Chapter 3 : Mitos Buaya Darat Berwajah Tampan

1.9K 264 241
                                    

Berbeda dengan Nanang Kosim, temanku yang lain Kosasih lebih beruntung dalam urusan percintaan. Tinggi, tampan, serta pandai bermulut manis pada setiap wanita, Kosasih menjelma menjadi pemain cinta yang handal. Dia dijuluki oleh kami sebagai Panglima Tianfeng sebelum dikutuk jadi babi.

Pembaca yang budiman, harap maklum. Ketika julukan itu disematkan kepada Kosasih, serial Kera Sakti sedang ditunggu-tunggu jadwal tayangnya.

Seperti yang sudah kau bayangkan, Kosasih merupakan pecinta wanita tapi dia memang buaya. Kelebihannya itu disalahgunakan untuk memanjakan nafsunya sendiri. Tiap minggu gonta-ganti pasangan, tiap minggu pula seorang janda menangis.

Setelah bereksperimen bertahun-tahun, mengalami pasang-surut kehidupan asmara, mencicipi segala jenis wanita, berperan dalam berbagai cerita cinta, Kosasih memilih janda sebagai tumbal nafsu liarnya. "Perawan memang lebih segar, tapi mereka bisanya cuma merepotkan. Terlalu kekanak-kanakan. Apa-apa dibayarin, apa-apa minta traktir," katanya waktu itu ketika kami sedang nongkrong di mal. "Lebih baik dengan janda. Aku selalu dimanjakan oleh mereka. Janda lebih totalitas daripada perawan."

Sungguh biadab, bukan? Kosasih memang tampan tapi kelakuannya kayak setan. Orang ini tidak pilih-pilih korbannya. Selama berlubang dan bernapas, asalkan dapat keuntungan finansial ataupun berahi, dia tidak segan untuk mengambil kesempatan.

Seorang janda menangis di depan kontrakan Kosasih sudah menjadi pemandangan biasa bagi kami. Awalnya aku juga sempat terkejut, siapa juga yang tidak merinding kalau tiba-tiba mendengar tangisan perempuan saat kau sedang tidur nyenyak.

Tiap Minggu malam, pukul 23.00 sampai 01.00 biasanya jadwal para janda menangis di sini. Rutin, kami pun kadang pasang taruhan seberapa lama mereka kuat menangis. Semakin lama durasi seorang perempuan menangis, membuktikan seberapa dalamnya luka cinta yang digoreskan oleh Kosasih. Karena seringnya hal itu terjadi, suatu saat kami malah menanyakan kepada Kosasih, kenapa tidak ada janda lagi yang menangis di depan kamar kontrakannya.

Sudah tiga minggu tidak ada lagi perempuan yang menangis di depan kamar kosnya Kosasih. Aku berpikir mungkin stok janda di kota ini sudah habis olehnya. Aku pun merasa kehilangan, tidak ada lagi bahan taruhan, tidak ada lagi nyanyian nina bobok setiap Minggu malam. Merindukan penderitaan orang lain, ternyata aku juga sama biadabnya.

Hingga suatu malam aku melihat Kosasih melamun di terasnya. Dia duduk memandang langit yang tak berbintang. Matanya sembab, seperti sudah menangis. Mungkin akhirnya dia menyesali perbuatan maksiat yang selama ini dilakukannya.

Aku menghampiri Kosasih, lalu menepuk pundaknya. "Tidak ada kata terlambat untuk bertobat, Kawan," kataku waktu itu. "Mungkin, jika sekarang juga kau pergi ke masjid dan shalat tobat di sana, siksamu di akhirat bakal dikurangi."

Kosasih menatapku dengan matanya yang masih merah. Kemudian dia memelukku sambil menangis histeris. "Sepertinya petualangan cintaku sudah berakhir. Aku telat ngangkat, Bray!" katanya waktu itu dengan menangis tersedu-sedu. "Mulai besok aku pensiun dari dunia persilatan."

Aku menepuk-nepuk punggungnya untuk memberikan semangat. "Bersabarlah, cepat atau lambat kau akan kena karmanya juga. Lebih cepat, lebih baik, Kawan!"

Kosasih memelukku semakin erat. Untuk pertama kalinya, dia menangis di depan kamar kosnya sendiri. Persis seperti tangisan para janda yang patah hati olehnya.

Setelah itu aku merasa besar kepala. Agaknya, aku sangat yakin lebih jago daripada Mario Teguh dalam soal memotivasi dan lebih lihai daripada Aa Gym dalam urusan mengajak orang lain kembali ke jalan yang benar.

Tapi semua itu salah. Pada Minggu malam berikutnya seorang janda kembali menangis di depan kamar kontrakannya Kosasih. Kosasih tampaknya tetaplah seorang berengsek. Orang yang sudah menjadi budak setan tidak akan bertobat semudah itu. Air mata di malam kemarin hanyalah air mata buaya. Aku pun mulai menyangsikan keahlianku dalam hal memotivasi dan mengajak orang lain kembali ke jalan yang benar. Tentu saja, seharusnya aku bercermin terlebih dahulu.

Daripada ambil pusing, aku dan teman-teman kembali memasang taruhan seberapa lama janda itu akan terus menangis. Kami memasang taruhan di antara satu jam sampai tiga jam lamanya. Kami terkejut pada hasil akhirnya. Tidak ada seorang pun dari kami yang menang taruhan. Janda itu menangis terus sampai pagi hari!

Kami pun manusia, punya rasa, punya hati. Maaf, tapi aku harus meminjam kata-kata dari sebuah lagu yang aku lupa judulnya. Karena itulah yang kami rasakan pada saat itu. Aku dan teman-teman sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan Kosasih. Sampai kapan dia akan gonta-ganti perempuan sedangkan aku dan Nanang Kosim masih belum dapat pasangan. Kalau situasinya terus begini, bisa-bisa aku tidak kebagian!

Kami berlima termasuk Nanang Kosim bergerak menuju kamar kontrakan Kosasih. Kami berupaya membantu janda yang sampai sekarang masih menangis untuk bertemu lelaki biadab itu. Kami sepakat tanpa adanya perjanjian, pokoknya Kosasih harus menerima ganjaran setimpal atas perbuatan yang selama ini dilakukannya.

Pintunya dikunci, kami berteriak memanggilnya. Tidak ada jawaban dari dalam, kami pun menggedor-gedor pintu dengan keras. Masih tidak ada jawaban, kami mencari Juragan Kontrakan untuk mengambil kunci duplikat. Juragan Kontrakan masih tidur, kami membangunkannya dengan paksa. Juragan Kontrakan sudah bangun, kami menceritakan apa yang sedang terjadi.

Juragan Kontrakan yang mempunyai tiga anak perempuan pun menjadi geram. Dia mengambil kunci duplikat yang menggantung di tembok, lalu bergegas menuju kamar kontrakan Kosasih. Kami berlima termasuk Nanang Kosim mengikutinya dari belakang. Setelah sampai, Juragan Kontrakan langsung membuka pintu dengan kunci duplikatnya.

Namun, kami yang sudah tidak sabar ingin menghajar Kosasih harus menelan kekecewaan. Saat pintunya terbuka, kamarnya kosong, tidak ada satu pun perabotan di dalamnya, termasuk Kosasih yang sudah menghilang. Sampai saat ini pun, tiga tahun sudah setelah kejadian itu, kami tidak pernah lagi melihat Kosasih.





















MitosOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz