[Delapan] Perasaan Apa Ini?

5.3K 320 8
                                    

Bubur ayam memang paling sedap kalau disantap sebagai menu sarapan. Ditemani teh hangat, lengkap sudah untuk menemani Asya melawan dinginnya Malang. Rayhan tersenyum tipis melihat Asya yang seperti anak kecil, caranya makan yang menyisakan bubur di tepi mulut membuatnya tak tahan ingin mengusap bibir gadis di hadapannya. Kemudian, tangannya memberikan tisu pada Asya.

"Buat apa? Nggak nangis kok aku," ucap Asya masih dengan keadaan mulut yang mengunyah. Cakue di bubur ayam enak banget. Asya paling senang makan, lebih-lebih kalau ditraktir gini.

Rayhan tersenyum menyadari Asya yang menggunakan 'aku' dan kadang 'Asya' untuk merujuk ke dirinya sendiri. Terdengar sangat manis bagi Rayhan. "Mulut Asya belepotan tuh, macam balita lagi makan," ujar Rayhan sambil mengulurkan tisu ke telapak tangan Asya.

Malu kebiasaan buruknya saat makan diketahui orang selain keluarganya, Asya langsung mengambil tisu dari tangan Rayhan untuk diusapkannya di mulut. Terbongkar sudah satu aibnya di depan Rayhan. Eh? Kok dia khawatir sekali akan kebiasaan buruknya yang dapat mengganggu kenyamanan orang? Bukannya dia tidak pedulian akan pemikiran orang lain? Asya heran mengapa pemikiran takut Rayhan melihat aib-aibnya sempat terlintas.

Asya takut hatinya yang selama ini tertutup pada akhirnya dirampas oleh pria di hadapannya ini. Lelaki yang sedang meneguk teh tawar itu sama sekali bukan tipenya. Apalagi ketika tahu bahwa dia calon tentara. Asya muak dikelilingi dengan orang yang berprofesi sebagai robot negara. Tapi apa ini? Seakan takdir mempermainkannya, dia selalu berhadapan dengan tentara lagi, dan lagi. Pertama sang Papa, kemudian Arza, dan juga Rayhan. Mau melepas diri ke keluarga lain saja rasanya.

"Saya antar pulang, Sya. Naik motor," ajak Rayhan setelah mereka menyudahi sarapan. Walau sebenarnya, hanya Asya yang bersantap pagi.

Asya menggelengkan kepala, menolak ajakan Rayhan. "Nggak usah repot-repot. Bisa jalan kaki, deket. Mending situ pulang. Belum makan juga, 'kan?"

Rayhan menyentuh pundak Asya sepersekian detik, "Ya sudah. Pulang dulu, ya. Jumpa lagi nanti sore."

Tubuh Asya menegang karena sentuhan di pundaknya. Dia mengangguk kikuk mempersilakan Rayhan pergi. Asya mengusap wajahnya, menyadarkan dirinya untuk kembali ke kesadaran.

"Ingat, Sya. Buaya darat punya seribu satu cara untuk memperdaya wanita." Peringatnya pada diri sendiri.

***

Asya selalu dibuat heran dengan pelatihnya, Mas Jeje, yang keras dan disiplin dalam melatih, tetapi juga dapat melunak dan kalem saat menyuntikkan dukungan kepada anak-anak didiknya. Mas Jeje dikenal sebagai pelatih debat yang membangun interest muridnya, dengan dukungan tiada henti. Makanya, Mas Jeje kerapkali menjadi juri ataupun pelatih debat bagi debaters pemula, yang masih sering takut untuk bersuara di dunia debat. Namun, saat melatih tim yang sudah naik turun di dunia perdebatan, dia tidak akan segan untuk menaikkan suaranya karena kami malas datang untuk latihan ataupun melupakan tugas darinya. Mungkin karena konsistennya itu, anak didiknya sering mendapatkan penghargaan yang sepadan dengan kerja kerasnya.

Mas Jeje berlagak suportif sekarang, dengan gestur badan menyemangati kami. "Jangan pernah anggap suatu amanat itu sebagai beban. Anggaplah sebagai anugerah, jadi enteng ngelakuinnya," ucapnya dengan menoleh ke arah Asya di akhir kalimat.

Menduduk malu, Asya yang ketahuan mengeluh karena dapat motion susah itu langsung disemprot oleh omelan Jeje. Marco yang duduk di pojok ruangan hanya bisa tertawa.

"Waktu case building dua puluh menit. Dilarang tawar-menawar," kata Marco dengan menekan stopwatch di ponselnya.

Asya langsung duduk di kursi dan mulai menuliskan motion yang akan didiskusikan. Dia akan jadi tim Government, atau istilah umumnya sisi positif. Sedangkan tim Rayhan, akan menjadi tim Opposition, atau sisi negatif.

Would You Still Love Me The Same?Where stories live. Discover now