Chapter 9 : Mitos Penderitaan Seseorang Merupakan Kebahagiaan Bagi Sesamanya

945 171 139
                                    

Aku seorang pemuda tampan, kaya raya, dan tentu saja idaman wanita. Anak tunggal dari pasangan konglomerat dan pejabat. Uang jajanku sepuluh kali lipat lebih banyak dari UMR Bekasi. Setiap Sabtu dan Minggu liburan ke luar negeri. Eropa, Asia, Amerika, Afrika, Australia, sampai benua Antartika semua pernah aku kunjungi. Paling dekat melancong ke Singapura cuma buat beli kaos yang bertuliskan "I Love SG".

Ketika aku telah sampai di pintu gerbang sekolah, karpet merah sudah disiapkan untuk menyambut kedatanganku. Lirik lagu "~Almost paradiseeee .... nananananananana ....~" selalu diputar setiap kali aku melangkah di koridor sekolah. Para gadis berjajar di sepanjang koridor itu sambil berteriak histeris hanya untuk mendapat perhatian dariku.

Kenyataannya, itu bohong. Cuma khayalan, sebatas angan-anganku saja. Di zaman materialistis ini hampir semua hal dikenakan biaya. Pungli-pungli bertebaran di mana-mana. Orang ngamen pun sekarang sudah maksa. Jadi aku mencoba mengkhayal sebanyak mungkin mumpung masih gratis.

Nasibku tidak seberuntung itu. Jangankan gaya hidup mewah, makan nasi dengan tahu dan tempe saja sudah alhamdulillah. Sejak kecil aku tidak mengenal seorang ayah. Aku tak pernah tahu di mana rimbanya. Bisa jadi ayahku itu penganut paham garis keras Toyib-isme yang berpedoman; keluarga belakangan yang penting Abang senang.

Ibu membesarkanku seorang diri. Dia bekerja pagi sampai malam sebagai penjahit demi untuk memenuhi kebutuhan kami. Meski tubuhnya sudah rapuh, peluh keringat selalu membasahi wajahnya yang mulai keriput, ibuku tidak pernah sedikit pun mengeluh. Itu sebabnya hanya dia yang kupedulikan di dunia ini.

Ibu mempunyai adik perempuan bernama Yati. Bila di setiap keluarga ada yang berperan sebagai orang yang paling menyusahkan, bibiku ini adalah orang yang mengambil peran tersebut. Maaf, mungkin ini agak kasar. Tapi aku tidak dapat menemukan kata yang tepat selain "benalu" untuk menggambarkan jati dirinya.

Yati sudah memakai celana gemes sebelum istilah cabe-cabean populer. Bisa dibilang dia adalah salah satu pelopor yang menginspirasi wanita zaman sekarang untuk mengobral paha-paha mereka. Yati menjadi semacam Nike Ardila yang di kala itu menjadi panutan bagi gadis-gadis remaja.

Yati seorang perokok. Dia bisa menghabiskan lima bungkus rokok dalam sehari. Lebih parah lagi Yati merangkap sebagai pengangguran. Kerjaannya cuma foya-foya bersama para lelaki yang tidak jelas asal-usulnya. Timbul pertanyaan, di mana dia mendapatkan uang untuk merokok dan foya-foya?

Jawabannya adalah rentenir. Yati meminjam uang kepada mereka, lalu ibuku yang membayarnya. Hutang sudah susah payah dilunasi oleh ibuku, dia meminjam uang lebih banyak lagi. Siklus yang sama terulang dan terulang lagi. Begitu saja terus sampai aku mati dan dihidupkan kembali dengan bola Dragon Ball.

Maksudku, sampai ibu tidak sanggup lagi melunasi hutang-hutangnya. Preman-preman yang disewa rentenir datang ke kontrakan silih berganti seperti orang yang mengantre sembako. Tentu, mereka bertujuan bukan untuk silaturahmi ataupun hanya sekadar mampir untuk ngopi.

Semenjak saat itu Yati tidak pernah ada di rumah. Dia meninggalkan ibuku dengan warisan segudang hutang yang harus dibayar. Setiap hari kami harus hidup di bawah bayang-bayang ketakutan. Saat ibuku diancam akan dijebloskan ke penjara oleh para rentenir, aku yang saat itu masih kecil hanya bisa bersembunyi di bawah ranjang sambil berdoa mereka segera pergi.

Kehidupan masa kecilku bisa terbilang sulit. Ketika melihat anak-anak lain makan di restoran bersama orang tuanya sehabis pulang sekolah, aku hanya bisa menelan air liurku sendiri. Berjalan pulang dengan kepala tertunduk, berharap ada orang yang menjatuhkan uang receh.

Bila diibaratkan makanan aku hanyalah remah-remah roti yang tersisa di bungkus pelastik. Dibuang ke gerobak sampah, namun sesaat jatuh kembali ke jalan ketika petugas sampah menarik gerobaknya. Terombang-ambing di jalanan, sesekali melayang-layang tak tentu arah karena tertiup angin. Bungkus pelastik itu adalah nasibku. Remah-remah roti itu adalah aku.

Sampai suatu ketika negara api menyerang. Ah, tidak. Maksudku sampai aku dipertemukan dengan seorang anak kecil yang tinggal bersama tukang nasi goreng depan rumah. Penilaianku waktu itu seketika berubah. Aku yang remah-remah roti ini mendadak merasa menjadi Rainbow cake bila disandingkan dengan penderitaan yang telah dialaminya. Aku dan anak itu menjadi teman ketika kami saling berjabat tangan. Nama anak itu Nanang Kosim.














MitosDonde viven las historias. Descúbrelo ahora