Chapter 19 : Pengakuan

15.3K 2.4K 438
                                    

Lagu Dive milik Ed Sheraan menjadi lagu yang mengisi suasana dalam mobil selama perjalanan pulang. Rafa yang sedang menyetir dari tadi bersenandung pelan, sedangkan aku cuma bisa menatap jalanan di depan sambil memikirkan Arka yang mungkin kini masih bersenang-senang dengan Jess.

Kuakui, sejak awal, fakta bahwa Arka dan Jess adalah sepasang kekasih memang cukup mengusikku. Tapi aku tak pernah benar-benar tenggelam dalam rasa sakit berlebihan. Karena pikiranku seakan menyugestiku untuk percaya bahwa Jess sama halnya dengan mantan-mantan Arka yang lain. Tipikal cewek cantik yang dipacari Arka sebatas untuk bersenang-senang dan membuktikan kepada orang-orang bahwa dia laki-laki yang bisa memacari perempuan mana pun.

Namun, kali ini rasanya sungguh berbeda. Melihat tatapan Arka yang dilemparkannya pada Jess tadi cukup untuk menghadirkan denyutan tak suka di hatiku sekaligus membuatku tersadar bahwa alasan Arka memacari Jess bukan semata karena egonya. Melainkan karena perasaan suka secara tulus. Kenyataan itu seakan menjadi peringatan bahwa aku tidak punya celah untuk berharap lagi.

Mataku terpejam sesaat. Kebodohan terbesarku selama ini adalah berpikir bahwa suatu hari nanti aku dapat dicintai oleh orang seperti Arka. Dan aku menyesali kebodohan itu sekarang.

"Are you okay?" Pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan oleh Rafa menyentakku kembali ke realitas.

Aku menoleh ke arahnya, "I'm okay," jawabku sambil balas menatapnya bertanya, heran kenapa dia tiba-tiba menanyakan keadaanku.

"Lo melamun," cetus Rafa enteng.

"Eh, nggak kok."

"Terus kenapa diem aja?"

"Umm, gue cuma ngantuk aja."

Dahi Rafa langsung menciptakan kerutan samar, "Segitu ngebosenin ya kalau lagi bareng gue?"

Dengan cepat aku menggeleng. Bagiku, Rafa sama sekali tidak membosankan. "Bukan gitu maksudnya, Raf," sanggahku.

Rafa lalu tersenyum, "Santai, nggak usah panik gitu, gue bercanda doang, kok," ucapnya. "Lo bisa tidur, Ge. Turunin aja kursinya biar nyaman."

"Thanks, tapi kayaknya kita bentar lagi sampai."

Rafa lagi-lagi tersenyum. Selanjutnya, Rafa tak lagi bersuara, bahkan cowok itu tak lagi turut menyenandungkan lagu yang tengah berputar.

Sepuluh menit kemudian, mobil Rafa berhenti tepat di depan rumahku. Baru saja aku ingin pamit turun, Rafa berkata dengan nada serius.

"Gue boleh minta waktu sebentar buat ngomong sesuatu?"

Aku mengerjap. Kaget. "S-sekarang?" tanyaku tak yakin.

Rafa mengangguk. Aku jadi heran, kenapa bicaranya nggak tadi aja? Ketika kami berada di perjalanan pulang. Namun melihat raut seriusnya, akhirnya aku hanya bisa menyetujui tanpa banyak berkomentar.

Rafa melepas seatbelt-nya, dengan itu dia merasa lebih leluasa bergerak. Lalu, dia menatapku dengan sorot matanya yang begitu dalam.

"Lo suka Arka," ucap Rafa ketika mata kami bertemu. Suaranya terdengar tenang dan tegas.

Mataku memelotot sesaat karena tak menduga akan diserang dengan kalimat itu. Itu pernyataan bukan pertanyaan. Dengan cepat aku membuang muka sambil memasang tawa terpalsu yang kupunya. "Ngaco lo."

"Kemarin-kemarin, gue sempat mikir lo suka Arka dan sebaliknya mengingat interaksi kalian berdua yang begitu deket. Tapi, di sisi lain, kenyataan bahwa Arka punya pacar dan lo fine-fine aja bikin gue berpikir kalau dugaan gue salah, mungkin kalian memang cuma teman."

Just a Friend to You Where stories live. Discover now