7

133K 12.9K 395
                                    

Sore ini Arlita menemani Kakaknya bermain basket di halaman belakang rumah.

"Dek, nanti mau liburan kemana?" tanya Rio, tangannya masih fokus mendribble bola basket, dia sama sekali tidak mengijinkan Arlita untuk mengambil alih bola tersebut dari tangannya.

"Aku ingin ke Lombok, Kak. Kira-kira Mama sama Papa ngijinin nggak yah?"

Rio melemparkan bola ke arah ring, dan lemparannya berhasil masuk membuat Arlita sebal.

"Kak ngalah dikit dong, masa dari tadi Kakak terus yang masukkin," gerutunya.

Rio menepuk-nepuk pucuk kepala Arlita, "Salah sendiri kamu nggak bisa rebut bolannya dari Kakak."

Tanpa Arlita dan Rio sadari Revan sudah duduk manis di atas bale. Matanya memperhatikan permainan Arlita. Ini bukan kali pertama dia melihat Arlita main basket, beberapa bulan yang lalu saat dia pertama kali mengunjungi rumah Arlita untuk belajar bersama dalam rangka mempersiapkan UTS dia pun melihat Arlita yang sedang asik main basket dengan Kakaknya. Jujur, awalnya Revan rada risih saat melihat kostum yang Arlita gunakan saat main basket. Arlita main basket seperti orang yang mau ikut pengajian. Dia masih tetap setia memakai baju kurungnya dan khimar bermodel simple. Namun pakaian yang dia kenakan tidak membuatnya kesulitan untuk bermain dengan lincah. Dia sama sekali tidak takut keserimpet padahal baju kurungnya menyapu lapangan.

"Baju lo panjang bener. Lantai lo nggak usah disapu. Udah bersih karena kesapu secara otomatis sama baju Lo," ledek Revan saat pertama kali melihat Arlita menggunakan baju kurung (Ghamis) yang panjangnya hingga menyapu lantai.

"Bagus dong kalau gitu. Si Mama jadi nggak usah nyapu lantai," timpal Arlita seraya meletakkan dua gelas air es yang sudah dicampur sirup marjan rasa Melon.

Revan tidak menyangka kalau persahabatnnya dengan Arlita semakin erat. Apalagi ketika mereka berdua sudah naik di kelas XI dan mendapatkan kelas yang sama. Namun sekarang mereka sudah tidak sebangku lagi.

Revan yang tengah melamun terperangah kaget saat tiba-tiba ada bola basket yang hampir saja melayang ke kepalanya, Untung saja dia cepat sadar hingga mampu menangkap bola basket itu sebelum menghantam kepalanya. Dia langsung menatap Arlita dan Rio bergantian, mencari tersangka yang sudah berniat mencelakainya dengan bola basket. Lagi-lagi matanya terfokus kepada Arlita yang tengah manahan tawa.

Revan beranjak dari bale, lantas menderibble bola basket sambil berjalan menuju Arlita yang berdiri tepat di bawah ring, sedangkan Rio memilih untuk berjalan ke arah bale untuk beristirahat. Satu jam bermain bersama adiknya cukup menguras tanaganya.

Revan terus berjalan sambil mendribble, dia tersenyum manis pada Arlita, namun diabaikan oleh Arlita yang malah menatap ke arah Kakaknya yang sedang meneguk air putih yang memang sudah tersedia di atas bale. Baru saja dia ingin menghampiri Kakaknya, tiba-tiba Revan melemparkan bola basket ke arah keningnya. Tidak kencang namun berhasil membuatnya kaget.

"Aduh kelepasan," gumam Revan sambil tersenyum polos.

Arlita memberengut kesal. Dia melotot pada Revan seraya menepuk-nepuk kepalanya yang terkena lemparan bola basket, "Kak, Revan sadis masa kepala aku dilempari bola sama dia!" adunya pada Rio.

"Salah sendiri, tadi kamu yang duluan niat ngelemparin bola ke kepala Revan. Jadi kalau Revan mau balas kamu yah adil," jawaban Rio sungguh mengecewakan Arlita. Bukannya membela dirinya Kakaknya malah membela Revan, "Oh iya, Van. Gimana rekomendasi gue? Apa udah lo datengin?" tanya Rio pada Revan yang malah asik memasukkan bola ke dalam ring.

"Kayanya gue nggak cocok. Penjelasan dia terlalu rumit buat gue mengerti. Lebih bagusan cara ngejelasin lo sama Arlita," jawab Revan tanpa mengalihkan padangannya dari ring yang menjadi titik fokus perhatiannya.

HUJAN | ENDWhere stories live. Discover now