Chapter 4 : Mitos Jodohmu Tidak Akan Pernah Datang Kalau Kau Banyak Pilih-Pilih

1.9K 238 279
                                    

Beginilah akibatnya bila kau memilih pasangan hanya dari penampilan luarnya  saja. Wanita di depan kami ini belum memperlihatkan tanda-tanda kalau dia akan berhenti menangis. Dia harus menelan kekecewaan karena memilih pasangan tampan tapi berakhlak setan seperti Kosasih. Memang, tidak semua lelaki tampan berkelakuan bejat. Contohnya aku; tampan, menawan, lucu, dan menggemaskan.

Mungkin bila suatu hari ketika itu kita tak sengaja bertemu di jalan, dengan tampang cengengesan kau akan bertanya, "Lalu kenapa kau masih tidak laku?"

Aku akan menjawab singkat. "Trauma."

"Oh ..." katamu.

"Oh ..." kataku juga.

Kemudian setelah itu akan kutendang bokongmu!

Seperti yang sudah kuceritakan, peristiwa jatuh cinta pada pandangan pertama di rumah sakit beberapa tahun lalu berdampak psikologis yang cukup besar. Aku menjadi trauma dan tidak percaya diri. Bayang-bayang kegagalan selalu menghantuiku setiap kali ingin mendekati seorang wanita. Aku terlalu takut untuk mendapatkan penolakkan kembali seperti waktu itu. Pada akhirnya aku hanya bisa memandangi wanita yang kusukai dari kejauhan; melihatnya makan di restoran dengan lelaki lain, berpegangan tangan dengan lelaki lain, berpelukan dengan lelaki lain, berciuman dengan lelaki lain, menikah dengan lelaki lain, dan menimang anaknya dengan lelaki lain. Bisa kau hitung sendiri ada berapa lelaki lain di dalam hidupnya.

Aku juga orangnya terlalu pemilih kalau menyangkut wanita yang kusukai. Aku mematok kriteria khusus untuk seorang wanita cantik. Kulit putih, mata sipit, hidung mancung, rambut panjang. Kalau dilihat dari kriterianya, itu mendekati ciri-ciri wanita dari Jepang. Ya, memang subyektif. Itulah wanita cantik menurut seleraku. Karena sepertinya otakku ini sudah tercuci oleh film-film berformat 3gp.

"Kalau terus pilih-pilih jodohmu nggak akan pernah datang, Bray!" kata Pak RT waktu itu ketika kami main gapleh bersama di Pos Ronda.

Pak RT berumur 50 tahun. Nama asli Sabarudin, asal Solo, pendidikan terakhir SMK Akuntansi, mempunyai delapan cucu, dua anak perempuan, tiga anak lelaki, sudah menikah dua kali.

Kau salah besar bila menganggap Pak RT ini adalah salah seorang lelaki yang berpoligami karena sudah kebanyakan duit. Kau juga salah bila berpikiran dia melakukan poligami. Karena Pak RT adalah seorang lelaki sejati.

Sabarudin yang kelak menjadi Pak RT sudah bosan menjadi petani. Dengan berbekal uang seadanya, Sabarudin berangkat naik bus di terminal Salatiga untuk merantau ke Bandung mencari peruntungan. Sebelum naik bus, dia mengecup kening istrinya yang mengantarnya sampai ke terminal.

"Doakan aku ya, Mah," kata Pak RT setelah mengecup kening Nanang Kosim. Nampaknya dia mencoba mereka ulang kejadian yang sudah belasan tahun berlalu.

Ternyata harapan tidak semudah yang dibayangkan, impian hanyalah sebatas angan-angan. Di Bandung, Sabarudin tidak kunjung mendapat pekerjaan meski telah susah payah menawarkan ijasah Akuntansinya. Jangankan mendapat panggilan wawancara, belum sampai di gerbang Sabarudin sudah diusir Satpam duluan.

Bekal uangnya sudah habis untuk ongkos melamar ke sana kemari. Selama di Bandung dia tidur di terminal, di halte, dan di kolong jembatan.

"Kenapa nggak numpang tidur di masjid, Te?" potongku kemudian.

"Masjid itu tempat untuk ibadah bukan tempat tidur," jawabnya dingin.

Aku merasa malu mendengar jawaban Pak RT. Aku selalu tertidur setiap kali mendengar khotbah shalat Jumat.

Di kolong jembatan Sabarudin terbangun. Sabarudin tiba-tiba teringat istri dan anaknya di kampung. Dia duduk tercenung di atas kardus yang dipunggutnya di tempat sampah. Ditemani udara dingin kota Bandung bersama bulan purnama di malam itu, Sabarudin meneteskan air mata.

MitosWhere stories live. Discover now