Chapter 5 : Kenapa Harus Izin Dulu?

18K 2.7K 165
                                    


Chapter 5

Arka : Ge, gue baru sampe RS, gue kira lo udah duluan. Lo masih di sekolah sekarang? Gue jemput, ya?

Gea : Nggak perlu.

Arka : Sumpah gue tadi liat lo ga ada. Gue telpon lo skrg. Angkat, ok?

Gea : Nggak usah.

Arka : Jangan marah pleaseeeeeeeeee.

Aku mengetik beribu satu makian kepada Arka, namun untuk meng-klik menu kirim, ternyata nyaliku tidak sebesar itu. Aku menghapus kembali luapan rasa kesalku yang tadinya sudah tersusun indah dalam bentuk kata-kata di hapeku. Mau sekesal apapun aku pada Arka sekarang, tetaplah aku tidak bisa marah pada Arka.

Bukan karena aku takut pada Arka, tapi karena aku cukup tahu diri.

Hello, Gea! Arka itu cuma temen lo yang nggak nepatin janjinya nebengin lo. Dia cuma temen lo. Temen doang. Temen! Dan lo marah cuma gara-gara nggak ditebengin? Selain cuma temen lo, Arka juga bukan sopir lo! Dewi batinku bersuara. Dan itu sukses membuatku menelan rasa kesalku sendiri.

Dengan pertimbangan cukup lama, akhirnya aku memutuskan untuk menyusul teman-temanku ke rumah sakit. Mereka masih disana dan juga keinginanku untuk menjenguk Rafa begitu kuat.

Aku turun dari ojek online yang kutumpangi, dengan langkah lebar, aku memasukki rumah sakit yang menjulang megah ini. Bau obat-obatan langsung menyergap indera penciumanku. Manusia-manusia berlalu lalang dengan terburu-buru, menunjukkan tanda-tanda kesibukkan. Ada satu yang menarik perhatianku. Seorang perempuan yang mungkin berusia tiga puluh tahunan, dia memakai jas dokter, kakinya yang memakai heels tidak lebih dari lima centi itu berjalan dengan langkah lebar dan cepat, seperti sedang mengejar sesuatu. Ketika dia berjalan, rambutnya yang dikuncir satu begoyang kesana-kemari. Di sampingnya ada seorang suster yang mengajaknya bicara dengan raut serius. Segala gestur dan respon yang dokter perempuan itu berikan menampilkan kesan elegan. Aku berdecak dalam diam. Terbesit di benakku sebuah khayalan konyol. Ketika aku mengenakan jas putih dan melakukan hal yang sama seperti yang dokter itu lakukan.

Sebuah tabrakan cukup keras di bahuku lantas menarikku kembali ke realitas. Apa aku tadi baru saja menunjukkan kekagumanku pada profesi dokter? Apa aku bercita-cita untuk menjadi dokter juga? Aku tertawa dalam hati. Pinter juga enggak, lagaknya mau jadi dokter. Bisa-bisa pasien gue mati semua di tangan gue.

"Maaf saya nggak sengaja," ucap suara yang menabrakku tadi.

Aku mendongak seraya tersenyum maklum. Tapi beberapa detik kemudian, senyumku mendadak luntur.

"Mama?"

Wanita itu tadinya hendak berlalu begitu saja, namun mendengar panggilan Mama yang kulontarkan, mendadak dia kembali menoleh ke arahku.

"Gea? Ngapain kamu disini?" tanya Mama kaget.

"Jengukin temen Gea. Mama ngapain disini?"

"Nauri kena DBD, dia dirawat dari kemarin."

"Ohh.."

"Yaudah Ge, Mama duluan ya. Mama nggak bisa lama-lama, Nauri nungguin Mama, kasian dia, mau ngapa-ngapain susah. Kalau mau jenguk, dateng aja ke kamar Bugenville nomor 11. Ohya soal uang kamu, Mama bakalan transfer dalam minggu-minggu ini."

Mama menepuk lenganku sekilas lalu dengan segera melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Aku memandang punggung Mama yang menjauh lalu tanpa sadar aku melengos sinis. Tadi itu Mamaku, kan? Hebat, setelah sekian lama tidak bertemu, kami hanya menggobrol tidak lebih dari satu menit. Saking cepatnya aku bahkan tidak sempat melihat warna lipstiknya, ataupun mengingat motif bajunya.

Just a Friend to You Where stories live. Discover now