[XXIV] Bitter, sweet...

4.3K 284 12
                                    

Saatnya kembali ke dunia nyata, di mana Asya berkutat dengan berkas laporan bulanannya di kantor, mengikuti giat Persit, dan melayani Rayhan sebaik-baiknya sebelum suaminya berangkat untuk ke pelatihan pra-tugas Kontingen Garuda. Oh, Asya dan Rayhan sekarang menghuni asrama dengan nuansa serba hijau, seperti asrama TNI AD pada umumnya. Untungnya, dengan jabatan Pasintelnya itu, Rayhan mendapat jatah rumah yang cukup lebar dan bertempat di deret pojok asrama. Di depan rumahnya terdapat hamparan rerumputan hijau yang dijadikan Rayhan kebun seadanya. Tak lupa Asya membeli kaktus hias kesukaannya, karena dia bukan tipikal wanita yang senang ribet mengurus tanaman. Ehe, peace out!
Penyambutan anggota baru Persit menegangkan bagi Asya, sebab baik Ibu kandung dan Ibu mertuanya enggan memberitahukan rincian pengalaman hari pertama bergabung dengan Persit. Harus Asya akui, dirinya cukup minder dengan para istri prajurit Yonkav 1 yang cantik-cantik serta awet muda.
Setelah sambutan dari istri Wadanyon, yang mewakili Bu Danyon yang absen, satu persatu anggota baru dipersilakan untuk mengenalkan diri masing-masing. Saat tiba giliran Asya, dia gugup bukan main. Tangannya bertautan dan bergerak resah.
“E----Ehm. Assalamualaikum, selamat pagi, Ibu-Ibu. Terimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk saya memperkenalkan diri,” ucap Asya. Senyum tipis mulai sambut dalam wajahnya, “Nama saya, Asya Shakila Gibran, yang Alhamdulillah sekarang jadi istri sah dari Kapten Kav Rayhan,” lanjutnya malu-malu.
Ibu-ibu dalam ruangan pun menyorakinya dengan senyum-senyum.
“Alhamdulillah, ya, Ibu-ibu. Persetujuan administrasi nanti nggak belibet seperti dulu, yang mana jabatan istri Dankinya Pak Rayhan kosong. Sekarang alhamdulillah, istri Pasi lengkap semua,” gurau Ninda, istri Pasiops Tedi.
Asya mengangguk pelan, “Maaf, Ibu-ibu kerepotan karena Mas Rayhan, hehe..” guraunya.
Istri Wadanyon Ade, Citra, menyalami satu persatu anggota baru dan merangkulnya dengan hangat. Beliau tidak henti-hentinya memberitahukan bahwa kami semua adalah keluarga yang akan memomong dan membantu satu sama lain. Karena bagi seorang istri prajurit, butuh teman yang ada di sekitar kita jikalau suami pergi tuk menunaikan tugasnya.
“Yuk, kita makan dulu nasi kuningnya,” ajak Citra kepada anggotanya.
Asya bergandengan dengan Gita, istri dari Danton Fikri, yang juga merupakan adik letting terdekat Rayhan. Asya dan Gita juga sudah mulai akrab, saling berbagi cerita satu sama lain. Hmm.. Kiranya hari ini tidak seburuk yang dipikirkannya. Meski ada tembok yang menghalangi para ibu-ibu ini, yaitu berupa pangkat dan jabatan suami, tetapi masih ada yang menghubungkan mereka. Nasib dalam mengabdi kepada seorang prajurit.
Gita menepuk lengan Asya, “Mbak? Mau langsung balik ke asrama? Nggak mau nengok Mas Rayhan dulu? Toh, masih pagi,” herannya.
Asya mengendikkan bahu, “Mau langsung pulang aja, deh. Belum masak juga buat si Abang,” cengirnya. Dia pun melambaikan tangan ke arah Gita dan berjalan menuju ke asrama. Saatnya berkutat dengan dapur!
***
“Aduh! Loncat kemana-mana, aw!” keluh Asya yang sedang menggoreng ikan gurame. Dia mulai mengutuk minyak panas yang terciprat ke kulitnya.
Berkali-kali dia berkutat di dapur, belajar memasak, semua untuk menjadi istri yang baik bagi Rayhan. Tak sungkan dia bertanya ke Bunda, mertuanya, masakan apa yang Rayhan sukai dan minta diajari memasak. Namun, hanya sesekali Asya memasak makanan berat, sebab Rayhan sedang membentuk badannya, seringkali dia hanya memakan sayur serta makanan berserat. Asya? Oh, sialnya dia juga ikut terseret ke dalam pola hidup sehat ala Rayhan itu. Jadi, hari ini disebut hari ‘curang’. Satu hari dalam satu minggu yang dipilih Rayhan untuk memakan makanan berkalori tinggi dan ‘tidak sehat’. Jadi, Asya akan memanfaatkan hari ini sebaik-baiknya!
Tahu tempe bacem, tumis daun singkong, gurame goreng, dan sambal bawang. Selesai! Sederhana tapi dibuat sepenuh hati untuk suami kesayangan Asya. Hidangan spesial untuk Rayhan sedang dalam proses!
Ketukan pintu dan suara suaminya terdengar cukup keras membuat Asya berlarian menyusul Rayhan dengan semangat. Dia pun membuka pintu dan memeluk suaminya cukup erat.
Babe... Masuk dulu, yuk. Nggak enak dilihat orang,” tutur Rayhan seraya melepas lengan Asya yang mengitari pinggangnya. Asya hanya nyengir karena malu. Rasanya ingin selalu berdekatan dengan suaminya sebelum ditinggal tugas ke luar negeri. Tiap jam, menit, detik, rasa rindu terhadap Rayhan semakin besar. Ewh, said by a lovey-dovey couple.
“Aku udah siapin makan siangnya, Mas. Balik lagi atau gimana nanti?” tanya Asya mengekori Rayhan yang mengganti seragam PDH-nya dengan kaos rumah.
Rayhan menggelengkan kepalanya, “Komandan suruh aku istirahat dulu. Alhamdulillah aku nggak ikut latihan Tontangkas, alasannya biar aku ada waktu nyiapin keberangkatan ke Sudan.” Asya mengangguk-anggukan kepalanya, senang karena ada waktu lebih untuk berduaan dengan suaminya
Pria itu menarik kursi di ruang makan dan mencolek sambal bawang buatan Asya. “Hmm, enak, Ca. Coba kasih garam dikit lagi, tambah mantap. Pinter sekarang kamu, ya.” Puji Rayhan sembari mengelus rambut istrinya.
Asya bersorak, “Yes!” Dia melepas ikat rambutnya dan membiarkan rambutnya terurai, menyisihkan rambutnya ke satu bagian lekukan lehernya. “Mas abisin ya makannya, abis ini ‘kan lowong waktunya. Yuk,” dia pun memamerkan lingerie model gaun malam berwarna turqoise dan hiasan renda hitam di bagian dadanya.
Ha! Rayhan hampir saja menyemburkan air minumnya melihat tingkah Asya yang tidak terduga itu. Asya yang dia tahu adalah polos dan pasif. Sekarang? Oh sial! Ingatkan Rayhan untuk tidak meracuni otak wanitanya dengan hal iya-iya. Ternyata, virus kotor itu bergerak lebih mengerikan dari apa yang dipikirkan oleh Rayhan. “Ca, ini kamu?” tanyanya meyakinkan, berkali-kali berkedip menelusuri figur mulus istrinya. Dia menelan ludah susah payah.
Asya berkedip, “Masa iya ada setan secantik aku. Gih, cepet! Aku udah nggak sabar,”
Sang suami gagap menanggapi desakan wanitanya sendiri, “Si—siap, laksanakan, Babe...”
***
“Tadi ngapain di kantor?” Asya sibuk mengunyah roti gandum, pandangannya lurus tertuju pada layar tv yang ada di dalam kamarnya.
Rayhan mendekap istrinya semakin erat, mengelus pundaknya berkali-kali. “Gitu-gitu aja. Aku lupa bilang kayaknya, aku dapet arisan.”
Asya bangkit dari tidurnya dan memukul lengan Rayhan, “Kok nggak bilang dari tadi sih, Mas? Tau gitu kita jalan-jalan ke mana gitu. Malah seharian di rumah nge-gabut gini sampai malem. Ish,” rutuknya sebal.
“Namanya orang lupa, Ca.” Sahut Rayhan tidak mau ambil pusing.
Wanita itu pun mendengus kesal, “Iya deh,” pasrahnya kembali bersandar ke dada Rayhan. “Sayang, tadi itu sakit banget, deh.”
“Tadi apa?” Rayhan menoleh ke arah Asya, menanyakan keambiguan dari ucapan perempuan itu.
“Enaena, hari ini kerasa sakit banget, deh. Sampek nyeri gitu di perut, apa karena mau bulananku ya?”
Rayhan mengendikkan bahu, “Mana aku ngerti gituan, Ca. Apa nggak periksa ke dokter aja?” sarannya.
“Nggak usah deh kayaknya. Malu dong,” Asya menundukkan kepalanya. “Waktu ditanya masa aku bilangnya, sakit karena aset suami aku prima banget. Ih, ‘kan aneh.”
Cubitan kecil dilayangkan Rayhan ke hidung istrinya yang mulai bicara melantur, “Jangan dong. Nanti dokternya penasaran sama Mas, malah gawat.”
Keduanya terbahak karena gurauan yang dilontarkan pada malam hari itu. Tidak menghiraukan ramainya rintik hujan yang turun di luar sana, dinginnya malam itu seperti bukan hal yang akan mengusik kehangatan yang mereka buat sendiri. Asya ingin terus seperti ini, bersama Rayhan, selamanya. Juga dengan anak-anak yang mengisi kekosongan dalam rumah tangganya.
***
Asya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, air mata itu meluncur begitu saja dengan lancangnya. Dia bingung harus berbuat apa saat ini. Sudah jelas penjelasan dokter spesialis kandungan di depannya bahwa ada yang bermasalah dalam rahimnya.
“Adnexitis, Dok? Saya yakin kalau saya nggak pernah melakukan seks bebas dan gaya hidup saya tergolong bersih,” sahutnya menanggapi diagnosa dokter di hadapannya.
“Begini, Ibu. Radang jaringan adnexa, penyababnya tidak bisa diketahui secara pasti. Bakteri bisa datang darimana saja. Untuk lebih lanjut, saya lebih menyarankan Ibu untuk rawat inap. Jadi, pengobatannya bisa dilakukan lebih awal sebelum kambuh-kambuhan.”
Asya tampak ragu, “Apa saya akan mandul, Dok?”
Dokter dengan garis wajah lembut itu membenarkan posisi hijabnya, dia pun mengulas senyum. “Percaya, Bu, pada Allah. Infertilitas bagi penderita adnexitis sekitar 20% memang. Tapi, dengan doa Ibu, bisa saja Ibu masuk ke dalam orang beruntung yang tidak masuk dalam daftar 20%,” tuturnya.
Meski dengan penjelasan itu, Asya masih terlihat pucat dan pusing dengan fakta yang baru saja menohoknya dengan sangat keras.

Would You Still Love Me The Same?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang