Chapter 17 : Mitos Lintah Darat Pasti Orang Kaya

804 117 63
                                    

Ada dua syarat untuk menjadi rentenir. Satu, punya uang. Dua, daftar keanggotaan sekte kapitalis. Bawa ijazah pendidikan terakhir, fotokopi KTP, tembusan dari RT dan RW setempat, surat keterangan sehat, daftar riwayat hidup, kalau ada lampirkan juga sertifikat pelatihan kompetensi lintah darat, dan masukan semuanya itu ke dalam amplop besar berwarna cokelat yang disertai perangko. Lamaran dikirim ke alamat Perumahan Jahanam, blok Lingkar Neraka (Samping Toko Dajjal), atau bisa lewat email ke www.pengikutsetan.com. Jaga-jaga kalau ada yang sedang mencari lowongan.

Jangan sekali-kali ada niatan di hatimu untuk berurusan dengan rentenir. Lebih baik kau memilih kelaparan daripada meminjam uang pada mereka. Lintah darat telah menumbalkan hatinya sendiri pada iblis. Jadi percuma saja bila kau meminta welas asih walaupun sedikit. Mereka akan tetap mematok bunga tinggi untuk meraup keuntungan demi bersenang-senang dengan uang riba.

Di malam tahun baru ini pun, rentenir itu pasti sedang berfoya-foya dengan hasil ribanya. Rumah besar yang disulap jadi toko bahan kimia miliknya itu berada di seberang pasar. Terlihat sepi tanpa penghuni, lampu-lampunya yang dimatikan menandakan bahwa perkiraanku memang benar.

Orang-orang sedang sibuk dengan perayaan tahun barunya masing-masing. Aku memanjat pagar dan meloncatinya dengan mudah tanpa seorang pun yang melihat. Jirigen-jirigen bahan kimia tergeletak begitu saja di depan pintu garasi. Kutendang jirigen-jirigen hitam itu sampai cairan di dalamnya tumpah. Belum puas, kuambil satu jirigen lalu kusiramkan ke sekeliling halaman yang tumbuh rumput dan beberapa pohon di sana. Saat aku menghirup napas, bau-bau kimia sudah menyengat ke dalam hidungku.

Aku kembali memanjat pagar dan meloncatinya untuk keluar. Di depan pagar, aku berdiri, melihat rumah bercat putih itu untuk terakhir kalinya.

Bakar. Bakar. Bakar! Suara di dalam hatiku memberi perintah lagi.

Kunyalakan batang korek api di tanganku. Api kecil itu segera padam oleh angin malam yang tiba-tiba berembus kencang.

Bakar. Bakar. Bakar!

Aku masih ingat ketika ibuku dibentak-bentak di hadapan banyak orang karena telat membayar hutang. Lintah darat itu dengan didampingi preman-preman di belakangnya, menunjuk-nunjuk wajah ibu seperti seorang majikan memarahi budaknya.

Bakar. Bakar. Bakar!

Kucoba menyalakan lagi batang korek api yang lain. Namun batang kayu itu langsung patah.

Bakar. Bakar. Bakar!

Aku juga masih ingat saat wajah ibuku diludahi olehnya di pasar. Dia mempermalukan ibu dengan kata-katanya yang kasar. Rentenir itu memandang dengan jijik seolah kami itu kotoran di matanya.

Bakar. Bakar. Bakar!

Batang korek api yang tersisa tinggal lima.

Bakar. Bakar. Bakar!

Tidak terbilang berapa kali, ibu hampir pingsan karena kelelahan.

Bakar. Bakar. Bakar!

Tidak terbilang berapa malam, ibu tidak tidur karena menjahit seharian.

Bakar. Bakar. Bakar!

Tidak terbilang berapa kebohongan yang ibu ucapkan, ketika dia berkata kelilipan saat kupergoki dirinya sedang meneteskan air mata!

Bakar. Bakar. Bakar. Bakar. Bakar!
Bakar. Bakar. Bakar. Bakar. Bakar!
Bakar. Bakar. Bakar. Bakar. Bakar!
Bakar. Bakar. Bakar. Bakar. Bakar!
Bakar. Bakar. Bakar. Bakar. Bakar!
Bakar. Bakar. Bakar. Bakar. Bakar!
Bakar. Bakar. Bakar. Bakar. Bakar!
Bakar. Bakar. Bakar. Bakar. Bakar!
Bakar. Bakar. Bakar. Bakar. Bakar!
Bakar. Bakar. Bakar. Bakar. Bakar!

BAKAR!

Kunyalakan dengan cepat lima batang korek api yang tersisa, dan dengan sekuat tenaga kulemparkan semuanya langsung melewati pagar. Sejenak terdengar bunyi teredam di sana. Lalu seketika api langsung menyembul ke atas. Menyebar ke segala arah, melahap rumput-rumput, membakar pepohonan, menyambar kabel-kabel tiang listrik, merambat dari percikan api yang ditimbulkan kabel tersebut, kobaran api itu semakin membesar.

Mataku masih menatap kobaran api yang semakin ganas melahap rumah bertingkat itu. "Hanguslah ... bersama dengan api dendamku."

"Kebakaran! Kebakaran!" Terdengar teriakan seseorang dari kejauhan.

Kukenakan kembali tudung sweter untuk menutup kepalaku. Akan mencurigakan bila aku langsung berlari. Jadi aku berjalan dengan hati-hati dan perlahan menjauh dari lokasi.

Rentenir itu telah pelan-pelan membunuh ibuku dengan ancaman dan makiannya. Bukan salahku bila sekarang rumahnya terbakar. Aku hanya meminta keadilan. Bahkan, kalau mau hitung-hitungan, rumah terbakar tidak sebanding dengan nyawa ibuku yang telah hilang. Di sini, aku masih berbaik hati.

MitosUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum