Chapter 6 : Mitos Kenikmatan Adalah Dosa

1.3K 217 233
                                    

Sabarudin mengiris bawang dengan kecepatan yang hampir tidak bisa diikuti oleh mata telanjang. Bunyi tak-tak semakin cepat terdengar dari talenan yang beradu dengan bilah pisau di tangannya. Pisau itu seperti bergerak sendiri layaknya mesin pemotong yang telah diprogram. Dalam sekejap bawang-bawang itu berubah menjadi irisan-irisan tipis. Keahlian Sabarudin dalam memotong bawang boleh disejajarkan dengan juru masak paling yahud di restoran-restoran Cina.

Dia memasukan irisan bawang itu ke wajan berukuran besar beserta lima porsi piring nasi putih yang sudah disediakan. Asap mengepul. Dengan penuh tenaga Sabarudin menggoyang-goyangkan wajannya sehingga nasi itu teraduk merata dengan minyak dan bawang. Dia lalu menaburkan bumbu rahasia ala chef Sabarudin. Bumbu itu tidak sengaja ditemukannya ketika dia bereksperimen mencampurkan rempah-rempah bersama MSG yang ada di dalam bungkus mie instan. Dengan resep itu, nasi goreng Sabarudin naik level dan mencapai tingkat tertinggi dalam kandungan kolestrol.

Malam itu pelanggan Sabarudin menjadi bertambah. Bukan karena rasanya yang enak, tapi nasi goreng Sabarudin memberikan kepuasan lebih dari itu. Rahasia di balik itu semua adalah kuantitas. Satu porsi nasi goreng Sabarudin setara dengan dua porsi piring nasi biasa. Dia tahu rata-rata pelanggannya menganut paham "Rasa itu nomor dua, yang penting perut kenyang".

Sabarudin mangkal tidak jauh dari pintu tol kota. Tempat sopir-sopir truk bermuatan besar di sana beristirahat. Para sopir itu membutuhkan energi sebelum kembali berperang melawan kelelahan dan kantuk. Nasi goreng Sabarudin merupakan salah satu jawaban untuk mengisi tenaga mereka.

Jawaban lainnya adalah Nyai. Tentu saja ini nama samaran. Sabarudin tidak akan pernah tahu nama asli Nyai. Seorang wanita yang selalu memakai kebaya dan samping batik sebagai ciri dari penampilannya. Pantat tebal dikombinasikan dengan payudara yang menyembur di balik kebayanya membuat Nyai menjadi penambah energi bagi para supir truk.

Kios kecil di belakang warung kopi di pinggir jalan menjadi tempat bagi Nyai bermain bersama para supir. Setiap malam Nyai bisa bermain dengan tiga supir truk berukuran ikan paus. Bila performanya dalam kondisi terbaik, bolehlah Nyai menambah satu supir lagi yang berukuran kelas teri. Lumayan buat tambah-tambah uang jajan.

Nyai sudah terbiasa makan nasi goreng Sabarudin setelah lelah bermain dengan sopir truk di ronde terakhir. Namun Sabarudin memberikan nasi gorengnya secara gratis kepada Nyai. Sabarudin tidak mau menerima uang dari Nyai.

Pembaca yang budiman, sebagai orang yang beradab kita pasti tahu alasan mengapa Sabarudin tidak mau menerima uang dari Nyai. Tentunya Sabarudin tidak sembarangan mendapat julukan sebagai tukang nasi goreng syariah.

Sayangnya Nyai tidak mengerti. Pernah Nyai menawarkan Sabarudin untuk bermain bersamanya atas balasan nasi goreng gratis yang selama ini dia berikan. Tapi Sabarudin menolak keras dengan cara memboikot dagangannya sendiri. Dia tidak berdagang nasi goreng selama dua bulan penuh waktu itu.

"Ih, kemana aja Si Mas baru kelihatan? Nyai kangen banget tau sama nasi gorengnya," tanya Nyai waktu itu ketika Sabarudin mulai berdagang lagi.

"Saya ngambil cuti tahunan," jawab Sabarudin berkilah.

Nyai mencubit tangan Sabarudin sebagai tanda kekesalannya.

Seiring berjalannya waktu nasib tidak berpihak kepada Nyai. Keadaan memburuk karena layanan servis darinya semakin menurun. Sebagian supir truk mengeluh Nyai sudah tidak kesat seperti dulu. Sebagian lagi menjawab no komen ketika ditanyakan hal itu. Kini para supir truk mulai mencari mangsa baru dan enggan bermain dengan Nyai meski sudah diberi diskon.

Mungkin kita menyangka keadaan Nyai tidak bisa lebih buruk dari ini. Ternyata bisa! Nyai tidak sadar kalau selama tiga bulan dia telah mengandung benih haram. Dia baru menyadari hal itu ketika perutnya mulai membuncit. Awalnya Nyai menyalahkan nasi goreng Sabarudin, tapi orang bodoh pun tidak dapat menerima logika itu. Telah dipastikan Nyai positif hamil.

Nyai bingung siapa ayah dari calon anaknya. Asep, Adang, Ujang, dan banyak lagi sederet nama supir truk lain yang perlu diperhitungkan. Nyai pun berusaha meminta pertanggung jawaban dari mereka satu per satu. Tapi sudah bisa ditebak tidak ada seorang pun yang rela menumbalkan dirinya sendiri untuk hal itu. Nyai harus menanggung risikonya sendiri.

Sabarudin merasa iba dengan apa yang terjadi kepada Nyai. Namun dia tidak bisa membantu banyak. Yang bisa Sabarudin lakukan hanyalah memberikan nasi goreng gratis. Ini bukan perkara mudah. Meski Sabarudin sudah menjadi duda dan membutuhkan seorang pendamping untuk mengurus anak-anaknya, dia yang mempunyai kebaikan hati yang tinggi pun akan pikir-pikir lagi soal urusan ini.

Pada akhirnya Nyai gulung tikar. Dia pulang kampung membawa kandungan berusia tujuh bulan. Sabarudin mengantarnya sampai ke terminal dan tidak lupa membayar ongkosnya. Sabarudin melepas kepergian Nyai dengan perih di hatinya.

Lima tahun kemudian, ketika Sabarudin sudah siap membereskan dagangannya, Nyai muncul kembali bersama anak lelaki yang setiap dua kali helaan napas mengeluarkan ingus dari hidungnya. Nyai terlihat rapuh. Keriput-keriput mulai tampak di sekitar matanya. Terlihat sekali dia telah melalui kehidupan yang sulit.

Sabarudin langsung membuatkan nasi goreng untuk mereka berdua. Anak lelaki itu memakan dengan lahap, berbeda dengan ibunya yang tidak sedikit pun menyentuh nasi goreng Sabarudin.

"Apa kau tidak enak badan, Nyai?" tanya Sabarudin khawatir.

Nyai hanya menggeleng pelan. "Hanya diare," jawabnya.

Kemudian, Nyai pergi ke toilet dan berpesan kepada Sabarudin untuk menjaga anaknya. Namun semenjak hari itu, Nyai tidak pernah kembali, dan membuat Sabarudin harus menjaga anak itu untuk seumur hidupnya.

Di malam yang dingin Sabarudin menggenggam tangan anak kecil itu dengan erat. Dia hampir meneteskan air mata ketika melihat wajah anak yang masih lugu bertanya ke mana ibunya pergi.

Alih-alih Sabarudin menjawab, "Kau tidak pernah melihat ayahmu, bukan? Akulah ayahmu, Nak. Mulai sekarang kau hidup denganku."

Anehnya anak kecil itu tidak menangis. Dia malah tersenyum kepada Sabarudin.

Hati Sabarudin terasa teriris. Nasib anak ini lebih malang daripada nasibnya sendiri.

Dengan suara tercekat dari mulutnya Sabarudin bertanya, "Siapa namamu, Nak?"

"Nanang Kosim," jawab anak kecil itu dengan masih tersenyum.

MitosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang