakan semoga beruntung. Bagaimanapun, Nanang Kosim adalah sahabatku.

Aku duduk di kursi rotan yang ada di teras sambil menunggu kabar dari mereka. Ditemani secangkir kopi hitam, kuambil koran pagi ini dengan halaman depan bertajuk "Musim Begal Telah Tiba!". Aku membaca bahwa begal semakin marak karena banyaknya pengangguran. Usaha begal lebih sulit tertangkap daripada merampok toko emas, mencuri kendaraan, apalagi dibandingkan dengan membobol mesin ATM. Resikonya lebih kecil dengan rasio keberhasilan 70 persen. Itu sebabnya begal menjadi kejahatan populer di masa sekarang.

Kuremas koran yang ada di tanganku, lalu kulempar jauh-jauh. Omong kosong apa yang tadi sudah kubaca? Pengangguran dan kemiskinan menjadi alasan orang berbuat jahat. Padahal dari dulu pun orang miskin sudah banyak. Kemiskinan tidak akan membuahkan kejahatan kalau saja para pelaku masih mempunyai iman di hatinya. Begitulah yang kudengar dari khotbah Jumat kemarin.

Tidak terasa hari sudah hampir siang. Namun rombongan Nanang Kosim masih belum juga datang membawa kabar. Aku merasa khawatir jangan-jangan mereka malah disangka komplotan yang menyebabkan Ratna bunting. Kau tahu, kan? Dari dulu orang bisa saja salah paham.

Aku mondar-mandir tidak keruan. Mulai berpikir apa yang seharusnya kulakukan. Mungkin sebaiknya aku menyusul mereka untuk mendapatkan kejelasan mengenai yang sedang terjadi sekarang. Tapi setelah dipikir lagi, tidak ada yang harus dilakukan. Mau nyusul juga aku tidak tahu rumah orangtua Ratna. Lebih baik di sini menunggu kabar sambil mendoakan mereka agar baik-baik saja.

Ternyata doaku ampuh. Setidaknya itu menurutku. Karena Nanang Kosim dan rombongan sudah tiba kembali ke komplek kosan kami yang tercinta ini. Mereka bertiga menghampiriku yang sedang berdiri di teras dengan raut wajah yang tampak tegang.

"Ada apa, Nang? Semua baik-baik saja, kan?" Tanyaku khawatir.

Nanang Kosim tertunduk. Dia hanya terdiam berdiri di depanku. Sama halnya dengan Juragan Kos dan Pak RT yang berdiri di belakang Nanang Kosim. Mereka berdua juga tidak dapat mengatakan apa-apa.

Aku sudah menduga hasilnya akan seperti ini. Masih untung mereka bertiga pulang dengan keadaan selamat, utuh tanpa ada bagian tubuh yang tertinggal.

Aku menepuk pundak Nanang Kosim untuk menyemangatinya. "Sudah, Nang, jangan dipikirkan. Ini adalah jalan yang terbaik. Kau pantas mendapatkan jodoh yang lebih baik daripada wanita itu."

Seketika Nanang Kosim melemparkan tubuhnya kepadaku. Dia memeluk tubuhku dengan erat. Nanang Kosim menangis, kemudian berkata, "Akhirnya aku menikah juga, Bray!"

Kupandangi Juragan Kos dan Pak RT yang ada di belakangnya ikut menangis. Terutama Pak RT yang terlihat sangat emosional karena anak angkatnya akan menikah juga akhirnya. Aku pun ikut terharu. Di dalam hati aku ikut senang, tapi sebagian diriku merasakan kesedihan. Ya, aku masih berkeyakinan seharusnya Nanang Kosim bisa mendapatkan jodoh yang lebih baik dari ini. Jauh lebih baik daripada wanita itu.











MitosNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ