[Lima Belas] Sebuah Teka-Teki!

4.1K 283 11
                                    


Asya lupa kalau rumah Eyangnya ini satu deret dengan rumah sesepuh keluarga Rayhan. Sepertinya Yang Kuasa tak ingin Asya untuk melupakan mantan yang sekarang menjadi temannya itu. Namun, bukan Rayhan yang kini dia permasalahkan, tetapi Gendis. Wanita berambut hitam legam dengan poni yang menambah kesan manis dan ayu di wajahnya itu sekarang ada di pelataran rumah Eyang Asya. Asya, yang masih ada di rumah Eyangnya pun menyambut kedatangan tamu tak terduga tersebut.

Asya tersenyum kikuk, "Mau masuk ke dalam, Mbak?" tawarnya sopan.

Gendis hanya menggerakkan tangannya, membuat gestur menolak dengan menggelengkan kepala pula. "Nggak usah. Ini cuma mau ngantar undangan. Kamu juga datang, ya," ujarnya melempar senyum tipis pada Asya.

Tunggu dulu, undangan? Apa mungkin Mbak Gendis dan Mas Re? Asya menerka-nerka. Dia pun membalas senyum Gendis dan mempersilakan sang tamu untuk berpamitan.

Tangan Asya bergetar memegang undangan dengan dominasi warna peach itu. Kiranya berjuta tanya ada dalam otak Asya kali ini. Dia menggigit bibir bawah, gugup.

"Rakyan Gendis... Lettu Inf Bayu..." gumam Asya seperti mengeja huruf. Matanya berubah berkilat cerah.

Dia menyimpulkan apa yang dikatakan Rayhan tempo hari tentang kesepakatan dengan Gendis adalah suatu kebenaran. Bukan lagi omong kosong yang ditelan Asya beberapa tahun terakhir. Beban di hatinya seakan tercuil separuh. Sedikit lega ketika mendapati gadis yang menjadi momok dalam hubungannya dengan Rayhan itu sudah dipersunting oleh Bayu. Asya harap pernikahan mereka benar atas dasar cinta bukan keterpaksaan belaka.

Asya sedikit berlari menuju ke ruang keluarga, dia menyerahkan undangan pernikahan Gendis kepada Eyang Putrinya. Kila langsung ikut menengok memenuhi rasa penasarannya.

"Ini kok pada nikah semua, si Embul belum ini gimana toh," cetus Eyang Putri menyindir Asya.

Asya mengernyitkan dahinya, meringis karena ucapan Eyangnya itu menyentilnya. "Sama siapa Yangtiiii? Asya belum kerja juga. Beda sama Mbak Gendis, bisnis butiknya sukses gitu," ucapnya membela diri. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa, tepat di sebelah sang Papa. "Nanti Papa kangen Asya diambil orang,"

Gibran menjitak jidat putrinya gemas. "Siapa yang mau ngambil kamu? Rayhan aja kamu bikin kabur gitu," cerocosnya. Sorotan tajam dari Kila langsung membuat Gibran mengunci mulutnya.

"Paps, anaknya patah hati malah diejekkin. Ntar beneran nggak mau nikah jadi perawan tua 'kan bahaya juga," kilah sang Mama. Dia mengedipkan beberapa kali matanya ke arah Gibran. Asya tidak mengerti juga apa maksud kode-kodean antara kedua orangtuanya itu.

"Patah hati apa sih, Ma..." Asya mulai merengek, menggelayuti tubuh Kila. "Lagian Asya sama Mas Rayhan sekarang temenan. Nggak ada lagi sakit hati gitu-gitu. Udah gede," bangganya seolah dirinya memang layak disebut wanita dewasa. Asya terkikik geli.

Arza ikut menyerobot obrolan tersebut. "Gede apaan, putus masalah salah paham ecek-ecek aja nangis. Basi!"

Bluk! Bantal sofa mendarat tepat di wajah Arza, ulah siapa lagi kalau bukan Asya yang sudah geram dengan mulut kembarannya. Kalau sudah menganga, mulut Arza itu sangat berbisa. "Kurangin dikit lah ceriwisnya mulutnya Bang Aja. Bisa-bisa dibunuh anggotamu, digantung pula. Komandannya kayak gini, ngeselin kuadrat," Asya manyun.

"Apalah diriku jika dibandingkan Bang Rayhan yang bikin Saudari Asya Sapi Gembul susah move on," cetus Arza kemudian. Asya langsung menyipitkan matanya, menelisik dengan kejam ke arah kembarannya.

Asya menghela napas pasrah. "Emang si Kampret,"

***

Sorot mata bahagia itu membuat Asya ikut bersemi, ternyata Gendis benar-benar bahagia dengan pernikahannya. Asya dibuat iri karena tatapan Bayu yang penuh cinta kepada Gendis itu tak ada hentinya. Gendis juga bersilauan bahagia ketika tradisi upacara pedang pora usai. Asya mendengarkan pidato yang dibuat Gendis untuk sang suami, Bayu. Di sana Gendis membaca pidatonya dengan tangis gembira, karena Bayu yang rela menunggunya selama bertahun-tahun tak mudah menyerah akan dirinya.

Would You Still Love Me The Same?Where stories live. Discover now