20

112K 12.1K 1.1K
                                    

Revan meletakkan kantong kertas berisi dua bakpao isi kacang ijo dan segelas es dawet di atas meja Arlita.

"Makan Arl."

Arlita diam. Tidak menyambut pemberian Revan dengan suka cita padahal biasanya bila Revan membelikan makanan dari kantin dia akan senang karena itu berarti dia tidak perlu berdesak-desakan di kantin.

"Kenapa nggak dimakan? Lo nggak mau bakpao?" tanya Revan saat Arlita hanya diam saja. Tidak mau menyentuh makanan yang dia berikan, "Please Arl jangan diem aja kalau gue tanya. Lo kan punya mulut dan lo tentu tahu apa gunanya mulut?"

Arlita mengangkat kepalanya, menatap Revan dengan tatapan tidak bersahabat, "Andai makanan yang ada di atas meja aku sekarang aku buang ke tempat sampah gimana perasaan kamu?"

Revan menghela napas kasar, "Lo masih mempermasalahkan coklat yang barusan gue buang? Lo mau gue ambil coklat itu lagi terus gue makan?"

Arlita menggeleng, "Aku cuma nggak habis pikir kalau kamu setega itu. Diluar sana masih banyak yang kelaparan tapi kamu malah seenaknya buang makanan."

Revan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya secara kasar, "Maaf," ucap Revan akhirnya.

"Kenapa minta maaf sama aku? Yang ngasih coklat itu bukan aku tapi Nindia."

Revan mengacak rambutnya, "Terus lo mau gue minta maaf sama Nindia?"

Arlita diam. Matanya menatap lurus ke arah papan tulis.

Revan berlutut di depan meja Arlita, dagunya bertopang di atas tangannya yang dia lipat di atas meja Arlita, "Jawab pertanyaan gue Arl! Lo mau gue minta maaf sama Nindia?"

Semua teman-teman sekelas mereka yang memang lebih memilih menghabiskan waktu istirahat di kelas menatap ke arah Revan dan Arlita penuh minat. Bahkan mereka sengaja menghentikan kegiatan mereka yang memungkinkan menimbulkan suara bising. Sungguh mereka ingin mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh sang ketua OSIS kepada pujaan hatinya yang tentunya tidak mampu dia gapai meskipun butiran air hujan berubah menjadi butiran batu kerikil.

Sudah menjadi rahasia umum kalau Revan mencintai Arlita, dan sudah menjadi rahasia umum juga kalau Arlita anti pacaran.

Saat kelas X Arlita menolak mentah-mentah pernyataan cinta dari kapten team basket dan team futsal, menolak murid paling pintar di kelas XII dan masih banyak deretan nama cowok yang cintanya ditolak oleh Arlita, namun setelah Revan menjabat sebagai ketua OSIS tidak ada satupun murid cowok yang berani menyatakan cintanya pada Arlita, jangan pun menyatakan cinta, mendekat saja mereka enggan. Mereka enggan berurusan dengan Revan yang benar-benar posesif pada Arlita. Di dalam lingkungan Sekolah dan di depan Arlita, Revan benar-benar akan menjadi anak baik, namun diluar itu semua tanpa banyak yang tahu Revan tidak bisa dikategorikan dalam golongan anak baik-baik saat berada diluar lingkungan sekolah.

"Gimana Arl? Apa kalau gue minta maaf sama Nindia lo bakal maafin gue?"

Arlita masih diam. Kini matanya menatap ke arah jendela. Dia tidak mau menatap Revan meskipun hanya sejenak.

Revan menenggelamkan wajahnya ke atas tangannya yang masih dia lipat di atas meja Arlita. Rasa frustasi mulai dia rasakan. Sungguh demi apapun dia tidak suka diabaikan oleh Arlita.

"Lo lagi ngapain Van berlutut di depan Arlita?" Tanya Dika yang tiba-tiba saja sudah nongol di ambang pintu kelas, "Jangan bilang nanti pas ulang tahun sekolah yang meranin Romeo and Juliet lo sama Arlita," Dika geleng-geleng kepala, "Bakal jadi drama Romeo and Juliet versi religi dong hahahaha.....," Setelah mengatakan itu Dika tertawa kencang sambil memukuli pundak Revan yang masih berlutut di depan meja Arlita, "Nggak ada adegan ciumannya dong... Mau diganti sama adegan apa?" Dika terus saja bercelotehria. Mengabaikan tatapan membunuh dari Revan.

HUJAN | ENDWhere stories live. Discover now