18

104K 11K 1.6K
                                    

"Mau duduk di depan atau di belakang?" pertanyaan itu Revan ajukan saat dia dan Arlita sudah berdiri di samping mobil Revan yang sudah terparkir di depan gerbang sekolah.

Arlita diam.

Revan berinisiatif membukakan pintu belakang, dan benar saja Arlita langsung naik.

Dasar cewek tinggal jawab aja susah.

Berulangkali Revan melirik ke arah Arlita melalui kaca spion. Wajah Arlita terlihat semakin pucat, "Arl kita ke rumah sakit dulu aja yah. Muka lo pucet banget. Gue takut lo kehabisan...." Revan tidak berani lagi melanjutkan ucapannya saat dia mendapati tatapan tajam dari Arlita.

Jalanan macet panjang karena sudah masuk jam pulang kerja. Arlita merintih kesakitan, bahkan dia kembali menangis saking sakitnya.

"Andai aja mobil ini bisa terbang kaya di Novel Hujan karya Tere Liye udah gue terbangin nih mobil," ucap Revan. Dia memukul kesal stir mobil.

"Emang kamu udah baca novelnya?" tanya Arlita disela rasa sakitnya.

Revan langsung menoleh, "Udah."

"Baguskan ceritanya?"

"Lumayan."

"Kok cuma lumayan?" Arlita tidak terima novel favoritnya hanya diberi kata Lumayan oleh Revan.

"Gue sukanya komik Arl bukan novel, jadi semua novel di mata gue yah gitu. Kalau di Novel Hujan ada gambarnya baru gue bilang bagus banget."

Arlita memberengut kesal, "Terus buat apa kamu baca kalau kamu nggak suka?"

"Karena lo yang nyuruh gue. Kalau lo nggak nyuruh gue mana mau gue baca novel."

"Aku kan nggak maksa kamu buat baca itu."

"Tapi kata-kata lo seakan-akan nyuruh gue buat baca tuh novel. Udahlah Arl nggak usah bahas itu. Pusing pala gue."

Setelah obrolan tentang novel Hujan berakhir Arlita kembali menangis.

"Kenapa lo nangis lagi Arl?" Revan kembali menoleh ke belakang.

"Sakit...," jawab Arlita.

"Ah lo akting yah Arl. Tadi lo nggak kenapa-napa pas ngomongin novel masa sekarang pas udahan ngomongin novel sakit lagi?"

Arlita melemparkan tasnya ke arah wajah Revan, "Sakit beneran Revan!"

Revan mendengus kesal, "Terus gimana biar nggak sakit lagi? Apa harus kita ngomongin tentang novel lagi?"

Bukannya menjawab pertanyaan Revan, tangis Arlita malah semakin menjadi-jadi.

Revan menjedotkan kepalanya ke stir mobil berulangkali, "Tobat tobat. Gue nggak sanggup kalau harus kaya gini."

"Revan Sakit!" rengek Arlita.

"Terus gue harus gimana?" jawab Revan, matanya masih fokus menatap jalanan yang dia lewati, karena jalan utama benar-benar macet akhirnya dia memilih untuk melewati jalan tikus dan bodohnya dia malah nyasar, "Please Arl jangan nangis. Gue pusing dengernya."

"Nggak bisa Revan hiks..hiks... Sakit tahu."

Revan memberhentikan mobilnya. Tangannya mengacak rambutnya penuh frustasi.

"Kok berhenti? Terus ini ada dimana?"

"Nggak tahu," jawab Revan ketus.

Arlita menatap ke sekeliling, "Revan aku mau pulang!"

"Gue juga mau pulang Arl," lagi-lagi Revan menjawab ketus.

"Terus kenapa berhenti disini?"

"Gue nggak tahu jalan pulang," jawab Revan penuh kepasrahan.

HUJAN | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang