[XXV] For Better and For Worse

4.8K 277 33
                                    

Sepertinya Asya sudah memiliki firasat buruk perihal nyeri perutnya yang tak wajar itu. Sekarang, dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya bisa saja masuk ke kategori wanita tidak sempurna. Kata-kata mandul sedari tadi membayangi dirinya, dia meremas kuat-kuat hasil USG organ dalamnya yang terkena infeksi. Sungguh ironi, bukan USG kehamilan yang ada di genggamannya saat ini. Asya tersenyum pahit dan berjalan lunglai menuju ke bagian Farmasi untuk mengambil obat yang diresepkan dokter.
Dia sudah bulat untuk menunda pengobatan adneksitisnya hingga keberangkatan Rayhan ke IPSC untuk pelatihan pra-tugas Unamid. Ada waktu dua hari untuk berpura-pura bahwa Asya baik-baik saja, sehingga Rayhan tidak akan curiga nantinya. Membayangkan bahwa suaminya tahu jika Asya memiliki kemungkinan mandul membuatnya terpelatuk sendiri. Dia tidak ingin Rayhan kecewa, tidak untuk saat ini. Di mana pernikahan mereka sedang ada di masa yang indah.
"Makasih," ucap Asya kepada petugas Apotek yang memberinya obat. Asya pun mulai menapakkan kakinya meninggalkan rumah sakit.
"Wah, Ndis. Aku nggak sabar liat dia gede," ujar sebuah suara lelaki di lorong depan ruangan pemeriksaan kandungan. Suara bariton yang tertawa nyaring itu terdengar sangat familiar untuk telinga Asya.
Dia pun menaikkan sudut bibirnya, meringis menatap pemandangan yang mengejutkan. Rayhan, suaminya, lengkap dengan pakaian PDL loreng-loreng sedang asyik tertawa sambil mengelus perut seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Gendis? Asya masih ingat betul senyuman manis yang tertanam di wajah gadis cantik itu. Sangat menawan, pun saat ini ketika Asya melihatnya berduaan dengan suaminya.
Oh, sial, mengapa juga Rayhan harus memilih rumah sakit ini dibanding rumah sakit militer? Asya bodoh karena lupa jika suaminya tadi memberitahu bahwa akan melakukan medical check up. Hanya saja Asya tidak menyangka akan bertemu, ehm, menemukan Rayhan di rumah sakit yang sama seperti dirinya.
Tidak tahan melihat adegan memuakkan itu, Asya beranjak pergi dengan ojek pesanannya.
Hendaknya Asya ingin memaki Rayhan karena pria itu tidak menjaga perilaku dan pandangannya, tetapi tidak. Asya malah menyalahkan dirinya sendiri. Kondisi di mana dirinya bisa saja tidak diberi anak. Mandul!
Melihat pantulan figurnya di cermin pun dia muak. Asya menilai keegoisannya selama ini untuk selalu mendapat Rayhan di sisinya keterlaluan. Harusnya dia melepas Rayhan dan Gendis untuk bersama. Mungkin pemandangan yang dilihatnya saat di rumah sakit beberapa jam yang lalu adalah gambaran kebahagiaan yang dengan mudah Rayhan dapatkan saat bersama Gendis. Tanpa disadari, air mata menitik perlahan menyusuri pipi Asya. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia tak rela.
"---Sayang?"
Asya terlonjak kaget, mendapati Rayhan duduk tepat di sampingnya. "Mas, udah pulang?" dia mencium punggung tangan suaminya.
Rayhan mengernyitkan dahinya hingga alisnya bertautan, "Aku udah ngajak kamu ngomong dari tadi lho. Kayaknya kamu nggak fokus, ya? Kecapekan?" tanyanya.
Asya mengendikkan bahunya, "Hmm, nggak kok."
"Apa karena obrolan kita tempo hari? Yang aku minta kamu kerja di rumah aja? Nyuruh kamu resign itu?" raut muka Rayhan berubah menjadi bersalah.
"InsyaAllah aku bakal nurutin perintah suami, Mas. Tanpa keberatan, aku anggap itu bentuk kasih sayang Mas yang nggak mau aku terlalu capek," jawab Asya enteng. "Lagian, Mas juga masih bolehin aku bantu-bantu Tiara di butiknya 'kan?"
Rayhan mengangguk cepat. "Iya boleh, Ca. Cari kesibukan boleh, tapi jangan kecapekan kuadrat. Mas khawatir, stamina kamu nggak sebanyak dulu semenjak sakit usus buntu waktu itu," jelasnya sembari mengelus pipi Asya.
Asya menanggapinya dengan senyuman singkat.
"Ca, anterin Mas lari sore dong?"
"Ah, Mas. Maunya di rumah aja olahraganya,"
"Olahraga di rumah nanti malam aja, oke? Yuk anterin Mas aja,"
***
Sore itu, Rayhan memaksa Asya untuk mengitari lapangan batalyon sebanyak tiga kali dulu sebelum menyerah. Asya sangat membenci kediktatoran Rayhan dengan pola hidup sehatnya itu. Sekarang, Asya hanya memandangi suaminya yang melakukan push up tepat di hadapannya, tentu saja dengan kedipan untuk menggoda dirinya. Ugh, Rayhan dan sifat keganjenannya tidak akan pernah hilang.
Rayhan bangkit dan menepuk telapak tangannya cukup keras untuk memusnahkan debu-debu yang menempel di tangannya, sebelum dia menyeret Asya untuk ke suatu tempat. Tempat di mana Rayhan melakukan olahraga ringan lainnya.
"Mau kemana sih ini?" gerutu Asya, masih mengikuti langkah kaki Rayhan.
Rayhan menolehkan kepalanya melihat Asya, "Mau ngenalin pacar baru aku ke kamu, hehe."
Gleg! Asya menelan ludahnya susah payah. "Apa?" teriaknya setengah kesal, setengah lagi ingin menghantam wajah Rayhan.
Pria itu melepaskan tautan tangan mereka. Dengan santai, Rayhan menyandarkan dirinya ke salah satu tank dari sekian banyak jejeran tank yang ada di sana. "Pacarku, mulus, ya? Namanya Leopard. Kesayangan cowok-cowok di sini nih," ujarnya sambil mengelus-elus tank tersebut.
Asya mengacungkan jari telunjuknya dan menempelkannya ke dahi, "Udah gila kamu, Mas."
"Tapi Mas suka body-nya si Scorpion sih," Rayhan tertawa dan menarik tubuhnya ke atas kemudian ke bawah pada tank Scorpion, otot lengannya menonjol saat dia melakukan pull up dengan tank sebagai bar pull up-nya. "Ca, sini."
Asya mendekat malas. Tiba-tiba Rayhan meloncat tepat di hadapannya dan... cup!
Sebuah kecupan ringan hinggap di bibir tipis Asya.
"Mas! Kalau ada yang liat gimana? Ish!" rutuknya kesal menahan malu.
"Yah, gampang. Tinggal aku sembunyiin kasusnya, 'kan aku Pasiintel. Kamu lupa yang nanganin kasus pelanggaran prajurit Yonkav satu itu aku, hm?"
Asya kalah telak, mana mungkin dia memberontak. Biarkanlah Rayhan mencuri ciuman spontan darinya, toh bukan satu atau dua kali suaminya itu resek. Huft!
***
"Ca, ini bedak semua kenapa nggak dibuang aja? Ini meja penuh make up kamu semua," keluh Rayhan menatap meja rias yang penuh itu.
Asya memeluk pinggang Rayhan dari belakang dan tertawa geli, "Enak aja bedak semua. Ini semua tuh beda-beda, ada yang blush on, contour kit, highlighter, banyak tau. Dasar Mas aja yang kenalnya cuma senapan, tank, kuda doang mana tau gituan."
Rayhan membuka laci meja rias itu, mengambil benda kotak tipis dengan motif loreng-loreng hijau. "Mas punya nih apa namanya, eyeshadow." Gurau Rayhan.
Asya menatap suaminya tak percaya, masih dengan kekehan kecil di sana. "Dasar aneh. Mas kira aku nggak tau itu cat samaran buat mukanya Mas, ha?" dia mencolek cat berwarna hijau tua itu dan mengusapkannya pada pipi Rayhan.
"Awas, Mas bales, ya." Rayhan menggelitik pinggang Asya untuk merebut cat samarannya dari tangan sang istri. Kemudian tubuh Asya terhempas ke ranjang, masih dengan tangan Rayhan yang jahil.
Sayangnya, tangan Rayhan menekan bagian panggul Asya yang nyeri. Keringat mulai muncul di dahi Asya, dia menggigit bibir bagian dalamnya menahan sakit. Rayhan menangkap ekspresi kesakitan Asya itu. Dia pun panik.
"Ca? Sayang? Kamu kenapa?" Rayhan memapah tubuh Asya untuk berbaring lurus di atas tempat tidur. Tubuh Asya yang sedari tadi hangat membuat Rayhan makin curiga ada sesuatu yang tidak beres dengan kesehatan istrinya itu. "Bilang sama Mas, kamu kenapa sayang?"
Asya menggelengkan kepalanya, dia menangis terisak. "Nggak, aku nggak apa-apa!" sahutnya cukup keras. Dia menepis tangan pria yang dicintainya.
Tak habis akal, Rayhan membuka lemari dan tas Asya. Mencari sesuatu yang sekiranya disembunyikan darinya.
"Berhenti! Aku bilang berhenti!" Asya beranjak dari kasur, menghampiri Rayhan yang hampir mengobrak-abrik isi tas miliknya. Tenggorokan Asya tercekat ketika lelakinya menggenggam kertas hasil pemeriksaannya.
Rayhan menelisik secarik kertas yang berisi hasil tes darah, urin, dan USG beserta diagnosis yang tertulis. "Salphingitis? Oopharitis? Sayang, kamu... sakit adneksitis?"
Asya dengan kasar merebut kertas itu dari tangan suaminya, meremasnya dengan kuat hingga lecek. Dia pun membuangnya asal. Air matanya sudah terjun tak terkendali. Perih rasanya ketika Rayhan mengetahui semuanya.
"Puas kamu? Seneng kamu liat aku mandul gini? Nggak bisa bikin kamu bahagia! Fuck!" Asya mulai mengumpat dan menjambak rambutnya frustasi. "Sekarang apa? Kamu mau pisah sama aku? Karena aku nggak bisa hamil kayak Mbak Gendis? Nggak bisa bikin kamu sebahagia itu sama dia, ketawa sambil ngelus anak yang ada dalam rahimnya!"
Rahang Rayhan mengetat, amarahnya sudah diubun-ubun dan siap untuk diledakkan. Hanya saja, dia tak ingin memperkeruh situasi dengan menjadi orang yang juga keras. Bukan seperti itu cara kerjanya. Dia cukup kecewa dengan Asya yang tidak memercayainya, bahwa dia akan menemani Asya dalam kondisi apapun. Rayhan merasa terkhianati. Pun bodoh, karena telah membuat sang istri menanggung kesedihan sendiri.
"Mas nggak sehina itu, ninggal istri yang lagi sakit. Atau cuma gunain istri buat bikin anak doang. Kamu gila mikir Mas serendah itu? Dengan nikahin kamu, itu artinya Mas, suami kamu ini, bersedia nemenin kamu walau kondisi kamu terpuruk!" sahut Rayhan setengah tercekik dengan suaranya sendiri. Dia mengusap wajahnya kasar, tidak tega melihat istrinya yang ambruk di atas lantai dengan mendekap dirinya dan menangis sesenggukan itu.
Lelaki itu pun merengkuh wanita miliknya, menarik istrinya dalam dekapannya hingga tenang. "Asya nggak bisa bikin Mas bahagia. Maafin Asya, Mas. Maaf..." lirih Asya.
Hati Rayhan bak tercabik, hancur, mendengar rintihan sendu wanita yang disayanginya. Dia pun menitikkan air mata dan mengecup berkali-kali puncak kepala Asya, mencoba menenangkannya. "Itu artinya, Aca belum kenal Mas dengan baik," Asya mendongakkan kepalanya, mengedipkan matanya bingung. "Bahagianya Mas kalau lihat perempuan di pelukan Mas ini senyum. Bahagianya Mas itu kalau lagi bareng sama istrinya Mas, Asya yang bawel."
Asya memeluk erat pinggang Rayhan, menumpahkan tangisnya malam itu untuk menghapus kesedihannya. Kinipun Asya tahu, tidak seharusnya dia meragukan Rayhan. Sebab Rayhan yang selama ini dia kenal, tidak akan menyerah untuknya. Pun untuk cinta mereka.
***

 ***

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

***

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.


***

Would You Still Love Me The Same?Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ