Chapter 8.5 : Mitos Orang Baik Dipanggil Duluan oleh Tuhan

819 121 72
                                    

Malam telah larut ketika Nanang Kosim sudah membereskan barang dagangannya. Gerobak nasi goreng warisan Sabarudin itu didorong Nanang Kosim melewati jalanan sepi dengan penerangan lampu seadanya dari teras-teras rumah yang berjajar di sana. Gerobak yang dicat ulang dengan warna hijau itu sesekali berguncang ketika roda-rodanya masuk ke jalan yang masih berlubang. Tidak jarang, Nanang Kosim harus mengeluarkan tenaga ekstra agar gerobak yang dimaksudkan ramah lingkungan itu kembali menggelinding di jalan yang benar, ke jalan lurus yang diridhoi Tuhan.

Mungkin bagi kita perjalanan Nanang Kosim sangat berat. Setelah capek melayani konsumen-konsumen yang kadang banyak komplain karena keasinan, kepedasan, kurang kecap, sampai pelanggan rewel yang selalu minta tambah kerupuk, dia masih harus mendorong gerobaknya sejauh 10 kilometer untuk dapat berbaring di kasur kesayangannya yang bermerek "Presiden". Perjalanan ini sungguh sangat menyedihkan. Hidup memang keras bagi orang yang tidak punya uang. Yang sabar aja ya, Nang.

Untungnya Nanang Kosim selalu menjalani hidup dengan senyuman. Tidak pernah sekalipun dia mengeluh. Meski nasibnya kurang beruntung, Nanang Kosim merasa hidup ini adalah anugerah. Terlalu berharga bila hanya diisi oleh pikiran-pikiran yang negatif. Masih dikasih napas dan kesehatan pun dia sudah sangat bersyukur. Sebisa mungkin Nanang Kosim ingin bermanfaat bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

Sambil mendorong gerobak nasi gorengnya, senyuman terkembang di wajah Nanang Kosim. Setelah sekian lama, akhirnya dia akan naik ke pelaminan. Meskipun gadis yang bersanding dengannya sudah tek-dung duluan karena kelakuan Kosasih, Nanang Kosim tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dia tidak mau kalau anak yang dikandung Ratna lahir tanpa seorang ayah.

Angin malam yang berembus tidak terasa dingin di tubuh Nanang Kosim. Itu semata karena dia telah dihangatkan oleh hatinya. Nanang Kosim terus melajukan gerobaknya kira-kira dengan kecepatan 5km/jam. Jadi, menurut perkiraan, masih dua jam lagi untuk sampai ke kosan. Tapi tak apa. Nanang Kosim tidak pernah merasa keberatan.

Seiring langkahnya yang semakin ringan, Nanang Kosim membayangkan kehidupan setelah pernikahannya dengan Ratna. Dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri akan semampu mungkin membahagiakan Ratna dan membesarkan anaknya seperti buah hatinya sendiri. Bahkan, Nanang Kosim sudah memikirkan nama untuk anak yang sedang dikandung Ratna. Dia akan memberikan nama Sabarudin ketika anak itu lahir.

Setiap hari Nanang Kosim akan mengajak Sabarudin kecil bermain. Bila sudah sedikit besar, dia akan mengajak anak kecil itu pergi ke taman bermain, menonton layar tancap, minum bajigur bersama, membelikannya kembang manis, dan setiap malam Nanang Kosim akan menceritakan dongeng sebelum tidur untuk Sabarudin kecil.

"Tolong!" teriakan seorang wanita membuyarkan lamunan Nanang Kosim. Asal suara tersebut terdengar tidak jauh dari jalan yang sedang dilewatinya.

Nanang Kosim memarkirkan gerobaknya ke sisi jalan. Dia pun berlari ke arah suara yang masih meneriakan minta tolong itu. Di belokan pertama jalan tersebut, Nanang Kosim melihat seorang wanita yang sedang menaiki motor sedang ditodong oleh dua orang pemuda yang salah satunya memegang pisau.

Nanang Kosim langsung berlari dan menerjang pemuda yang sedang memegang pisau di tangannya. Dia langsung memukul wajah orang itu sampai terjatuh ke tanah, lalu menendang perut pemuda lain yang berdiri menghalangi motor si wanita.

"Kabur, cepat!" perintah Nanang Kosim kepada wanita yang memakai helm berwarna merah muda itu. Si wanita langsung menghidupkan mesin motornya dan melaju cepat sampai menghilang dari pandangan Nanang Kosim.

Sebelum sempat menghindar, kepala Nanang Kosim dihantam oleh botol minuman keras ketika berbalik ke belakang. Pecahan-pecahan botol itu terjatuh dan tersebar ke segala arah, namun ada beberapa yang menancap di ubun-ubun Nanang Kosim. Tubuhnya terhuyung ketika melihat darah mengucur dari kepalanya. Pandangan Nanang Kosim menjadi kabur, dari kekaburannya itu dia sempat melihat seorang pemuda berlari ke arahnya dan seketika merasakan pisau tajam yang dingin menusuk perutnya.

Nanang Kosim jatuh berlutut sambil memegangi pisau yang masih menancap di perutnya. Dia berbaring di tanah yang penuh dengan kerikil-kerikil dan mengembuskan napas terakhirnya di tempat itu. Tidak lama berselang, hujan turun dengan lebat mengguyur tubuh Nanang Kosim yang sudah tak bernyawa. Waktunya sudah habis. Tuhan telah memanggilnya untuk terbang ke langit.

MitosWhere stories live. Discover now