Chapter 18 : Mitos Uang adalah Segalanya

823 127 92
                                    

Dulu, jadi PNS itu gampang. Ibaratnya kau tinggal tunjuk tangan dan berkata, "Hai, aku ingin jadi PNS!" Dan tarraaaa ... seminggu kemudian kau sudah bisa memakai seragam cokelat khas pegawai negeri.

Itu bisa mudah dikarenakan, pertama, pada saat zaman orde baru PNS dijadikan salah satu alat untuk memperkuat birokrasi. Semakin banyak PNS semakin banyak suara pendukung dalam pemilu. Seratus persen (kalau yang nyoblos memakai otaknya) mereka akan memilih partai berlambang pohon beringin. Apabila tidak, tanggung sendiri akibatnya.

Kedua, minat masyarakat untuk menjadi PNS masih minim. Sedikit saingan, belum populer seperti sekarang. Meenn ... itu karena gajinya masih rendah. Untuk tambah-tambah, mereka harus usaha lagi mencari tempat yang basah. Para pemuda di zaman itu lebih memilih menganggur, main gitar sambil nyanyi-nyanyi tidak keruan mengganggu para tetangga (terutama anak-anak yang orangtuanya punya kontrakan) daripada capek-capek bekerja seharian menjadi PNS.

Beda dulu, lain sekarang. Menjadi PNS sudah menjadi suatu kebanggaan. Pintu hati calon mertua dipastikan terbuka lebar-lebar bagi seorang PNS yang akan datang melamar. Bahkan, impian menjadi PNS sudah ada di benak anak-anak SD zaman sekarang. Menyalip cita-cita jadi Presiden yang harus turun dari urutan ketiga, PNS hampir menyusul Dokter dan Ninja yang berada di urutan pertama dan kedua.

Aku menjadi PNS hanya dengan ijazah SMA. Karena setelah lulus sekolah, aku mesti mendapatkan pekerjaan. Aku tidak mau hidup dari belas kasihan orang lain lagi. Secepat mungkin aku ingin melunasi hutang budi kepada Pak Sabar dan Juragan Kos yang telah membantuku selama ini. Dengan terpaksa aku harus merelakan impian menjadi vokalis band ternama yang selalu digandrungi gadis-gadis remaja.

Setelah pertarunganku dengan Nanang Kosim di Gang Kematian, kami sudah tidak saling bertegur sapa. Asing satu sama lain. Aku sudah tidak peduli dan tidak mau tahu lagi apa yang sedang dilakukan Nanang Kosim. Mungkin, begitu juga sebaliknya. Dari awal sifat dan prinsip hidupku sudah berbeda dengannya. Dan sekarang persahabatan kami telah berada di jalur persimpangan. Aku dan dia telah memilih jalan yang berbeda.

Apalagi sesudah menjadi PNS, aku ditugaskan di Ibu Kota. Aku harus meninggalkan kontrakan yang penuh dengan kenangan masa kecilku itu. Kenangan, ketika setiap malam Ibu mendongengkan cerita sebelum tidur untukku. Kenangan, ketika setiap malam Nanang Kosim dan Pak Sabar datang membawakan nasi goreng karena khawatir kalau kami akan mati kelaparan. Teriring ucapan terima kasih kusampaikan untuk mereka berdua karena semenjak saat itu perutku jadi jarang kelaparan. Sebagai gantinya, mulutku menjadi sering sariawan.

Menjadi PNS yang berpenghasilan rendah, membuatku memikirkan cara bagaimana untuk mendapatkan uang tambahan. Seiring berjalannya waktu, aku menemukan celah dan terbiasa memanipulasi data.

Pembaca yang budiman, jangan pernah berpikiran, "Wow keren. Kau dapat memanipulasi data. Kau pasti genius!"

Tidak, Bung. Kau salah kalau mempunyai pikiran seperti itu. Semua orang biadab dapat melakukannya bila diberi kesempatan. Aku adalah salah seorang dari sekian banyak biadab di muka bumi ini. Kuanggap diriku beruntung karena dapat ditempatkan di posisi yang strategis untuk mendapatkan uang lebih. Namun nyatanya, sekarang aku sangat menyesali akan perbuatanku waktu itu.

Yang kulakukan cukup dengan memanipulasi data kwitansi. Dari kwitansi membeli alat tulis, mengurus tiket, sampai sewa kendaraan, kunaikkan nilai harganya agar sesuai dengan pagu anggaran. Tidak perlu menjadi ahli untuk menjalankan aksi tersebut. Yang kau butuhkan hanyalah sedikit kesempatan dan hati yang busuk untuk melakukannya. Dua hal itu saja sudah cukup.

Benar, aku telah melakukan tindak korupsi. Tepatnya, menjadi PNS tipe "gayus". Kalau urusan sindir-menyindir masyarakat Indonesia bisa menjadi sangat kreatif. Sebenarnya aku selalu ingin tertawa kalau setiap kali menyebutkan istilah itu. Namanya menjadi benar-benar tenar sekarang. Padahal orang itu masih anak bawang ketika dia baru masuk PNS. Dia masih lugu ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Sekarang kelakuannya sudah banyak gaya. Sudah tertangkap masih saja pelesiran ke Bali cuma buat nonton pertandingan tenis. Dilihat dari tubuhnya yang tidak atletis, aku bahkan ragu dia tahu tentang sistem skor dari permainan tenis itu sendiri. Sudah tidak tahu diuntung. Memangnya siapa yang mengajarkan hal tilep-menilep uang haram kepadanya? Orang biadab yang memberitahunya celah mana saja tempat yang basah? Kutanya siapa?

Punya banyak uang membuatku kalap tak tanggung-tanggung. Berfoya-foya dengan uang haram, aku membeli semua barang-barang mahal tanpa banyak pikiran. Dari jam tangan, pakaian sampai kendaraan, semuanya barang impor. Maaf-maaf saja, kulitku akan terasa gatal kalau memakai baju berbahan lokal.

Seperti yang dialami juniorku itu, aku telah dilanda penyakit narsisme stadium empat. Uang dengan mudah dapat membutakan pikiran orang-orang yang lemah imannya. Ketika berkaca di cermin, sambil memakai pakaian serba mahal dan bermerek, aku mendadak berpikiran bahwa diriku keren bukan main. Saat membayar pakaian itu dengan menggesekkan kartu kredit jenis platinum, aku merasa menjadi orang tertampan di seluruh alam semesta!

Padahal sebenarnya waktu itu mungkin aku sudah menjadi orang gila. Gila harta, gila kekayaan duniawi. Tak uruslah orang miskin dan anak-anak kecil yang terlantar di jalanan. Yang penting aku dapat mencicipi kenikmatan sebagai orang yang punya uang melimpah.

Narsistik di dalam diri semakin menjadi-jadi. Menganggap diri sendiri tampan karena banyak uang adalah suatu kesalahan yang fatal. Ketika di rumah sakit, aku dengan kepercayaan diri setinggi langit dengan bodohnya mengucapkan hal yang memalukan pada seorang perawat di sana.

Kukatakan, "Kau telah menggetarkan hatiku. Aku yakin kau adalah jodohku. Wanita yang selama ini ditakdirkan untuk berada di sampingku selamanya."

Dari gaya berpakaianku yang necis dan dinamis, yang sekali lihat mengatakan pada orang-orang bahwa aku orang yang berduit, aku yakin sekali perawat itu akan menerimaku sebagai kekasihnya. Aku berbohong saat kukatakan percaya pada mitos pandangan pertama. Sebenarnya waktu itu aku sangat percaya diri pada kekuatan uang yang dapat membeli segalanya, termasuk cinta seorang wanita.

Pada akhirnya, seperti yang kau ketahui, aku ditolak mentah-mentah. Perawat itu menjawab sudah mempunyai kekasih!

Belum habis keterguncanganku akan hati yang telah patah, lima orang berseragam polisi mencegatku ketika akan keluar dari pintu rumah sakit.

Lima polisi itu membuka jalan untuk seseorang yang memakai jaket kulit berwarna hitam. Tampangnya ramah tapi terkesan dingin. Tubuh tegapnya mengintimidasi ketika dia berdiri di hadapanku.

Lelaki berkumis itu mengulurkan sebuah surat kepadaku yang tadi dikeluarkannya dari saku jaket. Tanganku bergetar, yang sebenarnya tidak mau mengambil surat yang sekilas kulihat ada tanda cap di sana. Kubuka surat itu dan kucoba untuk membacanya.

Namun, belum satu kalimat pun terbaca olehku, lelaki itu langsung menyela, "Saudara ditangkap. Ikut kami ke kantor polisi."

Semenjak saat itu, aku hidup di dalam penjara.

Mitosحيث تعيش القصص. اكتشف الآن