8

143K 13.1K 1K
                                    

Arlita menyodorkan kotak makan ke arah Revan yang sedang serius belajar. Mempersiapkan diri untuk mengikuti Olimpiade matematika tingkat SMA se-Indonesia.

"Gue dapet makan gratis lagi nih?" Revan membuka kotak makan itu. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang tampan.

"Titipan dari Mama. Biar kamu semangat belajarnya," Arlita menopang dagunya di atas kedua tangan yang dia tumpukan di atas meja. Matanya menatap buku tulis Revan yang penuh dengan coretan angka, "Van, sejak kapan kamu suka matematika?"

Revan menghentikan suapannya, "Dari kecil," jawabnya singkat. Mulutnya sibuk mengunyah nasi goreng buatan Mama Arlita. Makanan rumah yang selalu dia rindukan.

"Kok bisa sih kamu suka matematika? Padahal kebanyakan pelajar benci sama pelajaran yang berhubungan dengan angka. Malah terkadang ada yang mengatakan pelajaran matematika tuh nggak penting. Banyak rumus yang rumitnya nggak ketulungan tapi dalam praktek kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan hanyalah tambah, kurang, kali, dan bagi," Arlita mengambil botol air yang ada di dalam tasnya lantas memberikan botol itu pada Revan.

Revan menerima botol itu. Membuka tutupnya lantas meneguknya hingga tersisa setengah.

"Matematika ilmu pasti karena itu gue suka... walaupun banyak rumus kalau hasilnya udah ditentuin maka meskipun lo ngegunain seratus cara yang beda hasil nggak akan pernah berubah. Kalau memang ruang lingkup kita kecil tentu rumus-rumus yang kita pelajari nggak akan semuanya kepake. Tapi kalau ruang lingkup kita luas gue jamin nggak akan ada rumus yang mubazir."

Arlita mengangguk, "Udah makannya? Sini kotak makannya kalau kamu bawa pulang pasti nanti nggak balik lagi."

"Kapan gue pernah bawa pulang kotak makan lo. Perasaan nggak pernah dek."

Arlita mendelik sebal, "Dalam bulan ini sudah tiga kotak makanku yang nggak balik."

"Masa?" tanya Revan dengan tampang berlagak polos.

"Tau ah gelap."

"Iya gelap kayanya mau turun hujan deh," sahut Revan membuat Arlita tambah keki.

Beberapa anak yang memang berada di kelas memperhatikan keduanya. Revan dan Arlita itu pasangan paling serasi, yang satu cantik yang satu lagi ganteng, sama-sama pinter dan yang terpenting sama-sama baik tapi sayang perbedaan agama membuat keserasian itu menjadi sia-sia belaka.

Arlita memasukkan kotak makan yang sudah habis isinya oleh Revan ke dalam tasnya, "Oh iya, Van. Tadi aku sempet lihat mading.. kamu ke pilih jadi kandidat calon ketua OSIS yah?"

Revan mengangguk, "Iya. Anak-anak OSIS pada sepakat nyalonin gue, Danar sama Nenden."

"Wah saingan kamu berat juga yah. Danar anak XI IPS2 yang aktif juga di voli sama Nenden anak XI IPA2 yang cantik banget plus pinter pasti banyak fansnya yang rela ngasih suara ke dia."

"Masih cantikkan lo kemana-mana dibandingin si Nenden," gumam Revan.

"Apa Van?" Arlita kurang mendengar apa yang Revan gumamkan.

"Nggak apa-apa. Lagian gue minat nggak minat. Kalau gue jadi ketua OSIS waktu gue pasti abis di sekolah. Jadi pengurus OSIS aja yang jabatannya rendah udah makan waktu banyak apalagi kalau jadi ketua OSIS. Bisa-bisa gue nggak akan punya waktu buat ngajarin cewek yang otaknya lemot banget kalau udah berususan dengan metematika."

Arlita mengerjap-ngerjapkan matanya, "Kamu nyinggung aku yah?"

Bukannya menjawab Revan malah tertawa kencang. Wajah kesal Arlita sungguh menggemaskan.

※※※

Arlita, Nada dan Sri cekikikan saat melihat Revan yang sedang berorasi di atas podium yang ada di aula sekolah mereka. Revan tengah menyampaikan Visi dan Misinya bila dia menjadi ketua OSIS. Tidak tahu kenapa wajah serius Revan terlihat lucu di mata mereka.

HUJAN | ENDWhere stories live. Discover now