15

105K 11K 1K
                                    

Kembali ke titik awal, itulah yang Revan rasakan. Semenjak dia mengatakan kalau dirinya telah move on dari Arlita hubungannya dengan Arlita kembali baik. Sebaik saat awal-awal mereka berdua menjalin tali persahabatan.

Arlita mengerucutkan bibirnya saat nilai Matematikanya hanya tujuh, dia sudah belajar mati-matian dan hasil yang di dapat hanya tujuh, tidak lebih tidak kurang.

Sedangkan Revan kini sedang fokus menatap nilai yang tertera di lembar kertas ulangannya. Ini adalah nilai terburuk yang pernah ia dapatkan sepanjang hidupnya, biasanya paling kecil nilainya adalah delapan tapi sekarang nilai yang ia dapatkan hanyalah empat. Pasti ia akan mendapatkan omelan dari Bu Lastri, guru pelajaran sejarah.

"Berapa nilai sejarahmu?" tanya Arlita, ia membekap mulutnya saat melihat angka empat menghiasi lembar ulang Revan, "Kamu benar-benar nggak menghargai perjuangan para pahlawan, Van." ledek Arlita seraya terkikik geli.

"Berisik!" kesal Revan, Dia sungguh tidak menyangka kalau dia akan mendapat nilai empat. Ini semua gara-gara dia absen saat pelajaran Sejarah minggu lalu, saat itu dia harus mengurus sesuatu yang cukup urgent di OSIS. Kalau tidak absen dia yakin nilai sejarahnya tidak akan separah ini.

"Nilai Matematikamu tinggi!" seru Arlita saat melihat nilai Matematika Revan yang nyaris sempurna, "Kamu lihat nilaiku, Van. Cuma tujuh."

"Terus gue harus bilang wooow gitu?"

Pletakk.... dengan kencang Arlita memukul kepala Revan dengan buku tulis.

"Sakit Arl. Kok lo marah sih. Memangnya gue salah apa?" tanya Revan bingung saat melihat raut wajah Arlita yang cukup terlihat menyeramkan.

"Habisnya kamu nyebelin sih, kamu nggak perihatin apa lihat nilai Matematikaku."

"Asal lo tahu, Arl. Yang harusnya diperihatinin tuh nilai sejarah gue bukan nilai matematika lo," hardik Revan, "Diantara nilai tujuh sama empat, coba lo pikir mana yang lebih gede?"

"Tujuh."

"Yang dapat nilai tujuh siapa?"

"Aku."

"Yang dapat nilai empat siapa?"

"Kamu."

"Terus yang perlu di kasihani, gue apa lo?"

"Kamu." jawab Arlita akhirnya, "Tapikan, Van. Tetep aja nilai tujuh itu di rapot hanya mendapatkan kata cukup, bukan bagus atau sangat bagus."

"Yaudah, sekarang lo maunya gimana?"

"Kamu ajari aku Matematika dan aku akan ngajarin kamu pelajaran sejarah. Gimana? Mau nggak?"

"Yakin lo mau belajar bareng lagi sama gue? Bukannya kemarin-kemarin nggak mau?"

"Kemarin...." Arlita tidak melanjutkan ucapannya. Tidak mungkin kan kalau dia harus mengatakan yang sejujurnya, kalau kemarin dia tidak mau belajar bareng Revan gara-gara selalu merasa tidak nyaman karena Revan ada rasa sama dia, namun sekarang situasinya sudah kembali seperti semula. Revan tidak mencintainya dan dia sendiri Insyaallah akan menyimpan cintanya, cukup hanya Allah yang tahu dan bila memang dia dan Revan tidak dapat berjodoh, dia yakin rasa yang tersimpan untuk Revan akan terhapus seiring berjalannya waktu, jadi Arlita pikir tak apa kalau dia sekarang belajar bersama Revan lagi. Selama belajarnya tidak hanya berdua. Dia akan mengajak Nada, Sri dan Dika juga untuk ikut belajar bersama.

"Kemarin kenapa?" Revan mengulangi pertanyaannya saat Arlita malah bengong.

Arlita gelagapan, "Po.. pokoknya kemarin... Ih nggak tahu ah. Gimana kamu mau nggak ngajarin aku Matematika lagi? Ingat ilmu yang dimiliki harus dimanfaatin, biar berkah."

HUJAN | ENDTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon