[Tiga] Something in The Past

6.3K 426 2
                                    


Pernah nggak kalian ngerasain kalau dunia tuh nggak bisa kalau harus selalu dibaikin? Kadang, bertindak keras terhadap diri sendiri itu salah satu tameng untuk diri kita agar tidak tergerus ke dalam kekejaman dunia yang menyerap kita ke dalam kegundahan secara perlahan.

Mungkin, itulah prinsip hidup yang ditanamkan Asya pada dirinya sendiri. Dia sudah berkali-kali dapat omelan dan cemooh dari banyak orang, entah teman-temannya, saudara-saudaranya, atau bahkan guru-guru di sekolah karena tingkahnya yang kelewat batas ambang kenormalan untuk ukuran seorang gadis. Pernah suatu ketika Asya dijauhi temannya karena dia lebih memilih bergerumbul dengan cowok-cowok di kelasnya. Temannya yang cewek seketika menganggapnya ganjen. Itu berlangsung beberapa kali. Duh, Asya pasang tampang jutek dan bodo amat kalau gitu. Dapat omelan dari guru karena dia berteriak keras dan tertawa layaknya cowok yang nongkrong di warkop pun pernah. Selalu kalimat, "Itu tidak etis bagi seorang wanita, Asya." yang muncul. Kode etik seorang wanita tuh banyak ya? Huft.

Jujur, dia lebih nyaman sendiri atau berkumpul bersama grup cowok. Jujur saja, cowok dalam persahabatan itu sangat solid, hingga Asya mengacungi mereka seratus jempol—jempolnya minjem jempol sapi--. Asya sampai heran bagaimana cowok di sekolahnya itu bisa cepat akrab satu sama lain, bahkan tanpa tahu namanya sudah bisa bersenda gurau sampai heboh. Namun, Asya belum tahu-menahu bagaimana tabiat lelaki kalau di dalam masalah percintaan. Karena, dirinya sendiri belum pernah merasakannya, belum dapat membuktikan omongan dari teman-temannya yang cewek yang bilang kalau cowok itu brengsek, kalau nggak ya homo.

Jangankan perkataan dari temannya, dari mulut Mamanya sendiri pun Asya pernah mendengar. Mama pernah mengutuk sang Papa dengan sangat kasar di saat dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ya, tentu sebuah rumah tangga pasti diwarnai berbagai macam masalah. Sama halnya seperti keluarga Asya, yang mana kedua orangtuanya hampir mencapai kata cerai. Tamparan kasar Papa di pipi Mamanya di malam yang gelap dengan guyuran hujan deras itu masih terngiang jelas di memori Asya. Arza tidak tahu bahwa Asya menyimpan kenangan kelam itu dalam otaknya, karena saat itu Arza sedang menginap di rumah Eyang Asya.

Namun, rasa benci tidak timbul dalam hatinya kepada sang Papa. Hanya saja, dia kecewa, urung berurusan dengan tentara dan segala hal berbau cinta semenjak itu. Padahal di usia yang tidak lagi bocah ini, Asya mengerti bahwa tidak selalu Papanya menggunakan kekerasan dalam mendisiplinkan keluarga. Tetapi entah mengapa, setiap pernyataan untuk membela Papa, pemikiran baik semacam itu ditolak mentah-mentah oleh batinnya. Baginya, kekerasan kepada seseorang yang dicintai sama saja tidak menghargai orang yang dicintai. Atau bahkan, dia tidak dapat dikatakan mencintai orang tersebut.

Asya memasang tamengnya dengan sangat rapih.

***

Rayhanradika followed you

Rayhanradika liked your photo

Arza mengernyitkan dahinya sebelum tawanya meledak. Sudah mirip orang gila dia. Bagaimana tidak?

Asya bersungut-sungut kesal sekarang karena lelaki yang pernah bertandang ke rumahnya itu telah melayangkan puluhan likes ke akun instagram Asya. Melihat raut wajah Asya yang bete, Arza penasaran apa yang bisa bikin kembarannya ini mengerutkan bibir sedari tadi. Eh, ternyata penampakan Rayhan di sosmed milik sang adik yang jadi biang masalahnya.

"Ya udah kali, Dek. Dia udah mulai ngode, sih. Liat aja, cuti akhir tahun paling dia balik ke Malang trus mepet kamu sampai sukses. Hahaha!" Arza tertawa puas menggoda Asya.

"Duh, tuh mulut gue jepit juga deh. Kode-kode kodok pala lo! Gue nggak suka sama tentara. Titik." Asya langsung mengambil paksa ponselnya dari tangan Arza, "Mending juga kalau dia calon Jaksa gitu. Baru deh gue pertimbangin,"

Arza tak tahan untuk mengacak-acak rambut Asya, "Ubah dulu body shape sama mulut lo yang cerewet itu kalau mau dapat yang high level gitu. Agak ragu juga sih gue kalo Bang Rayhan mau sama lo, lucu aja kali liat foto lo kayak kuda lumping. Makanya dikasih jempol di ig sama dia,"

Asya terdiam seketika. Malas menanggapi omongan Arza. Asya pun tahu kalau tubuhnya nggak langsing atau skinny kayak definisi 'cewek cantik' pada umumnya. Dia cukup sadar diri kalau tubuhnya berisi, apalagi di bagian tertentu. Terlebih di pantat sama pipi. Asya dibikin muak sama manusia yang nggak respek sama sekali terhadap segala macam kecantikan. Seharusnya, kecantikan tuh nggak diukur dari bentuk tubuh aja. Eh... Kalau dari kelakuan juga Asya sih minus banget. Jadi, berarti dia nggak ada yang bisa dinilai cantik. Duh, ya udah deh.

Melihat Asya yang termenung setelah mendengar celetukannya, Arza memasang wajah bersalah. "Jangan ngambek, Sya. Bercanda doang elah, PMS ya lo? Sini Abang peluk biar nggak mewek abis dikatain," Arza menarik Asya ke pelukannya. Sayang banget sama adik kembarnya yang satu ini. Eits, tapi emang cuma punya saudara satu doang sih.

"Sya, lo nggak mau coba stalking Bang Rayhan gitu? Barangkali lo bisa sembuh dan naksir cowok." Arza mengelus pelan rambut Asya. Asya malah menghadiahi sebuah cubitan di paha Arza.

"Lo kira gue lesbi." Asya mendengus sebal, "Lagian ig dia sok-sokan digembok,"

Asya memang sempat membuka profil instagram Rayhan, cuma sebatas memenuhi rasa penasaran saja.

This Account is Private

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

This Account is Private

Follow to see their photos and videos.

Duerrr!

Eh, yang Asya dapati ternyata akun tersebut terkunci alis private. Asya gagal menuruti penasarannya. Enggan juga untuk mengikuti profil instagram Rayhan. Entah karena malas atau gengsi.

"Acieeee, penasaran juga 'kan lo? Dasar sok jual mahal. Mungkin udah waktunya lo ngerasain kasih sayang, Sya. Hapus ketakutan lo itu, kalau nggak dicoba, nggak bakal terbiasa. Bisa aja lo tetep jomblo sampai jadi perawan tua," kelakar Arza yang membuat Asya memalingkan pandangannya menatap lawan bicaranya.

"Lo nggak tahu, Za, gimana sengsaranya gue buat buka hati. Selalu terbayang ketakutan itu. Bukannya gue nggak mau, cuma trauma aja gue."

"Gimana gue bisa tahu? Lo nggak pernah ngasih tau gue. Coba kita saling berbagi, gue yakin beban itu nggak bakal terlalu berat buat lo, Sya. Kasihan, lo udah berat juga." Arza melawak di akhir ucapannya, masih dengan nada serius.

"Nggak bisa, Za... Yang ada gue bakal ngerusak semuanya kalau lo tau. Lo 'kan kayak ember bocor. Mulutnya nge-lossss banget." Geram Asya. "Yang jelas, gue lebih nyaman gini dulu. Nggak mengenal cinta pun gue nggak bakal mati."

Arza mencubit keras pipi tembem adiknya, "Emang sih nggak bakal mati. Yang ada mati rasa kali atau mungkin mati dalam kesepian,"

"Sok banget mulut lo, Nyet."

"Abang, Dedek! Masih aja gurau, Papanya baru datang nggak dikasih salam pula," gerutu Gibran.

Papa Asya itu sontak mencium ubun-ubun anak gadisnya, "Udah gede-gede, ya, Anak Papa. Apalagi dedek, gede banget pipinya." Gibran kemudian mengelus pipi anaknya.

"Nggak, Pa. Aku masih bayi kecil Papa, masih pengen dibeliin martabak manis yang banyak sama Papa." Asya memeluk Papanya, sambil melirik bungkusan yang sangat dia kenali sedang dibawa sang Papa. "Yeay, martabak! Makasih Papskiii."

"Asyaaaa, dasar rakus." Tegur Kila, Mama Asya. Asya tersenyum tipis, menyadari keluarganya sekarang sepenuhnya baik-baik saja. Mengapa pula bayangan malam menakutkan itu masih ada di benaknya? Dia meringis heran.

***


Would You Still Love Me The Same?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang