Chapter 3 : Rasa Cemas

23K 2.8K 82
                                    

Chapter 3

Menelpon orang tua Rafa adalah salah satu hal tersulit yang kulakukan. Suaraku tercekat ketika aku mengatakan bahwa anak lelaki mereka terlibat kecelakaan, lebih tepatnya tabrak lari di jalan raya. Sedetik setelah aku mengatakan itu, terdengar suara teriakan panik dari seberang sambungan dan suara tangis yang pecah. Lututku tambah terasa lemas.

Aku duduk di kursi tunggu rumah sakit. Rafa masih dalam ruang ICU. Masih terekam jelas dalam otakku kejadian beberapa menit yang lalu. Semuanya tampak... mengerikan. Aku membayangkan, bagaimana jika aku juga terlibat kecelakaan itu karena kenyataannya, posisiku tadi tidak jauh dari Rafa.

Ya Tuhan!

Aku mengusap wajahku, mencoba mengenyahkan momen buruk barusan.

Tempat Nyampah (4)

Gea : Rafa kecelakaan. Gue lg di RS Charitas. Kebetulan td gue ada di lokasi. Bantu doanya ya biar Rafa ga kenapa napa.

Aku mengirim pesan itu ke grup LINE yang beranggotakan aku, Lana, Jess dan Mela.

Setengah menit kemudian, Lana menjawab.

Lana : Ya Tuhan! Kok bisaa?

Lana : Lo ga kenapa napa kan, Ge? Gue baru nyampe rumah. Sori ga bisa nemenin lo. Gue doa dari sini aja.

Gea : Dia ditabrak dari belakang pas lampu merah. Parah, sampe mental gitu. Gue gpp, tapi gue cemas bgt skrg.

Mela : Ya ampun, Ge. Gue jg br nyampe rmh nih. Lo pake motor kan, Ge? Hati-hati pulangnya.

Lana : Iya hati-hati, Ge. Nanti kabarin ya gmn kondisi Rafa.

Gea : iya, makasih mel, lan.

Aku tidak tahu bagaimana reaksi ilmiahnya, tapi rasa cemas yang menggerogotiku dan rasa syok yang masih tersisa membuatku tak punya tenaga lagi. Rasanya aku ingin menangis.

Bagaimana kondisi Rafa sekarang? Dia tidak mati kan? Bagaimana reaksi orang tuanya nanti? Bagaimana jika aku yang tadi di tabrak mobil itu? Apakah Mama dan Papa akan datang untuk melihat keadaanku? Bagaimana jika yang terjadi pada Rafa tadi terjadi pada orang terdekatku? Semua pertanyaan dan kegelisahan itu menari-nari di otakku. Aku menggigiti jari-jemariku yang bergetar hebat, menahan gejolak perasaanku. Ini adalah kali pertama aku melihat kecelakaan hebat tepat di depan mataku.

Getaran di ponselku mengagetkanku. Sebuah panggilan masuk dari Kak Adri.

"Ge, bisa jemput gue di rumah temen gue nggak? Gue nggak bawa mobil tadi, mobil dipake Bunda."

"Kak, maaf, kak. Nggak bisa kak. Ada kecelakaan."

"Hah? Kecelakaan? Dimana? Lo nggak papa kan Ge?" Suara Kak Adri mendadak panik.

"Gue di RS, Kak. Gapapa kok Kak, tapi gue beneran nggak sanggup jemput kak Adri sekarang. Maaf banget, Kak. Eh, kak, udah dulu ya, ntar aku telpon lagi." Aku mematikan sambungan ketika melihat sepasang suami-istri yang kuyakini adalah orang tua Rafa berlarian ke arahku. Wajah cemas mereka membuat hatiku semakin tersentil.

"Rafa masih di dalem, nak?" tanya Ayah Rafa dengan nafas yang tidak teratur.

"Masih, Om," jawabku.

Ibunda Rafa mendekatiku, memegang kedua tanganku. Tangan dingin kami saling bertautan. "Tadi gimana kronologisnya? Kenapa Rafa bisa jadi korban tabrak lari?" Ibunda Rafa mulai berkaca-kaca.

"T...tadi, kebetulan Gea posisinya nggak jauh dari Rafa, Tante. Tadi orang-orang di jalanan ngejer lampu merah gitu, Tante. Pas lampu udah ijo, Rafa stop, tapi mobil di belakangnya masih mau nerobos gitu. Posisinya mobil itu ngebut, jadi motor Rafa ditabrak dari belakang terus terpelanting gitu, Tante. Langsung, orang-orang di sekitar manggil ambulans."

Just a Friend to You Where stories live. Discover now