Chapter 11 : Mitos Cantik Itu Relatif

907 164 138
                                    

Ini tidak masuk akal. Logika dari pikiranku tidak dapat menerima salah satu gadis tercantik di kelas menyatakan perasaannya kepada Nanang Kosim. Mungkin benar kata Agnes Monica cinta tak ada logika, tapi ini lebih menyerupai tujuh keajaiban dunia. Gadis itu pasti sudah kehilangan akal sehatnya, karena masih banyak yang lebih ganteng daripada Nanang Kosim. Aku, misalnya.

Mawar, salah satu murid dari tiga anggota fraksi Bunga. Dua orang lagi bernama Melati dan Anggrek. Ketiga gadis itu masuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolah karena kecantikan mereka. Orang zaman dulu bilang cantik itu relatif, tergantung selera orang yang memandang. Jadi aku tidak perlu mendeskripsikan penampilan mereka. Bayangkan saja tiga gadis cantik menurut selera kalian masing-masing.

Pembaca yang budiman, sekali lagi, sebagai narator yang ramah lingkungan, aku membebaskan kalian untuk berimajinasi setinggi mungkin. Dengan itu, semoga kalian mendapatkan faedah ketika membaca cerita ini. Amin.

Mereka bertiga kompak memakai seragam sekolah yang sepertinya kurang bahan. Baju kekecilan dipadukan dengan rok pendek di atas lutut, membuatku mempertanyakan apa sebenarnya niat dan tujuan mereka pergi ke sekolah. Aku hanya bisa berpikiran positif, mungkin gadis-gadis ini tidak dapat membedakan antara sekolah dengan diskotik.

Semua mata murid lelaki memandang dengan antusias setiap kali anggota fraksi Bunga berjalan di koridor sekolah. Oh, nafsu syahwat! Aku berusaha tidak tergoda untuk memandang mereka bertiga. Namun acap kali naluri lelaki milikku selalu memenangkan pertempuran dengan iman di hatiku. Tuhan, maafkan hambamu ini yang tidak dapat menjaga pandangan dari fatamorgana duniawi.

Tidak terkecuali Nanang Kosim. Air liurnya hampir menetes ketika Mawar memegang tangannya.

"Yuk, pulang bareng," ajak Mawar kepada Nanang Kosim.

Tangan Nanang Kosim mendadak gemetar. Seketika seluruh tubuhnya pun ikut bergetar. Dia seperti orang yang sebentar lagi akan semaput. Pasti jantungnya sedang deg-deg-ser sekarang.

Nanang Kosim dan Mawar keluar kelas dengan bergandeng tangan. Anggrek dan Melati berjalan di belakang mereka sambil tertawa cekikikan. Gadis-gadis itu tidak menyadari keberadaanku yang juga tepat berada di belakangnya. Aku bagaikan serpihan abu gosok yang kalah saing setelah adanya sabun colek. Untuk pertama kalinya di hari itu, aku merasa iri pada Nanang Kosim.

"Bray, kau pulang duluan aja. Aku mau nganter Mawar dulu," kata Nanang Kosim dengan pongahnya.

Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum kecut kepadanya. Hah, begitu hebatnya kekuatan cinta! Persahabatan yang dibangun hampir sepuluh tahun pun kalah dengan mudah oleh cinta yang baru lahir beberapa menit yang lalu. Aku merasa dikhianati kalau caranya seperti ini.

"Gak, gak, gak!" Suara burung gagak yang biasa menemani kami dalam perjalanan pulang kini terdengar seperti ejekan bagiku. Mereka seakan menertawakan kesendirian yang menggelayuti nasibku saat ini.

Dengan penuh amarah kuambil batu yang ada di pinggir jalan lalu kulemparkan ke arah burung-burung itu. Mereka membalas seranganku dengan mengeluarkan kotoran dari pantatnya. Dengan masih mengeluarkan bunyi "gakk ... gak ... gakk ...!" burung-burung itu terbang jauh meninggalkanku di belakang yang kelelahan karena berusaha mengejar mereka.

Tampang Nanang Kosim menjadi lebih berseri-seri setiap harinya. Dia berjalan dengan langkah yang ringan sambil bersiul dan berdendang di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Oh, indahnya! Hati Nanang Kosim penuh dengan bunga-bunga cinta. Penderitaan yang selama ini dialaminya seakan tergerus oleh ombak-ombak asmara.

"Pak talik pak tik pak bum, tek terek tek tok tek dess," begitulah bunyi yang selalu didendangkan Nanang Kosim kalau kau penasaran. Tidak jelas, bukan? Nanang Kosim orangnya memang tidak jelas. Kelakuannya semakin absurd setelah dia dimabuk cinta.

Istirahat makan siang Nanang Kosim dan Mawar saling suap menyuap batagor. Romantis. Ketika Nanang Kosim mengelap kecap yang tersisa di bibir Mawar dengan sapu tangannya. Padahal sapu tangan itu biasa digunakan Nanang Kosim untuk mengelap ingusnya kalau sedang pilek.

Kantin sekolah seketika berubah menjadi restoran Prancis bagi Nanang Kosim. Potongan-potongan batagor yang disuapi oleh Mawar serasa steak daging sapi yang lumer di mulut Nanang Kosim. Bisa diyakini itulah saat paling membahagiakan di dalam hidupnya. Mungkin, meskipun dia mati di hari itu juga, Nanang Kosim akan mati dengan wajah yang tersenyum.

Tidak terasa seminggu berlalu semenjak Nanang Kosim mulai memadu kasih dengan Mawar. Waktu memang akan terasa cepat bila hatimu sedang berbunga-bunga. Nanang Kosim telah membuktikan hal itu. Dia sudah mempersiapkan beberapa puisi untuk Mawar sebagai  peringatan seminggunya jalinan asmara mereka.

Namun, cukup sampai di situ. Setelah jam pelajaran terakhir telah usai, Mawar kembali berdiri di depan papan tulis. "Nanang Kosim," panggilnya dari sana. "Kita putus."

Aku terkejut mendengarnya. Kulihat Nanang Kosim yang sedari tadi berdendang sambil membereskan buku-bukunya kini terdiam. Buku-buku itu berjatuhan ke lantai. Terlihat lutut Nanang Kosim mulai gemetar. Sambaran petir di siang bolong mungkin sudah menghancurkan hatinya sampai tak tersisa saat ini.

Aku kembali memalingkan pandangan ke depan kelas. Paras cantik Mawar kini tersenyum dengan mengerikan. Aku mengerjapkan mata. Sekilas kulihat ada dua tanduk iblis di atas kepalanya.




MitosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang